Awan naik ke atas tempat tidur. Tengkurap, menatap layar ponsel yang menunjukkan chatnya dengan Selly. Udah kekirim semua, tapi nggak ada balasan sama sekali. Dia diam, ketap-ketip dengan mulut sedikit manyun. Kemudian berdesis kesal, menjauhkan hape dari hadapannya dengan sedikit membanting.
“Apa dia semiskin itu sih, sampai beli pulsa aja kagak ada duit!” kesalnya, ngomel sendiri.
Diam, menatap plafon kamarnya dengan kedua tangan yang terlipat diatas, di jadikan sebagai bantal. Menit berlalu, ia meraih ponsel, masuk ke aplikasi pembelian online. Kembali bibir manis itu mengerucut.
“Cckk, ogah banget beliin dia pulsa. Atas dasar apa gue beliin dia pulsa.” Ngomel sendiri, kembali ia menatap nomor Selly yang tersimpan di dalam kontak hape.
“Eh, tapi kagak apa kali ya, sekali-kali beliin dia pulsa. Pasti nanti dia bakalan terkejut, matanya sampai membulat, sama kek mulutnya yang bulet. Pasti lucu banget, sama kek Russell behahaha ….” Awan tertawa, sampai tergelak membayangkan wajah Selly yang menurutnya mirip seperti Russell ; tokoh kartun di film disney berjudul UP.
“’Kok ada pulsa masuk? Banyak banget … ini dari siapa? Pasti Awan. Dia kan baik, selain dia, siapa lagi yang baik sama aku’. Behahah … dah pasti dia akan ngomong kek gitu, kan?” kembali ia tergelak sendiri setelah menirukan gaya ngomong Selly.
“Demi bikin lo seneng nih ya, udik, gue isiin pulsa seratus ribu. Bisa buat lo mandi sekalian tuh pulsa. Kurang baek gimana coba, gue-nya?”
Tersenyum lebar, sampai gigi gingsulnya terlihat, memang begitu manis.
Klunting!
[Caffe, cuk]
pesan masuk dari nomor Yuda membuatnya sedikit menyipit. Segera menyelesaikan pembelian, lalu mulai berbalasan chat wa dengan Yuda.
**
Selly menunduk saat di depan sana, Pasha keluar dari pintu ber-cat putih itu. Tersenyum manis kearahnya, terlihat banget kalo dia emang sengaja belum ngirim pulsa, biar si Selly balik lagi ke konter.
“Eh, balik lagi? Kenapa? Kok nyariin gue? Ada yang mau lo omongin?” tanya Pasha, pura-pura aja dia kagak tau.
Kleve tertawa kecil, mentonyor kepala adiknya. “Modus!”
Mengelus kepala bekas tonyoran Kleve, mulutnya manyun dan tangannya mulai bergerak membalas. Mentonyor lengan kakaknya.
“Uumm … itu, kak. Pu—pulsanya belum masuk.” Ucap Selly setelah mengumpulkan kekuatan untuk mengatakan tujuannya kembali.
Wajah imut Pasha sedikit melotot, dia pura-pura terkejut. “Eh, belum masuk ya? Bentar deh, gue cek.”
Selly hanya ngangguk, diam sambil duduk di kursi yang disediakan disana. Sedangkan Pasha pura-pura ngutak-atik hape untuk tetap menahan Selly disana.
“Sel, keknya lagi trouble deh. Kemungkinan nih, masuknya jam sembilanan gitu.” Ngomongnya, tentu bohong.
Selly sedikit cemberut, membuat wajahnya jadi lucu. Dia beranjak dari duduk, memasukkan kedua tangan ke saku jaket. “Yaudah kalo gitu, kak. Aku tunggu aja.” Berbalik, melangkah untuk kembali pulang ke rumah.
“Eh, Sel”
Kembali menoleh saat Pasha memanggil namanya lagi. Hanya diam, menatap Pasha yang kini berjalan sedikit berlari, keluar dari dalam konter. Mendongak, menatap wajah imut Pasha yang berdiri tepat di depannya.
“Lo pernah beli batagor yang ada di samping bank sana nggak?” telunjuknya mengarah ke penjual batagor yang memang tak jauh dari konter.
Selly menoleh, menatap kearah telunjuk Pasha. “Uumm, iya, aku pernah beli sekali.”
Bibir manis Pasha mengulas senyum. “Temenin beli, yukk ….” Ajaknya kemudian.
Kedua mata Selly mengerjab lucu, dia menelan ludah yang terasa berhenti di tenggorokan. Dia cukup tau siapa Pasha. Ini dia dulu kakak kelas yang badboy, sering banget gengnya ini adu kemampuan sama geng Awan. Ya … walau adu jotosnya nggak pernah, karna memang mereka lebih sering tawuran sama sekolah sebelah.
Sekarang, yang bener aja Pasha ngajak Selly jalan bareng?
“Mau, kan? Ayook,” nggak nunggu jawaban Selly, tapi Pasha langsung menarik tangan Selly.
Mau tak mau, gadis mungil ini berjalan mengikuti langkah kaki Pasha.
Berjalan berdua di trotoar pinggir jalan raya. Dah mirip banget kek orang lagi kencan. Pasha tersenyum lagi, menoleh kearah Selly yang lebih banyak menunduk.
“Eh, coba liat itu deh,” menuding kearah depan sana, di mana ada mobil dan motor yang hilir melewati jalan.
Selly pun mengangkat kepala, menatap tepat kearah telunjuk Pasha. Kedua mata menyipit, bahkan satu tangan bergerak, membenarkan kaca mata lebih dulu. “Ada apa sih, kak?” tanyanya yang nggak paham sama apa yang di maksud Pasha.
“Jalannya jangan sambil nunduk. Ntar cantiknya nggak bisa gue liat.”
Mendengar ucapan Pasha, Selly terdiam di tempat. Kedua tangan mengepal erat didalam saku jaket. Wajah memanas dengan kedua mata yang mengerjab, semakin lucu. Terlebih melihat Pasha yang kini kembali mengulas senyum tepat didepan wajah. Tak mau semakin membeku, Selly mengalihkan tatapan, lalu melangkah lebih dulu, mendahului Pasha.
Melihat gadis mungil itu jadi salting, Pasha makin terkekeh. Sedikit berlari untuk mengejar langkah kaki Selly.
**
Selly meletakkan dua kapsul obat berwarna putih diatas meja. Lalu gelas bening berisi air putih, tepat disamping obat itu.
“Pak, ini obatnya.”
Langit yang duduk menatap air mancur di belakang rumah, menoleh, menatap obat itu. Mendengus kasar, kembali ia menatap ke depan sana. “Udah minum obat terus, tapi nggak juga berasa kakiku. Buang aja obatnya!”
Kedua mata Selly melotot. “bu—buang?”
Tak menjawab, Langit tetap diam dengan wajah yang terlihat frustasi. Udah hampir sebulan dia rutin minum obat, tapi nggak juga ada hasil. Dia nggak merasa ada efek yang dihasilkan dari obat itu.
“Semua kan butuh proses, pak.” Udah terbiasa banget sama Langit tiap hari, jadi sekarang dia nggak terlalu takut kalau mau ngomong.
Langit tetap diam, terlihat nggak peduli sama apa yang Selly ucapkan tadi.
“Sabar, mungkin sekarang belum. Tapi beberapa hari lagi, atau beberapa minggu lagi, prosesnya akan kelihatan. Kalau bapak minum, setelahnya kaki bapak yang lumpuh bisa langsung jalan, itu kan namanya pak Tarno, bukan pak Langit.”
Mendengar ocehan Selly, Langit menoleh dengan kedua mata yang menyorot tajam.
Selly gelagapan, udah tau, pasti Langit akan ngomel. “Maksud saya, sulapan.” Dia nyengir setelah mengatakan itu.
“Sembarangan kamu ya! Berani banget nyama-nyamain saya sama Sutarno!”
Selly menahan untuk tak tertawa. Kembali dia mengambil dua kapsul obat itu, lalu membawanya mendekati Langit. Dengan sopan ia mengulurkan obat itu. “Ini, pak. Biar nggak sama seperti pak Tarno.”
Di pintu yang sedikit jauh, di dalam rumah sana. Awan melipat kedua tangan di bawah dadaa dengan sedikit mengulas senyum. Padahal, Ralika juga seperti Selly lho, malah nggak pernah bikin Langit ngomel. Tapi kenapa yang sekarang ia lihat lebih menarik?
Melangkah masuk ke dapur. Sengaja banget ia duduk disana, menanti Selly yang udah pasti akan ke dapur. Kedua mata awas, menatap isi dapur yang selalu sama. Alat masak, apa aja ada, dan lebih sering tak di gunakan. Udah lama, sampai dia menatap jam yang melingkar di lengan kiri. Berdiri, ngambil gelas, lalu mengisinya dengan air putih. Meneguknya sedikit, lalu membawanya duduk disamping pantry.
“Lho, mas Awan, ngapain di dapur?” seru bik Atik yang baru saja masuk ke dapur.
Awan menggaruk kepala bagian belakangnya, mengalihkan pandangan, tentu nyari jawaban yang pas. “Uumm … nggak apa-apa. Cuma … ini … uumm … kaki capek. Baru pulang kuliah, jadi mau duduk-duduk dulu.” Dia nyengir, memijat kakinya sendiri dengan menunduk. Malu untuk menatap bik Atik.
Bik Atik mengulas senyum, lalu menggeleng. “Yaudah, bibik mau ke pasar. Mau beliin buah buat tuan Langit. Mas Awan mau nitip sesuatu?”
Mengangkat kepala, lalu menggeleng. “Enggak.”
Kembali bik Atik mengulas senyum, lalu melangkah keluar dengan tangan yang menenteng tas untuk belanja. Sementara Awan membuang nafas panjang dengan tangan mengelus d**a. Memilih berdiri, melangkah menuju pintu, lalu membuka pintu bagian dapur itu. Memperhatikan pembantunya yang ngobrol sebentar sama pak Sardi. Beberapa detik kemudian, mobil warna hitam itu berjalan keluar dari gerbang.
Suara gemercik air membuat tatapan Awan kembali masuk ke dapur. Cukup terkejut saat ternyata Selly sudah ada disana, di depan wastafle. Gadis mungil yang satu bulan ini memenuhi kepala, tengah sibuk mencuci piring dan gelas kotor.
Pura-pura nggak liat, dia berjalan begitu saja. Kembali duduk di pantry, melirik Selly yang sepertinya memang nggak menatapnya. Tangannya mulai meraih gelas berisi air putih, lalu meneguknya pelan.
Cukup lama, mereka ada dalam satu ruangan, tapi nggak ada yang membuka suara. Kek dua orang asing yang memang kebetulan ada disitu. Sampai Selly mengelap kedua tangan yang basah, lalu melangkah keluar dari dapur.
‘Dia? Nyuekin gue?’ batin Awan yang tentu nggak terima.
Ikut melangkah keluar, mengikuti langkah Selly yang ternyata mau ke kamar papinya.
“Heh, udik!” panggilnya, dan itu membuat Selly menoleh. Tak menjawab, hanya diam, menatap Awan yang kini jadi salah tingkah. Bingung, mau ngomong apa.
“Kenapa, Wan?” akhirnya bertanya juga, karna dalam hitungan menit, Awan nggak juga mau ngomong.
‘Masa’ gue nanya. Semalam ada pulsa masuk nggak? Itu gue lho yang isiin. Cckk, malu lah!’ ngomelnya dalam hati.
“Cuciin motor gue.”
“Hah?!”
Menggaruk kepala setelah mengatakan itu. Tapi hatinya menahan untuk tak tertawa karna melihat ekspresi wajah terkejut Selly yang lucu.
“Abis nganterin lo pulang semalam, motor gue jadi kotor. Cuciin sana!”
Nggak peduli Selly mau ngomong apa, dia berbalik, mengulas senyum lebar. Melangkah menaiki tangga dengan bersenandung lirih. Seneng banget udah bisa ngerjain Selly.