45 - 'Latihan'

1450 Kata
           “Hee, ternyata kau masih bisa membunuh dengan baik, ya?”            Jantung Lucius seakan berhenti untuk sesaat, dengan cepat ia memutar tubuhnya ke arah sumber suara.            “Kukira kau sudah lupa cara membunuh seseorang karena kau terlalu lama bermain menjadi anak baik, Lucius.”            “Lakra.”            Dengan senyuman tipis di wajahnya, Lakra turun dari atas pohon yang ada di balik punggung Lucius tanpa ia sadari dengan mulus. “Kukira kau benar-benar kehilangan ingatanmu. Jika kenyataannya tidak, kenapa kau tidak pulang? Kakakmu ini merindukanmu.”            Lucius mendesah panjang sambil mengusap bagian belakang lehernya. "Kau akan menarikku pulang dengan paksa?"            Lakra tersenyum tipis sambil memiringkan kepalanya ke samping. "Itu tergantung dengan sikapmu."              "Kalau begitu. Tidak, terima kasih."            Lucius langsung membungkukkan tubuhnya dengan cepat dan kembali mengambil belati yang baru saja ia kembalikan kepada pemiliknya. Meski ia melakukannya dalam satu hitungan, ia tidak yakin kalau gerakannya cukup cepat untuk melawan kakaknya sendiri.            Benar saja, belum sempat Lucius meluruskan kembali punggungnya, belati milik Lakra sudah berada tepat di balik lehernya.            "Jadi? Kau akan pulang atau tidak?" bisik Lakra tepat di telinganya, membuat Lucius langsung menelan ludahnya dengan susah payah.            Lucius menggenggam erat belati yang ada di tangannya, kemudian dalam sekali hembusan napas, ia menghunuskannya ke balik punggungnya.            Tentu saja, Lakra dapat dengan mudah menangkisnya. Menyadari kalau serangannya gagal, Lucius langsung melompat menjauhi kakaknya.            Lakra mendesah panjang sambil memainkan belati di tangannya. “Apa kau berpikir kau bisa lari dariku dengan mudah? Kau tahu, ‘kan. Semua orang yang tinggal di tempat bermainmu itu tidak memiliki makna sedikit pun untukku.”            “Jangan berani-beraninya kau melukai mereka,” geram Lucius sambil menggertakkan giginya.            Lakra tertawa satu kali, kemudian menambahkan, “Lalu, jika aku melukai mereka … apa yang bisa kau lakukan padaku?”            Lucius hanya bisa mendecakkan lidahnya. Itu benar, apa yang bisa dilakukan olehnya pada Lakra? Kemampuannya masih sangat jauh bila dibandingkan dengannya. Jika sejak awal Lucius adalah musuh Lakra, mungkin tubuhnya saat ini sudah menjadi dingin karena ia akan langsung kehilangan nyawanya bahkan ketika ia belum melihat Lakra dengan kedua matanya.            “Apa kepalamu itu sudah dingin? Apa kau akan pulang sekarang?” Lakra mengusap belatinya dengan senyuman tipis di wajahnya. “Sebenarnya apa yang membuatmu bertahan di tempat seperti ini? Apa karena seseorang yang bernama Zoe itu? Jika ia tidak ada di tempat ini lagi, kau tidak akan mungkin memiliki ikatan pada tempat bermainmu itu, ‘kan?”            Lucius hanya bisa menggertakkan giginya dengan kening yang berkerut dalam. Setelahnya ia melempar belati yang dari tadi digenggam erat olehnya. “Aku akan pulang.”            “Itu bagus,” kata Lakra sambil menganggukkan kepalanya dengan puas. “Ah, aku tahu kau akan sangat senang karena akhirnya kau bisa pulang. Tapi, jangan lupa kalau kau gagal menjalankan misi terakhirmu itu.”            “Aku tahu,” balas Lucius sambil menyisir rambut yang menghalangi pandangannya dengan jari. “Apa … apa Tria baik-baik saja?”            Lakra menaikkan kedua alisnya dengan wajah kebingungan, kemudian tawa keluar dari mulutnya. “Setelah meninggalkan misimu itu, kau masih memiliki pemikiran untuk bertanya tentang klienmu? Tentu saja dia sudah mati, tubuh dan kepalanya sudah menjadi pakan ikan di hari yang sama ketika kau kehilangan kesadaran dan meninggalkan klienmu sendirian.”            Dari jawaban Lakra saja Lucius sudah tahu apa yang akan ia dapatkan ketika ia sampai rumah. Padahal, ia baru saja sembuh dari luka yang sebelumnya.            Sebagai salah satu anggota keluarga Xlavyr yang memiliki julukan sebagai ‘Tangan Kanan Iblis’, mereka tidak pernah gagal dalam menjalankan misi atau permintaan yang diberikan oleh klien mereka. Layaknya iblis yang dapat mewujudkan apa pun keinginan mereka yang akan menjual jiwanya kepada mereka.            Meski begitu, setidaknya ia pernah mendengar kalau ada sebuah misi yang gagal dikerjakan oleh salah satu anggota keluarganya. Tentu saja, orang itu tidak memiliki akhir yang bahagia.            Lucius mendesah pelan sambil menoleh ke arah terakhir kali Zoe pergi. ‘Pulang’ ke rumahnya dan tetap di tempat ini rasanya sama saja. Akhir hidupnya akan sama-sama kehilangan nyawanya …            “Lebih baik kau tidak memiliki pemikiran untuk lari dariku lagi, Lucius.”            Lucius mendecakkan lidahnya pelan kemudian membalas, “Aku tahu.”            “Manusia merupakan makhluk yang mudah lupa. Mungkin setelah kau sampai rumah, kau akan melupakan anak yang bernama Zoe itu dengan mudah. Begitu pula dengannya.”            .            .            Lucius tidak pernah mengerti bagaimana caranya Lakra melacak di mana keberadaannya. Karena, desa di mana Lucius berada jaraknya cukup jauh dari ‘rumahnya’. Mereka membutuhkan waktu selama tiga hari dua malam dengan berkuda. Meski tidak ingin mengakuinya, sepertinya ia juga harus mempelajari hal ini dari Lakra.            Hal pertama yang ia sadari ketika melihat rumah yang ia rindukan—tentu saja tidak—dari jauh adalah … keberadaan ayahnya.            “Oh! Beruntung sekali, Lucius~ Saat ini ayah sedang ada di rumah,” kata Lakra dengan senyuman cerah di wajahnya sambil menepukkan tangannya berkali-kali.            “Terima kasih karena sudah memberitahukan hal yang tidak perlu kau ingatkan padaku,” jawab Lucius tanpa jeda sedikit pun.            “Tenang saja. Kemampuanmu dalam menjalani misi sebelumnya sangat memuaskan. Ayah tidak mungkin membuangmu begitu saja karena kau gagal menyelesaikan misi sebelumnya,” kata Lakra sambil menepuk punggung Lucius dengan girang. “Mungkin kau hanya akan kehilangan satu, atau dua, atau mungkin tiga, jika ayah sedang memiliki suasana hati yang buruk, mungkin lima jari kaki atau tanganmu.”            “Terima kasih  karena sudah memberitahukan hal yang tidak ingin kutahui,” kata Lucius sekali lagi dengan nada yang sama seperti sebelumnya.            “Ey, ayolah~ Mengetahui apa yang akan datang sebelumnya tidak akan terlalu buruk, ‘kan?” Lakra mengucapkan kalimat itu dengan nada tidak cocok dengan makna dari perkataannya sendiri.            Seseorang yang memiliki pekerjaan seperti dirinya seharusnya tidak lagi memiliki rasa ‘takut’. Tetapi, jika ia berurusan langsung dengan ayahnya … perasaan yang seharusnya sudah lama dibuang dari dirinya itu kembali dengan cepat. Menggerogoti tubuhnya sedikit demi sedikit.            Langkah kaki Lucius semakin lama semakin pelan ketika ia mendekati pintu rumahnya. Menyadari hal itu,  Lakra memiringkan kepalanya dengan bingung, dan berkata, “Kenapa kau tidak membuka pintunya?”            “ … tanganku sakit.”            Lakra tertawa terbahak-bahak sambil menendang pintu masuk rumahnya dengan gembira. “Oh. Apa kau tidak memiliki alasan yang lebih baik lagi?” katanya sambil menahan perutnya. “Ayah, aku pulang~ Tebak siapa yang kubawa?”            Lucius langsung menundukkan wajahnya melihat lantai yang ada di bawah kakinya. Tangannya langsung berkeringat ketika merasakan keberadaan ayahnya semakin lama semakin dekat.            “Apa sudah cukup kau bermain di luar sana, Lucius?”            Mendengar suara ayahnya, Lucius mencoba untuk tidak gemetaran. Ia hanya menelan ludahnya dengan susah payah dan menjawab, “Aku pulang.”            “Kau tahu apa yang harus kau lakukan.”            Lucius menganggukkan kepalanya, kemudian berjalan ke ruang ‘latihan’ tanpa mengangkat wajahnya sedikit pun.            Ruang ‘latihan’ yang berada di bagian bawah rumahnya itu hanya sebutan yang dibuat oleh Lakra, karena setiap kali ia keluar dari ruangan itu, kekebalan tubuhnya selalu lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya. Menurut Lucius, ruangan itu lebih tepat disebut dengan ruang penyiksaan dibandingkan dengan latihan.            Tentu saja ia sering masuk ke ruangan ini. Tetapi hal itu memang karena latihan yang membuat tubuhnya tidak terlalu kesakitan jika terkena sayatan benda tajam atau semacamnya.            Tapi … kali ini akan sangat berbeda karena kali ini ia melakukan sebuah kesalahan. Kesalahan karena tidak berhasil menyelesaikan misinya.            Ruangan itu tidak memiliki jendela sama sekali. Tidak ada sumber cahaya apa pun di dalamnya. Hanya ada kegelapan, dan juga suara melata yang memenuhi ruangan itu. Lucius menarik dan menghembuskan napasnya beberapa kali sebelum akhirnya masuk ke dalam.            Tubuhnya terjatuh satu sampai dua meter ke bawah, kemudian suara yang terdengar tidak manusiawi mulai menyakitkan telinganya. Dengan cepat beberapa makhluk melata mulai menggerogoti tubuhnya dari ujung kaki, dan naik sampai ke lehernya.            Lucius hanya bisa menahan rasa sakit bagian tubuhnya yang sedikit demi sedikit ‘dimakan’ oleh sesuatu. Mungkin ia harus menghabiskan waktunya selama satu minggu di dalam ruangan itu. Atau mungkin lebih. Atau mungkin seumur hidupnya …            Lucius hanya bisa mendesah dan menutup kedua matanya. Meski sudah terbiasa menerima ‘latihan’ semacam ini, tetap saja rasa sakitnya akan terasa. Semakin banyak makhluk itu memakan daging dan meminum darah, semakin sakit pula apa yang dirasakan oleh Lucius. Mungkin dua sampai tiga hari ia masih bisa tidur. Tetapi untuk hari selanjutnya ia tidak akan bisa.            Desahan panjang keluar dari mulutnya. ‘Ah, rasanya aku ingin memakan sup daging buatan Syville lagi …’            Kedua matanya langsung terbuka. Dengan kening yang berkerut, Lucius mencoba untuk mengingat apa yang dipikirkannya tadi. Memakan sup daging buatan … buatan siapa?            …            Sepertinya hal pertama yang harus ia lakukan setelah keluar dari ruangan ini—tentu saja jika ia masih memiliki nyawanya ketika ia keluar dari tempat ini—adalah membuat sup daging.  [] 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN