Eps 7 Diantar Pulang

1686 Kata
Di balkon sana, Awan melipat kedua tangan di depan d**a. Setelah pulang kuliah dia nggak keluar rumah. Padahal biasanya juga nggak betah berdiam seperti ini. Bibir manis itu tersenyum tipis saat di bawah sana, Selly tersemprot air dalam keran yang akan di gunakan untuk menyirami tanaman di depan rumah. “Eh, itu pesanan saya sudah datang. Ambilkan dulu sana.” Suara papinya membuat Awan menatap kearah gerbang yang tertutup rapat di depan sana. Tanpa menjawab, Selly mematikan keran air. Lalu beranjak, melangkah mendekati gerbang tinggi itu. Kang ojol yang ada di luar gerbang sedikit mengulas senyum. “Atas nama Langit Efendi?” tanya si kang ojol. Selly membalas senyuman itu, ngangguk kecil. “Iya, mas.” “Ini pizza pesanannya. Dua ratus enam puluh lima ribu.” Memperlihatkan plastik putih di tangan, karna gerbangnya masih tertutup rapat. Selly menarik kunci, dengan susah payah ia mendorong gerbang itu. Akhirnya si mas ojol milih ngebantuin, karna nggak tega liat wajah ngeden si Selly. Setelah pintu terbuka sedikit, Selly menerima uluran plastik itu. “Sa—saya mintakan uang ke pak Langit dulu ya, mas.” “Iya, mbak.” Jawabnya seraya ngangguk. Sedikit berlari, Selly melangkah mendekati Langit, menyerahkan plastik putih berisi pizza yang di pesan secara online itu. Sedangkan di atas sana, Awan sedikit menyipit, ngeloyor masuk kedalam kamarnya. Menit berlalu, Langit sudah ada didepan meja makan. Sementra Selly membukakan pizza itu, mengambilkan air minum dan meletakkan di atas meja depan Langit. Dia sendiri segera pergi ke dapur, karna nggak mungkin banget kan, mau menunggui majikannya yang tengah menikmati makanan. “Wan, sini. Papi beli pizza.” Seru Langit ketika melihat Awan yang mulai menuruni anak tangga. Awan menatap dua bulatan pizza yang ada di atas meja. Ada yang menghangat di d**a saat tau jika di atas meja itu adalah pizza dengan rasa favoritenya. “Papi sengaja pesan yang meat monsta. Kamu masih suka yang ini kan?” menarik satu box yang belum tersentuh, menyodorkan box itu di depan Awan. “Ayok, makan.” Tak mengatakan apa pun, tapi langsung membuka box. Sedikit mengulas senyum dan mulai makan. Menit berlalu, Awan telah habis dua potong, udah cukup kenyang. Ia menuangkan air ke gelas, lalu meneguknya. “Makasih.” Ucap Langit saat tangan Awan mengemasi makanan di depannya. Tetap diam, dia langsung membawa sisa pizza itu ke dapur. Celikukan, tentu mencari keberadaan Selly. Setelah menaruh pizza di atas meja, ia memasukkan kedua tangan di saku celana. Membuka pintu dapur yang langsung mengarah ke luar rumah. Ia pun keluar, menuju depan rumah. Kedua mata menyipit saat melihat Selly yang kini menutup gerbang dari luar, lalu melangkah pergi. ‘Dia udah mau pulang?’ batinnya dalam hati. Segera ia berlari, masuk kedalam rumah. Tak pedulikan papinya yang menatapnya heran, ia menaiki tangga, masuk ke kamar. Mengambil jaket, lalu meraih kunci motor. Setelahnya, ia kembali turun dengan berlari. “Wan, kamu mau kemana?” tanya Langit dengan sangat heran. “Mau nyuci motor.” Jawabnya ngasal. Tak lagi pedulikan Langit yang sepertinya mau kembali ngomong. Ia melangkah keluar rumah dengan begitu cepat. Menjalankan ninja putih itu keluar dari halaman rumah. Menyusuri jalan yang biasa di lewati Selly saat pulang. Matanya awas, celikukan menatap ke trotoar yang memang ada beberapa pejalan kaki disana. Sialnya, Selly tak ada di sana. Tapi nggak mungkin juga kan, gadis itu udah pergi dengan cepat? Dia membawa motor lurus, kini tujuannya ke halte yang ada tak jauh dari gang masuk ke kompleks rumahnya. Diam menatap dua ibuk-ibuk dan seorang lelaki yang sepertinya sedang menunggu angkot. Terpaksa turun, membuka tudung hoddie yang menutupi kepala sejak tadi. “Buk, udah lama nunggu angkot di sini?” tanyanya ke salah satu ibuk-ibuk, tapi ketiga orang yang ada disana menoleh semua. “Udah sih. Udah sejak seperempat jam yang lalu. Mungkin sebentar lagi, angkotnya datang.” Jawab si ibuk yang di tanya. “Kamu tukang ojek? Mau nawarin ojek?” tanya ibuk yang satunya dengan tangan yang menuding kearah Awan. Awan menggeleng. “Bukan. Saya Cuma nanya sih.” “Oalah, kirain tukang ojek nyari penumpang.” Seru si ibuk. Tak peduliin itu, dia berbalik. Kembali berjalan mendekati motornya. Kini tatapannya tertuju kearah yang tak begitu jauh. Di mana gadis berkaca mata itu berjalan menunduk, sibuk membersihkan tangan. “Dia dari mana? Kenapa baru sampai sini? Perasaan tadi nggak liat dia?” gumamnya lirih. Memasukkan kedua tangan di saku hoddie, lalu duduk di jok motor. Tampang cueknya keliatan banget kalau dia nggak peduli sama si Selly. Bahkan ketika Selly lewat di depannya, dia belaga nggak liat. Sementara Selly sempat menghentikan langkah, menatap Awan yang menunduk, liatin aspal di bawah sana. “Wan, kamu ngapain disini?” tanyanya, menoleh ke kiri kanan. Siapa tau kan, ada Mico atau Pangeran yang lagi Awan tungguin. Dia mengangkat kepala, menatap wajah lelah Selly. “Kepo.” Jawabnya singkat. Selly sedikit mengerucut, menghela nafas sebentar. “Yaudah, aku mau pulang dulu.” Dia melangkah dengan sedikit berlari. Karna angkot sudah datang, berhenti tepat didepan halte. Melihat Selly ikut antri untuk masuk kedalam angkot, Awan beranjak. Menatap punggung kecil itu dengan kedua tangan yang terkepal. “Eh, udik!” Teriakan Awan membuat Selly menoleh, membenarkan kaca mata, lalu menatap cowok jutek yang kini menatapnya. “Kenapa?” Diam, bingung mau ngomong apa. Ada sudut hati yang bergetar, tapi wajahnya tetap biasa aja. Sampai hitungan detik berlalu, Awan tetap berdiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Ayo, neng. Jadi ikut nggak?” sopir angkot menginterupsi, karna Selly tak juga naik. “Iya, pak.” Sahut Selly. “Wan, aku pu—” “Dia nggak ikut, pak!” sahut Awan, memotong ucapan Selly dengan cepat. “Eh, aku—” “Gue anterin.” Kata-kata yang membuat kedua mata Selly melotot, terkejut tentunya. Udah seminggu lebih, Selly ngurus Langit di rumah awan. Dan baru kali ini Awan bilang kalau mau anterin dia. Selly menatap angkot yang kini mulai berjalan meninggalkannya. Sedangkan Awan terlihat salah tingkah. Menggaruk kepala bagian belakang, membuang angin dengan kasar melalui mulut. Lalu mengacak rambut panjangnya. Detik kemudian, dia mulai menaiki motor, memutar kunci dan menyalakan mesinnya. Menatap Selly yang masih diam di tempat dengan tangan yang memainkan tali tas. Gadis itu … grogi. “Buru naik!” teriak Awan menginterupsi. Selly sedikit cemberut. ‘Diih, padahal, dia jalan kesini lalu berhenti di depanku kan bisa? Kenapa aku harus balik ke sana? Nyita waktu aja!’ ngedumel dalam hati. Karna memang hanya bisa ngomel dalam hati aja. “Cckk, buru! Kelamaan, gue nggak jadi antar!” ‘Yaampun, siapa juga sih yang minta di antar? Padahal dia sendiri tadi yang nawarin diri! Kenapa sekarang jadi aku yang berkesan maksa dia? Diih, kapan si Awan nggak ngeselin!’ kembali Selly ngomel dalam batin. Terpaksa Selly kembali berjalan mendekati Awan, lalu naik ke boncengan dengan kedua tangan yang berpegangan di bahu Awan. Setelahnya, motor putih itu melaju pelan meninggalkan halte. Selly menunduk, sesekali tangannya membenarkan kaca mata yang udah rusak. Kadang diam menatap punggung cowok yang tertutupi hoddie warna abu-abu di depannya ini. Wangi, bikin pengen peluk, tapi milih ngampet. Sesekali ia menatap ke kiri kanan, dimana ada banyak pengendara lain yang berjalan bersebelahan. Tiba-tiba …. Gleek! Motor Awan berhenti di pinggir jalan. Cowok jutek itu memukul tangki motor dengan wajah kesal. “Ken—kenapa, Wan?” tanya Selly sedikit mendekat. Diam untuk beberapa detik, terdengar helaan nafas kasar dari Awan. “Gue lupa belum isi bensin. Turun dulu. Kita dorong motornya.” Kedua mata Selly kembali melotot. Beneran pengen banget ngomel. Enakan juga tadi naik angkot kan? Ia turun, tentu dengan memegang kedua bahu Awan. Awan pun ikutan turun, mendorong motor gede yang tentu nggak enteng. “Cckk, bantuin dorong!” ketusnya dengan menatap Selly yang diam berjalan di belakangnya. Tanpa menjawab, Selly ikutan megang pantan motornya. Ikut mendorong motor dengan sisa-sisa tenaganya. Ada nggak sih, kencan dengan keadaan yang kek gini? Behahah …. Saling cuek. Eh, enggak sih. Lebih tepatnya si Awan jual mahal, sementara Selly agak grogi dan pemalu. Berkali Selly manyun dengan melirik cowok di depannya. Kasihan juga sih, tangan Awan berkali mengusap kening yang udah pasti berkeringat. Kenapa tambah tampan ya? Nggak kerasa, bibir tipis itu mengulas senyum. Makin cinta. Menit berlalu, mereka udah cukup jauh ngedorong motor. Beruntung banget, nggak sampai dua kilo meter, udah ketemu sama penjual bensin eceran. “Bensin, buk!” teriak Awan dari luar warung. Selly memilih lanjut jalan, lalu duduk di kursi yang ada di trotoar. Tak jauh dari warung itu. Dia mengambil buku dari dalam tas, membuatnya sebagai kipas, mengipasi wajahnya yang cukup kelelahan. Di rumah Awan tadi udah lelah, ini di tambah ngedorong motor. Lelah banget pastinya. “Ayok.” Ajak Awan, menghentikan motor tepat di depan Selly. Nggak ngomong apa-apa, Selly pun langsung naik ke boncengan. Lalu motor kembali berjalan menyusuri jalanan yang sudah hampir gelap. Saling diam, karna mereka sama-sama bingung mau ngobrolin apa. Di bilang dekat, mereka jarang ngobrol. Tapi kalau di kata nggak kenal, mereka udah kenal lama. “Stoop!” Setelah lama berjalan, Selly menepuk pundak Awan. Meminta cowok itu berhenti di gang masuk menuju ke rumahnya. “Kenapa? Kan rumah lo masih di dalam sana.” Tak menjawab, tapi Selly langsung turun dari boncengan. Membenarkan kaca mata dulu, lalu menatap wajah Awan dengan sedikit tersenyum. “Aku mau ambil wadah dulu di warung sana. Jadi … sampai di sini aja.” Awan terdiam, tapi tatapannya tertuju kearah telunjuk Selly. “Oh,” “Yaudah, aku ke warung sana dulu.” Kembali tersenyum, lalu melangkah meninggalkan Awan. “Eh, udik!” panggilnya lagi. Selly berhenti, menoleh kearahnya tanpa kata. Tapi dari tatapan matanya, udah menjelaskan kalo dia menunggu kata yang keluar dari mulut awan. ‘Gue pen mampir, pen ngobrol lebih lama sama elo.’ Mulutnya memainkan angin. Pengen ngomong kek gitu, tapi susah banget. “Kenapa?” “Lo main pergi gitu aja. Nggak bilang makasih? Udah dianterin juga! Dasar, nggak tau diri!” Kedua mata Selly melotot mendengar ucapan Awan. Mulutnya sedikit terbuka saking terkejutnya. Membiarkan Awan memutar badan motor, lalu melaju cepat meninggalkannya. Selly membuang nafas kesal berkali-kali, berkacak pinggang dengan bibir cemberut. “Yaampun, kenapa aku jadi antagonisnya? Padahal dia sendiri yang nawarin diri. Dasar pohon pisang!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN