49 - Halusinasi?

1700 Kata
           Lucius sempat kehilangan kesadarannya karena tak kuasa menahan rasa sakit pada seluruh tubuhnya. Makhluk melata yang terus menggerogoti tubuhnya terasa semakin berat dengan gigitan yang menyakitkan karena terus memakan daging di tubuhnya dengan semangat.            Meski ia menyingkirkan makhluk melata itu dari atas tubuhnya, dengan cepat puluhan atau mungkin ratusan makhluk melata yang lain kembali mengerubungi tubuhnya lagi.            Jika hitungannya tepat, sudah enam hari berlalu sejak ia berada di dalam ruang ‘latihan’ ini. Ia sudah mulai kelaparan, tenggorokkannya terasa sangat kering dan haus. Memakan makhluk melata yang memakan daging pada tubuhnya sendiri tentu saja bukan jawabannya …            Merasa sudah tidak tahan lagi, akhirnya Lucius bangun dari posisi tidurnya, berjalan menuju sisi ruangan dengan menendang makhluk melata yang terus menempel pada tubuhnya dan mengambil belati yang ia sembunyikan di dalam sepatunya.            Ia menggunakan belatinya itu untuk melubangi dinding ruang latihan, membuat sebuah lubang yang cukup sampai ia bisa menyelipkan kedua kakinya. Dengan lubang itu ia bisa memanjat setinggi beberapa meter dari lantai ruang latihan, setidaknya dengan melakukan hal itu ia bisa menghindari gigitan dari makhluk melata yang ada di sana.            Meski sering masuk ke ruangan ini, Lucius tidak pernah tahu makhluk apa sebenarnya yang ada di ruangan ini. Karena tidak ada sumber cahaya sedikit pun, ia tidak bisa melihat isi dari ruangan ini, kakaknya juga mengatakan hal yang sama.            Kakaknya pernah mencoba untuk membawa lentera masuk ke dalam ruangan ini. Namun entah dari mana ayahnya tiba-tiba muncul dan mengambil lentera dari Lakra, kemudian ia dikurung di dalam ruangan ini selama satu minggu.            Kejadian berikutnya, kakaknya pernah mencoba untuk membawa makhluk melata itu keluar dari ruangan ini. Namun Lakra mengatakan makhluk melata itu langsung berubah menjadi serbuk seperti abu ketika ia baru saja ingin membuka pintu keluar ruangan ini.            Dari situ Lucius bisa tahu kalau makhluk melata yang ada di ruangan ini lebih misterius dibandingkan dengan ayahnya sendiri.            Selama kurang lebih tujuh jam Lucius menempel di dinding dengan kedua kakinya yang diselipkan pada lubang kecil yang ia buat dengan belatinya. Setelah ia mulai merasa kelelahan karena bermain pura-pura menjadi cicak, akhirnya ia mulai membuat lubang yang lebih besar.            Kali ini ia bermaksud membuat lubang yang cukup untuk bokongnya, setidaknya dengan melakukan hal itu ia bisa duduk dengan santai tanpa perlu khawatir daging dan darahnya dimakan oleh makhluk melata misterius yang ada di bawah sana.            Setelah berlatih bagaimana membuat dua buah lubang dengan belati sebelumnya, kali ini Lucius tidak membutuhkan waktu yang banyak untuk membuat lubang yang lain. Ia hanya perlu lima jam untuk membuat lubang yang cukup besar yang bisa ia gunakan untuk duduk.            Usahanya tidak sia-sia. Meski tidak terlalu nyaman, setidaknya Lucius bisa duduk dengan menyandarkan punggungnya ke dinding tanpa perlu khawatir tubuhnya semakin rusak.            Dari bawah Lucius bisa mendengar jeritan makhluk melata itu karena mereka tidak bisa memakan tubuhnya. Padahal, mereka bisa mencium seseorang yang bisa mereka makan berada di ruangan yang sama.            Lucius melepas bajunya yang sudah tidak bisa disebut sebagai baju lagi. Rasanya, saat ini ia sedang menggunakan kain penuh lubang yang dikaitkan di bahunya. Dengan menggunakan kain pada bajunya itu ia membalut beberapa bagian tubuhnya yang terasa sangat sakit.            Darah terus menetes dari lukanya, bahkan ia merasa kalau bagian dalam tangannya memiliki luka yang terasa seperti daging dan kulitnya dipotong oleh pisau daging.            … Sepertinya Lucius harus menghilangkan pemikiran yang sebelumnya ketika ia ingin memakan sup daging setelah melalui hal seperti ini.             Lucius tidak tahu harus berterima kasih atau tidak. Jika dia tidak pernah menjalani ‘latihan’ semacam ini sejak ia masih sangat muda, terkurung selama satu jam saja di dalam ruangan ini mungkin bisa menghilangkan nyawanya.            Untuk saat ini setidaknya ia bisa berterima kasih terlebih dahulu.            Telinganya kembali dipenuhi oleh suara jeritan makhluk melata itu. Meski begitu, Lucius tetap tidak bisa melihat di dalam kegelapan yang seperti ini. Ia memainkan belati miliknya karena ia mulai merasa bosan, sesekali melemparkan serpihan dinding dan mendengar reaksi makhluk melata di bawah sana.            Entah kenapa semakin lama ia semakin penasaran dengan makhluk yang ada di bawah sana. Sebelumnya Lucius pernah mencoba untuk memegangnya. Tubuhnya sangat empuk dan licin, seperti berminyak, sama seperti seekor belatung.            ‘Coba saja ada api …’ batin Lucius sambil membuka telapak tangannya, mencoba untuk membayangkan api yang tiba-tiba muncul di sana.            Entah karena ia mulai berhalusinasi karena terlalu lama terkurung di dalam ruangan itu, atau mungkin karena terlalu lapar, atau bisa jadi karena ia terlalu banyak kehilangan darah karena luka gigitan terima kasih pada makhluk melata yang ada di bawah sana … tiba-tiba di telapak tangan Lucius benar-benar muncul kobaran api.            Kobaran api yang cukup besar dan muncul tiba-tiba di telapak tangannya itu membuatnya sedikit panik. Suara jeritan makhluk melata yang ada di bawah sana juga membuatnya lebih panik.            ‘Whoa, akhirnya kau bisa menggunakan sihir lagi. Apa kau bisa mendengarkanku sekarang?’            Sekali lagi, Lucius dikejutkan oleh suara seseorang yang terasa berbicara di dalam kepalanya. “Siapa kau?”            ‘ … Apa ingatanmu masih belum kembali? Meski pun kau bisa mendengarkanku dan bisa menggunakan sihir lagi sekarang?’            Lucius menyipitkan kedua matanya kemudian bertanya, “Apa kau iblis yang membuat kontrak dengan ayahku?”            Suara di dalam kepalanya tertawa terbahak-bahak sebelum menjawab, ‘Oi, jangan bercanda. Kau benar-benar tidak ingat diriku? Lalu … iblis yang membuat kontrak dengan ayahmu? Bukankah kau sudah menghilangkan kutukannya?’            Lucius menggaruk kedua kupingnya karena terasa gatal dengan suara yang berbicara di dalam kepalanya. “Sebenarnya apa yang terjadi …”            ‘Kukira kau sudah ingat, karena sebelumnya kau sempat bilang akan makan sup daging buatan Syville, ‘kan?’            Lucius mengedipkan matanya satu kali, kemudian mengusap dagunya berpikir dengan keras. “Sepertinya begitu … tapi aku tidak mengingat siapa ‘Syville’ ini.”            Suara di dalam kepala Lucius kembali tertawa. ‘Lebih baik kau mengingatnya sendiri. Lagi pula, sepertinya waktu itu akan tiba tidak lama lagi.’            “Hei, apa maksud—”            Belum sempat Lucius menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba pintu ruangan ‘latihan’ terbuka dari luar. Cahaya dari lentera yang dibawa oleh kakaknya membuat kedua mata Lucius sedikit sakit karena ia sudah lama tidak melihat cahaya dari luar.            “Oh, kau masih hidup?”            “ … aku sudah boleh keluar sekarang?”            Lakra tersenyum tipis sambil mengangkat lenteranya lebih tinggi. “Apa? Kau sudah menyerah?”            “Dari pada menghabiskan waktu di tempat ini, bukankah lebih baik aku bekerja?” Lucius balik bertanya. “Aku tidak akan mengambil uangnya.”            “Heee … kalau begitu cepat. Aku dapat pekerjaan baru yang bisa menarik perhatianmu,” balas Lakra sambil membuka pintunya lebih lebar.            Tanpa basa-basi lebih lanjut, Lucius keluar dari ruangan itu mengikuti kakaknya dari belakang. Sebelum ia menutup pintunya, Lucius mencoba untuk membuat api kecil di telapak tangannya lagi.            Tapi tidak berhasil. Suara yang terdengar seperti bicara di dalam kepalanya pun menghilang. Sepertinya benar, dia hanya berhalusinasi atau semacamnya karena terlalu lama di dalam ruangan itu.            .            .            “Pakai ini,” kata Lakra sambil melempar sebuah tabung kaca kecil kepada Lucius ketika ia baru saja selesai membersihkan tubuhnya dan juga mengganti pakaiannya.            Tabung kaca itu dengan mudah ditangkap oleh Lucius. Dengan kedua mata yang disipitkan, ia menerawang isi tabung kaca itu.            Di dalamnya terlihat seperti obat oles berupa salep, dari warnanya yang berwarna hijau pucat, ia bisa tahu kalau obat itu terbuat dari tanaman herbal. Ia memastikannya dengan mencium isinya.            “Tenang saja, aku tidak meracuni atau menambah sesuatu yang bisa membahayakanmu,” kata Lakra sambil melempar beberapa gulung perban ke arah Lucius. “Obat itu dapat dengan cepat mengeluarkan racun dari gigitan makhluk melata yang ada di dalam ruang latihan. Setidaknya luka pada tubuhmu itu dapat pulih lebih cepat.”            “Terima kasih.”            “Apa kau terlalu lama tinggal di desa tempatmu bermain-main menjadi orang baik? Atau hukumanmu kurang lama?” kata Lakra dengan ujung bibir yang terlihat berkedut pelan. “Mengucapkan hal itu dengan mudah. Aneh sekali rasanya.”            Lucius memilih untuk tidak menjawab omongan kakaknya dan mulai mengolesi luka gigitan pada tubuhnya dengan obat yang baru saja ia dapatkan. Setelahnya, ia membalut luka yang terlihat cukup parah dengan perban. Jika ia membalut seluruh luka yang ia dapatkan, bisa-bisa ia terlihat seperti mumi.            “Lalu, pekerjaan apa yang harus aku lakukan?” tanya Lucius setelah menghabiskan isi dari tabung kaca itu. “Mengingat hasil dari kerjaku yang terakhir kali, lebih baik aku tidak melakukan pekerjaan seperti itu lagi, ‘kan?”            Lakra tersenyum tipis sambil melemparkan sebuah kertas ke depan Lucius. “Yah … pekerjaan yang kemarin seharusnya dapat dengan mudah kau selesaikan. Sayangnya, kau bertemu dengan salah satu teman kerjaku. Jika saja kau tidak bertemu dengannya, mungkin kau dapat dengan mudah mengalahkan orang-orang yang mencoba untuk melukai Tria.”            “Jadi orang itu benar-benar mengenalmu, ya?” tanya Lucius sambil mengambil kertas yang baru saja dilemparkan oleh Lakra dan membacanya.            Lakra duduk bersila di sofa dan menumpu pipi dengan sebelah tangannya. “Jika orang itu berhadapan denganku langsung, mungkin saat ini tubuhnya yang sudah menjadi pakan ikan. Tapi … aku bisa mengerti kenapa kau bisa kalah darinya. Lagi pula, kemampuannya jauh lebih baik dibandingkan dengan dirimu.”            Mendengar perkataan kakaknya membuat Lucius kesal. Tapi, ia tidak bisa protes. Karena apa yang dikatakan oleh kakaknya benar adanya.            “Mengambil sebuah guci yang dilelang di pasar gelap?” tanya Lucius setelah membaca tulisan pada kertas yang diberikan oleh kakaknya itu.            Lakra tertawa satu kali, kemudian membalas, “Guci itu sangat berharga. Kau bisa membeli dua buah pulau pribadi dan semacamnya. Seharusnya aku yang melakukan pekerjaan ini, tetapi untuk meyakinkan ayah kalau kau masih berguna, aku memberikannya padamu.”            Lucius bergumam pelan sambil memasukkan kertas itu ke dalam kantong celananya. “Lelangnya dilakukan tiga hari lagi … kira-kira butuh dua hari untuk sampai di kota dengan menggunakan kereta kuda.”            Lakra tersenyum tipis sambil melemparkan sebuah tas yang terbuat dari kulit kepada Lucius. “Semua barang-barang yang mungkin kau butuhkan ada di dalamnya. Termasuk belati baru dan juga uang untuk perjalanan dan makan.”            Tanpa berkata apa pun, Lucius menerimanya dan memeriksa isinya. Koin emas yang ada di dalamnya cukup banyak, ia bisa menggunakannya untuk membeli makanan mewah selama satu bulan.            “Kalau begitu aku berangkat sekarang.”            “Ya. Pergilah, aku yakin pekerjaan ini akan terasa menyenangkan untukmu.”            Entah kenapa Lucius tidak bisa mempercayai perkataan kakaknya ketika ia mendengarnya. []                          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN