Awan melipat kedua tangan didepan d**a, diam menatap gadis mungil yang melangkah menjauh dari tempatnya. “Cckk, nggak menghargai. Udah disamperin, malah ninggal! Dasar nggak peka!” segera ia menutup kaca helm, kembali memutar kunci, lalu menghidupkan mesin motor.
Tak begitu lama, ia memasuki halaman rumah mewah tempat tinggalnya. Membuang nafas kasar saat melihat tampilannya di kaca spion. Memperbaiki tampilan rambutnya, lalu melangkah masuk dengan lantunan lagu yang biasa ia nyanyikan.
“Wan, baru pulang,” sapa Langit yang udah menunggunya sejak tadi.
Awan hanya menatapnya sesaat, menatap kearah kaki Langit yang masih terbalut kain kasa. ‘Eh, jadi , tadi si udik abis dari rumah gue?’ batinnya.
Menghela nafas sebentar, menggaruk kening yang jadi gatal dengan tiba-tiba. Selanjutnya, ia kembali melanjutkan langkah, menaiki anak tangga.
“Wan,”
Panggilan itu kembali menghentikan langkah kaki Awan. Tak menoleh, tetap berdiri mematung, menunggu papinya mengatakan seucap kata lagi.
“Papi mau ngomong sama kamu.”
Kini Awan berbalik, wajah jutek dengan ekspresi cuek itu membuat Langit menyentak nafas kasar. “Yaudah, ngomong gih.” Ucap Awan, memasukkan kedua tangan di saku celana.
“Uum, kita ngomong di taman belakang. Biar lebih santai,” ajak Langit.
“Kenapa? Di sini juga bisa ngomong kok.”
Langit mengalihkan tatapan. Dengan anak sendiri, kenapa rasanya secanggung ini?
“Awan,” panggilnya, mendongak, menatap Awan yang sudah ada dianak tangga sana. “Kamu nggak mau ambil kuliah di Filipina? Jika kamu kuliah di sana, kamu bisa sekalian belajar bisnis. Papi akan ajari kamu pelan-pelan, kamu akan mulai menggantikan posisi papi di sana.”
Awan menyunggingkan senyum, terlihat sangat santai dan … ya, tetap cuek.
“Di sana juga ada mama Merry dan adik kamu. Jadi kamu nggak akan lagi sendirian.” Lanjut Langit, mengungkapkan apa yang dia inginkan.
Awan membuang nafas kasar melalui mulut. “Udah?”
Langit menautkan kedua alis, cukup terkejut dengan jawaban dari anaknya. “Iya.”
“Aku nggak tertarik.” Sahutnya, berbalik, lalu melanjutkan langkah menaiki undakan.
“Aw—” tak melanjutkan memanggil. Langit mencengkram kursi dengan erat.
Kenapa diabaikan itu sakit? Huufftt ….
Awan menjatuhkan tubuh lelahnya di ranjang besar kamar. Tatapannya menerawang, bayangan papinya ketika bicara tadi kembali berputar di kepalanya. Dia berdecak kecil, sangat malas mengingat wajah Merry dan Ralika.
“Kalo masih anggap gue anak, harusnya ya paham!” ngomong sama lampu kamar.
Ddrtt … ddrtt ….
Ponselnya yang ada di dalam tas berdering cukup nyaring. Menandakan jika ada panggilan telepon masuk. Dengan sangat malas, Awan bangun, meraih tas yang ia sampirkan di kursi belajar. Menyipit saat tau siapa yang tengah melakukan panggilan telpon ke ponselnya.
“Hallo,” sapanya seraya menempelkan ponsel di kuping.
“Hallo, Wan.” Terdengar suara Yuna di sebrang sana.
“Ada apa? Tumben telpon.”
“Uumm, kamu tau Selly? Dia nggak bales sms-ku. Dia juga nggak jadi masukin formulir pendaftaran di UP. Kamu tau nggak, dia ambil kuliah di mana?”
Pertanyaan Yuna membuat kening Awan berlipat. Ia diam untuk sejenak, mengingat pertemuannya dengan Selly beberapa jam yang lalu. “Gue nggak tau.”
“Yaaah, aku khawatir sama dia. Dia baik-baik aja kan?”
“Lo kan bisa ke rumahnya, kalo lo khawatir.” Kembali ia menjatuhkan tubuh ke kasur.
“Diih, mana boleh sama Izroil.” Awan tersenyum mendengar ucapan Yuna. Bisa dipastikan jika saat ini gadis itu sedang manyun.
“Cie, cie … telpon mantan, cie ….”
Awan tambah terkekeh mendengar sahutan suara Pangeran di sana.
“Cuma nanyain Selly. Aku nggak ngomongin apa-apa sama Awan kok.”
“Halah, ngaku aja susah. Ini, kita main di luar aja yukk. Mama lagi sibuk sama mantan.”
“Diihh, ngambek.” Awan hanya jadi pendengar obrolan suami istri dan tentu dengan anak angkat mereka. “Wan, udah dulu ya. Makasih. Eh, kalo kamu ketemu sama Selly, sampaikan salamku ya. Suruh dia hubungi aku.”
“Hhmm,”
Tersenyum, menatap ponsel yang kini berganti walpaper harimau putih. Kembali tatapannya menerawang keatas sana. Bayangan saat Selly dengan girang mendapatkan peringkat ke dua itu masih sangat jelas tergambar. Lalu … kenapa dia nggak jadi kuliah? Padahal dia udah mati-matian dapat peringkat itu, Cuma untuk beasiswa masuk ke UP.
Lama terdiam, Awan mulai memahami sesuatu. Dan dia akan menanyakan sendiri alasan Selly nggak jadi masuk UP. Segera beranjak, mengambil kunci motor, tak lupa ia memasukkan ponsel ke saku celananya.
“Cckk, ini gue ngapain sih? Itu kan bukan urusan gue, anjirr! Keknya nih, gue mulai nggak waras!” tangan yang hampir membuka pintu kamar itu, urung.
Awan melemparkan kunci motor ke atas meja, melempar ponsel ke kasur, lalu memilih masuk ke kamar mandi.
**
Pagi menyapa.
Awan menutup mulutnya yang menguap lebar. Kedua mata menyipit karna sinar matahari dari luar sudah masuk menerobos celah gorden kamarnya. Bukannya bangun, tapi ia berpindah posisi, menarik selimut dan kembali memejamkan mata.
Tok! Tok! Tok!
Ketukkan pintu dari luar kamarnya membuatnya kembali terusik. Awan menekan telinga, menyibakkan selimut tebal yang selalu membungkus tubuhnya ketika tidur.
“Apa?” teriaknya, karna dia masih malas untuk beranjak dari kasur.
Diam untuk beberapa detik, sampai akhirnya Awan melek, menatap kearah pintu yang tetap diam.
“Ada apa, bik?” tanyanya lagi.
“Uumm, itu … uumm … ditungguin pak Langit untuk sarapan pagi.”
Kedua mata Awan terbelalak mendengar suara lirih dari luar kamar. Nggak salah, itu adalah suara Selly. Segera dia bangun, duduk mengacak rambutnya yang sedikit panjang hingga menjadi berantakan. “Ya, gue turun.”
Ia menyunggingkan senyum, turun dari tempat tidur. Menatap jam kecil yang ada di atas meja belajarnya. Udah jam sembilan, pantas saja Selly udah ada di rumahnya. Mengambil karet lalu mengikat rambutnya, setelahnya, ia masuk ke kamar mandi.
Sepuluh menit, Awan turun dari lantai atas. Tatapannya terarah ke meja makan yang begitu panjang. Ada papinya disana, tapi hanya duduk sendirian di kursi roda. Senyum lebar Langit sama sekali tak membuat hati Awan luluh atau merasakan sejuk. Santai dia melangkah mendekat, menarik kursi, lalu duduk di samping kursi Langit.
“Kapan kamu mulai masuk kuliah?” tanya Langit, mencari obrolan agar mereka tak hanya saling diam.
Awan membalikkan piring. “Seminggu lagi.” Jawabnya singkat.
Langit hanya ngangguk, dia ikut membalikkan piring. Diam, menunggu Awan selesai mengambil nasi. Melirik anak lelakinya sebentar, ada rasa rindu dan bangga yang begitu sulit ia ungkapkan. Anak yang memang ia telantarkan, telah tumbuh menjadi anak dewasa yang tampan dan pintar. Bagaimana mungkin dia bisa setega itu meninggalkannya, bahkan tak pernah ada saat Awan benar-benar membutuhkannya.
“Makasih,” ucapnya saat ternyata Awan telah mengambilkan nasi di piringnya.
Tak ada sahutan, Awan hanya menggeser dua piring berisi lauk itu agar lebih mudah di jangkau oleh papinya. Setelahnya, ia duduk dan mulai makan dengan nyaman.
Di ruang yang berbeda, Selly sibuk membersihkan kamar Langit yang sangat berantakan. Entah, apa yang sudah dilakukan oleh pria itu semalam, sampai lemarinya acak-ackan tak berbentuk. Setelah selesai merapikan kamar, dia mengambil keranjang baju kotor dan membawanya keluar dari kamar.
Begitu pintu di tutup, ia langsung menunduk, menelan ludahnya yang ternyata mengering di tenggorokan. Sedikit mengulas senyum saat tatapannya bertemu dengan Awan. Namun senyum itu pudar karna tak mendapatkan balasan, malah Awan seakan tak melihatnya.
“Sel, sini, biar bibik aja yang nyuci. Kamu fokus sama Tuan Langit aja.” Bik Atik melarang saat Selly mulai sibuk memilah baju-baju.
“Uumm, tapi kan mereka lagi sarapan, bik.”
“Ya nggak apa-apa. Kamu bisa istirahat sebentar, abis bantuin Tuan Langit mandi, pasti kamu juga capek kan. Udah, istirahat dulu. Itu kamu bisa sarapan kalau belum makan.”
Selly akhirnya menurut. Meletakkan kembali baju-baju itu. Mengambil duduk di kursi yang ada di dapur. Menuang air putih kedalam gelas, lalu mulai minum. Bangun pagi, bikin sarapan, ngurus bapak. Selanjutnya, dia harus mengantarkan jualan bu Sulis ke beberapa warung makan. Baru bisa datang kesini. Cukup melelahkan, tapi dia tetap menikmatinya, terlebih ada tawaran pekerjaan baru dari tetangganya. Memang sih, uangnya nggak seberapa, tapi setidaknya, itu bisa jadi tambahan untuk kehidupan di hari berikutnya.
“Udah punya pulsa belum?”
“Astamas! Ya Allah ….” Dengan susah payah Selly menangkap gelas yang hampir jatuh ke lantai. Asik ngelamun, tetiba ada orang ngagetin, terlebih yang ngagetin itu Awan. Udah pasti itu gelas melayang ke bawah, untung banget melayangnya nggak ke kepala Awan.
“Gelas di rumah gue, herganya mahal. Jangan sembarangan di pecahin!” kembali Awan berucap, tanpa sedikit pun ngerasa salah.
Selly menarik nafas dalam, lalu membuangnya pelan. “Kamu ngagetin, Wan. Makanya tadi gelasnya hampir jatuh.”
“Cckk,” Awan mentonyor kepala Selly. “Lo ngelamunin apa sih! Mau ngelamun sejam pun, muka lo tep aja jelek. Kebanyakan ngelamun!”
Selly mendongak, mengelus kepala bekas tonyoran Awan. Nggak lagi menyahut ocehan Awan itu, dia beranjak ke wastafle untuk mencuci gelas bekas minumnya tadi.
“Lo belum ada pulsa?” kembali Awan mengulangi pertanyaannya yang belum mendapatkan jawaban.
Selly mematikan kran, sedikit menoleh, tapi dengan cepat ia menunduk lagi. “Uumm, bel—belum.”
“Beli lah.” Sahut Awan santai, ia mendudukkan p****t di kursi yang tadi Selly duduki.
Selly menoleh, sedikit cemberut menatap Awan yang terlihat sibuk menatap gelas yang berjajar dilemari atas. bisa makan sehari aja udah seneng banget. Mana ada uang buat beli pulsa. “Ak—”
“Kalo nggak punya duit buat beli, lo kan bisa ngutang dulu. Biasanya juga ngutang kan?” sahutan Awan membuatnya tak lagi meneruskan kata-kata.
Selly mengerjab lucu mendengar apa yang dikatakan Awan. Dia membuang nafas panjang. Di rasa-rasa, lama-lama sama Awan begini bukan makin cinta, tapi makin pengen getok kepalanya.
“Gue tuh Cuma kasihan sama Yuna. Dia sampai tanya ke gue. Kenapa lo nggak bales sms-nya. Cckk, nggak tega banget liat dia ngawatirin orang kek lo.” Kembali cowok jutek itu berucap.
Selly memilin jari jemarinya sendiri. Ada rasa kecewa yang menelusup secara tiba-tiba. Sungguh, dia pikir, Awan mempedulikannya, mengharapkan dia untuk bisa tetap berkomunikasi, atau … ah, ternyata itu hanya perasaannya sendiri saja. Karna lagi dan lagi, itu masih tentang Ayuna, belum berpindah ke hati yang lainnya.
Selly membuang nafas cukup kasar, mendongak, sedikit mengulas senyum ke Awan. “Kalau Yuna tanya lagi, tolong bilangin ke dia ya. Aku … aku belum ada pulsa. Aku—aku mau ke … ke pak Langit dulu.” Selly beranjak keluar dari dapur.
“Udik!”
Panggilan dari Awan menghentikan langkah Selly. Gadis mungil berkaca mata itu mendongak, menatap Awan yang kini berdiri menatapnya. Saling diam, bahkan untuk beberapa menit, Awan tak juga mengucapkan apa pun.
“Uumm, ada … ada yang mau kamu sampaikan lagi?” tanya Selly yang kini sudah bisa ngomong sedikit santai.
Awan terlihat membuang nafas, lalu memijat hidungnya. “Uumm, nggak. Nggak jadi.”
Selly ngangguk, lalu tersenyum kecil. “yaudah, aku ke … ke papi kamu dulu.”
“Eh,”
Kembali langkah Selly terhenti karna Awan masih saja bersuara, berbicara padanya. Selly menoleh lagi, menatap ke Awan.
“Kenapa lo nggak jadi masuk ke UP?”
Selly diam, kini tatapannya berubah menjadi rasa … rasa aneh. Rasa menggebu, bahagia, kecewa dan seperti tertumpu pada batu yang begitu besar. Bahagia, karna Awan mempedulikannya. Begitu kecewa karna harapan untuk bisa kembali dalam satu kelas itu harus pupus begitu saja.
“Uumm, aku … aku harus ngurus bapak. Dia … dia sakit. Jadi aku nggak bisa ambil kuliah.”
Awan ngangguk, memasukkan kedua tangan di celana. “Oh, jadi karna itu. Ok, nanti aku kasih tau ke Yuna.” Dia nyengir, lalu melangkah begitu saja.
Selly menatap punggung cowok yang kini berjalan menaiki anak tangga itu dengan rasa kecewa yang semakin dalam. Kenapa Ayuna lagi sih?