Trigger

1804 Kata
            “Tolong siapkan company profile PT. Wira Electric. Kita akan mengundang mereka makan siang….” Shandy menghentikan ucapannya untuk menengok sejenak jam yang melingkar di tangan kirinya, “Sebentar lagi. Kurang dari sejam.”             “Baik, Pak.” Adelia mengangguk paham. Dia mengeluarkan beberapa berkas dari dalam laci saat Shandy sudah berbalik ke meja kerjanya sendiri.             “Mungkin minggu depan kita akan ke Semarang.” Shandy bergumam. Matanya sibuk menatap laptop di hadapannya.             “Kita?” Adelia bertanya ragu-ragu.             “Ya. Kita. Kamu dan aku.” Shandy menjawab tanpa memandang ke arah Adelia. Segalanya harus beres dulu di sini sebelum mereka melakukan on the spot ke pabrik perakitan komponen televisi di Jawa Tengah.             Adelia mengerutkan keningnya, “Aku. Kamu. Dan siapa lagi?”             Shandy yang tadinya sedang mengetik sesuatu pada laptopnya, menghentikan segala aktivitasnya tersebut. Dia memandang ke arah Adelia dengan mimik penuh tanda tanya. “Maksud kamu apa? Aku dan kamu.”             “Cuma kita berdua?”             “Memangnya ada yang mau kamu ajak?” Shandy balas bertanya.             Adelia gegas menggeleng, “Ma…maksudku….”  Namun dia tidak menyelesaikan ucapannya. Padahal Shandy sudah menatapnya sungguh-sungguh untuk menunggu apa yang akan Adelia ucapkan.             Setelah beberapa menit berlalu dan Adelia tak kunjung melanjutkan kalimatnya dan justru mengalihkan pandangannya pada berkas-berkas yang Shandy minta dia siapkan, pemuda itu memutuskan untuk beranjak dan menghampir meja Adelia.             “Sudah?” Dia bertanya tentang berkas-berkas calon vendor yang akan ditemuinya.             “Iya, sudah.” Adelia menyerahkan berkas tersebut. Shandy mengambilnya dan berbalik pergi dari ruangan mereka.             Saat Shandy sudah tak tampak di ruangan, Adelia kembali mengempaskan dirinya di kursi. “Huftt….Apa maksudnya on the spot hanya berdua saja?” Adelia mengeluarkan gadget dari dalam tasnya. Gadget yang khusus dia gunakan untuk menggambar ilustrasi. Sudah hampir sebulan dia berkerja di perusahaan ini tapi, tujuan awalnya mengambil pekerjaan ini karena dipikirinya dia bisa santai, namun yang terjadi justru sebaliknya. Shandy seperti tidak membiarkan dirinya bebas sedetik pun tanpa memberikannya tugas-tugas. Terkadang Adelia sampai berpikir, apakah yang sedang dikerjakannya adalah job desc seroang sekretaris? Dia mengerjakan hampir semua hal yang dikerjakannya di perusahaan lama. Job desc seorang contract engineer. Bertanggungjawab membuat tender, menghubungi calon vendor, meeting membahas scope of work, hingga melakukan scoring untuk menentukan vendor mana yang akhirnya akan mereka gunakan. Adelia hampir tidak bisa menyentuh proyek ilustrasi buku Rare, sementara tim Mr. Murakami telah berkali-kali menagih draft awal ilustrasi yang sudah Adelia janjikan sejak minggu lalu. “Kapan kelarnya ini kalau aku harus ikut dia on the spot ke Semarang minggu depan?” Adelia sedikit menggerutu sambil menggoreskan beberapa garis di permukaan layar tablet-nya menggunakan pen tablet. Mr. Murakami suka dengan sketsa siluet pemuda yang tengah memandangi bulan penuh yang dia gambar nyaris dua tahun yang lalu. Dia harus memindahkan sketsa manual itu ke dalam bentuk digital. Tapi, rasanya susah sekali untuk menyerupai gambar asli di buku sketsanya. Adelia hanya mengandalkann ingatannya yang berusaha dia gali kembali. Ingatan yang samar-samar akan citra pemuda itu. Ah, andai dia tahu siapa pemuda itu. Pemuda yang bahkan tidak dia tahu bagaimana rupanya karena pencahayaan lampu di taman mengaburkan padangan Adelia. Pemuda yang menghilang secara tiba-tiba padahal sebelumnya dia sangat rajin ke taman apartemen itu untuk berolahraga. Apakah dia tahu Adelia selalu menatapnya diam-diam dari kejauhan? Bahkan menggambar siluetnya? “Jadi ini yang kamu lakukan kalau aku sedang tidak ada di ruangan?” Suara Shandy menyentak tubuh Adelia. Bukannya tadi dia sudah pergi, ya? Adelia gegas mematikan tabletnya dan menatap ke arah Shandy sambil tersenyum polos, “Aku kira tadi kamu sudah pergi. Eh, maksudku….aku kira kamu pergi untuk meeting dengan calon vendor. Tidak jadi, ya?” “Tentu saja jadi. Aku menunggumu di depan pintu lift tapi kamu tidak muncul-muncul.” Shandy menyahut. “Kamu menungguku? Kenapa?” “Kenapa? Ya, karena kita berdua akan menghadiri meeting makan siang itu.” “Kita berdua?” Shandy mengernyit, “Ya! atau ada lagi yang ingin kamu ajak?” “Ah, tidak!” Adelia gegas menyahut sambil beranjak dari kursinya. Dia memasukkan tabletnya ke dalam tas. “Aku tidak mengganggu kegiatan kamu, kan?” Shandy bertanya dengan nada menyindir, “Kegiatan menggambarmu itu.” “Hahahah.” Adelia tertawa canggung. Dia mendorong punggung Shandy menuju pintu keluar ruangan mereka, “Ayo kita segera pergi sebelum terlambat.” Shandy hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.   *** “Aku akan mengantar mereka ke lobi.” Shandy berbisik pada Adelia yang duduk di sampingnya sambil mengeluarkan credit card dari dalam dompetnya, “Bisa minta tolong bayar tagihan makan siang ini? Setelah itu aku tunggu kamu di lobi, oke?” Adelia mengangguk paham. Pembiacaraan bisnis siang itu di salah saru restoran yang terletak di pusat kota, berjalan lancar. Kesepakatan telah terbentuk dan sepertinya Adelia tidak punya alasan untuk menghindar dari rencana On The Spot ke Jawa Tengah minggu depan. Saat Shandy dan petinggi perusahaan PT. Wira Electric pergi dari meja makan mereka, Adelia beranjak dari sana demi menuju meja kasir untuk menyelesaikan p********n. Saat kasir telah menyelesaikan transaksi p********n atas tagihan makan siang itu, seorang pemuda tampak menghampiri Adelia. Dia menyentuh pundak Adelia lembut sembari bergumam, “Adel. Rupanya ini benar kamu.” Adelia, demi mendengar suara bariton yang baru saja menyebut namanya itu, mendadak merasakan sengatan listrik statis di sekujur tubuhnya. Persendiannya seolah kompak menjadi kaku secara bersamaan. Demi Tuhan itu adalah suara yang sangat familiar bagi memorinya. Tanpa harus menoleh ke arah sumber suara, Adelia tahu benar bahwa itu adalah suara milik Beno Raditya. “Jangan sentuh aku.” Gumam Adelia tertahan. Tentu saja yang dia maksud adalah sentuhan kecil Beno di pundaknya. Sentuhan yang sama sekali tidak membahayakan dan menyakitkan, namun demi mendengar ada getaran yang berat dalam suara Adelia, Beno segera mengangkat tangannya dari pundak wanita itu. “Maafkan aku, Adel.” Beno mengucapkan hal itu dengan sesungguh-sungguhnya penyesalan. Dua tahun ini dia telah mengupayakan berbagai cara agar bisa menemui gadis itu. Namun, Adelia seperti hilang ditelan bumi. Tentu saja Beno tahu dengan baik di mana Adelia berada, tapi Rinai tidak akan pernah mengizinkan Beno menjejakkan kakinya sesenti pun di dalam flat milik mereka. Beno bahkan pernah mendatangai bakeri milik ibu Adelia tapi wanita paruh baya itu tidak ingin mencampuri hubungan putrinya dengan Beno. Rasti berharap Beno dapat menyelesaikan segalanya dengan baik tanpa bantuannya. Toh, mereka berdua sudah sama-sama dewasa. Di saat tersebut Beno merasa seluruh jalannya untuk mendapatkan maaf Adelia telah tertutup. Namun, siapa sangka hari ini, takdir begitu baik karena membawa mereka kembali untuk berjumpa. “Adel, aku sungguh-sungguh minta maaf atas apa yang sudah terjadi di antara kita.” Adelia memejamkan matanya karena bola matanya kini terasa panas dan sungguh sialan sekali, kenapa Beno masih memakai parfum yang sama padahal sudah dua tahun berlalu? Parfum yang pernah Adelia hadiahkan padanya. Parfum yang Adelia pernah bilang kepada Beno bahwa dia sangat suka aroma cedarwood-nya. Adelia pernah mengatakan bahwa betapa aroma itu sangat cocok dan sangat menggambarkan karakter Beno. “Jangan mendekat!” Gumam Adelia. Gumaman yang terdengar sangat mengintimidasi bagi Beno. Pria itu pun urung melangkah. “Jangan coba-coba mendekat.” Rasanya Adelia ingin pindah saja ke negara yang berbeda agar dia tidak perlu secara kebetulan bertemu dengan Beno seperti ini. Dia sungguh-sungguh tidak ingin mendengarkan penjelasan apa pun. Memangnya apa lagi yang perlu dijelaskan? Bayangan Beno tidur dengan wanita lain saat mereka masih menjalin hubungan masih tergambar jelas di kepalanya. Padahal itu sudah dua tahun berlalu. Kenangan tentang mereka perlahan mengabur. Tapi, tidak dengan bayangan pengkhianatan itu. Bahkan rasa sakitnya masih tertinggal. “Adel, aku ingin kita membicarakan ini baik-baik.” Beno tidak tahan lagi dengan segala gestur tubuh penolakan yang Adelia tunjukkan sebagai respon akan kehadirannya. Dia mencekal pergelangan tangan Adelia. “Biarkan aku menjelaskan. Biarkan aku memberikan pembelaan.” “Pembelaan!?” Rasa kesal yang membucah di d**a Adelia Membuat wanita itu kini berani menantang mata Beno. Namun detik berikutnya segera dia sesali. Tenggalam di dalam ketajaman sorot mata Beno adalah kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu dan dia tidak ingin melakukannya lagi sekarang. Untuk itu dia segera berpaling, “Lepaskan aku, Ben! Jangan sampai aku teriak dan membuat orang-orang berpikir kamu berbuat yang tidak-tidak padaku.”             “Aku tidak peduli apa yang orang-orang katakan tentangku. Persetan dengan orang-orang! Aku hanya mau kamu memberikanku kesempatan untuk menjelaskan semuanya!”             “Bagaimana kalau aku tidak mau?” Adelia menyahut. Dia merasakan cengkaraman Beno pada pergelangan tangannya mengendur untuk sepersekian detik. Namun detik berikutnya cengkraman itu kembali mengekang. Perasaan yang sungguh tidak asing. Berada dalam hubungan dengan Beno selalu membuat Adelia merasa terhimpit. Beno begitu dominan. Begitu posesif. Sekaligus begitu mematikan. Cintanya, sorot matanya, pelukannya, kecupannya. Beno tahu bagaimana harus memperlakukan wanita. Beno tahu dengan baik bagaimana membuat wanita bertekuk lutut lemah di depannya.             “Kalau begitu mungkin aku harus sedikit memaksa.” Beno menantang Adelia. Dan wanita itu segera terbungkam.             “Jangan pernah memaksakan kehendak Anda pada wanita manapun.” Entah sejak kapan Shandy sudah berada di antara merka. Dia menatap tangan Beno yang masih mencengkram pergelangan tangan Adelia. Dan menyadari betapa Adelia menjadi tak berkutik dibuatnya. “Bisa Anda lepaskan tangan Adelia? Karena kami harus segera pergi.”             Adelia merasakan kelegaan luar biasa dengan hadirnya Shandy di antara dia dan Beno saat ini. Sementara, Beno justru memandangi Shandy dengan tatapan yang sama sekali tak bersahabat. “Siapa kau? Tolong jangan ikut campur urusan kami. Urus saja urusanmu sendiri!”             Shandy menanggapi dengan senyum dan eksperesi wajah yang setenang permukaan danau, “Tentu saja aku di sini untuk mengurusi urusanku.”             “Apa maksudmu?” Beno sudah hampir kehilangan kesabaran.             “Bagaimana bisa urusan calon istriku tidak menjadi urusanku?” Shandy kembali berujar. Adelia bisa merasakan testosteron yang menguar di udara saat Shandy dan Beno saling menghujani satu sama lain dengan tatapan yang sama tajamnya. Shandy lalu menatap ke arah Adelia yang tampak terbelalak. “Sayang, kamu tidak pernah bilang punya teman laki-laki seperti orang ini.”             Beno terperangah mendengar ucapan Shandy. Serta-merta cengkraman tangannya pada pergelangan tangan Adelia lepas. Calon istri? Apakah maksud pria ini, Adelia calon istrinya? Ekspresi wajah Beno mendadak berubah. Dia tidak mengantisipasi kejadian seperti ini.             “Kalau kamu masih mau berbicara kepada temanmu ini, aku akan menunggumu di mobil.” Shandy menatap Adelia lekat-lekat dan menyadari ada genangan air di sudut-sudut mata gadis itu. Siapa sebenarnya laki-laki yang sedang berbicara pada Adelia ini? Tapi, siapa pun dia, Adelia tampak sangat terganggu dengan kehadirannya.             “Tidak!” Adelia gegas menjawab. “Tidak ada yang harus aku bicarakan dengannya.”             “Oke. Kalau begitu ayo kita pergi.” Shandy meraih jemari Adelia dengan posesif dan menggenggamnya erat-erat. Dia membawa Adelia. melewati Beno yang hanya bisa terpaku, untuk keluar dari restoran itu.             Beno memandangi punggung keduanya sambil memutar kembali ingatannya tentang sosok pria yang menggandeng tangan Adelia. Entah kenapa wajah itu tampak familiar. Sepertinya dia tidak asing dengan pria itu. Di mana mereka pernah bertemu?[]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN