Salju di Sahara

1995 Kata
            Kemunculan Adelia di hari itu, lima tahun yang lalu, bagaikan salju di sahara. Ah, apakah ungkapan itu bahkan pantas disematkan pada Adelia? Gadis itu tidak menyerupai salju yang rapuh sekaligus dingin sama sekali. Adelia adalah matahari musim panas yang menyala-nyala. Adelia adalah gemuruh ombak samudera pasifik yang mengiringi camar-camar menari. Adelia begitu hidup dan kehadirannya di dalam hidup Beno membuat pemuda itu berjanji untuk mendapatkannya dan tak akan pernah melepaskannya.             Beno telah mengencani belasan wanita sebelum dia mengenal Adelia. Dan semua wanita yang telah dikencaninya dan beberapa yang telah ditidurinya, tak ada satu pun yang menyerupai Adelia. Bahkan mendekati kepribadiannya pun tidak. Gadis itu muncul di kantor sebagai pegawai yang baru saja dimutasi dari site perusahaan di pedalaman Sulawesi sana. Dia mengenakan sepatu dan seragam safety- yang lazim dikenakan pegawai-pegawai di site-atau pun pegawai-pegawai dari kantor pusat yang mengunjungi site selama satu minggu pertama kehadirannya. Tampak begitu percaya diri berada di antara karyawan-karyawan wanita yang bersolek dan memakai pakaian modis.. Rambutnya kecoklatan alami. Kulitnya coklat terbakar matahari, tapi justru terlihat sangat seksi di mata Beno.             Adelia tampak cuek dengan penampilannya, tapi ketika dia tertawa, Beno merasa grativasi bumi berpusat padanya. Beno sendiri adalah pemuda yang menarik dari segi fisik maupun sikap. Dia adalah tipe orang yang mudah disukai. Menaklukkan Adelia, Beno pikir adalah perkara yang mudah, seperti yang sudah-sudah dilakukannya pada wanita-wanita yang dipacarinya sebelum ini. Namun ternyata segalanya jauh dari kata mudah. Adelia yang berjiwa bebas tampak tak ingin memiliki hubungan apa pun dengan lawan jenis.             Saat mengetahui Adelia sering menghabiskan berjam-jam setelah jam kantor usai dengan tetap di mejanya tanpa beranjak karena dia sibuk menggambar, Beno pun mulai rajin lembur di kantor. Dia beralasan harus melakukan pekerjaan yang sudah dekat dead line, padahal alasan sebenarnya adalah agar bisa berlama-lama dengan Adelia. Sejak sering lembur bersama itulah mereka menjadi akrab. Sejak saat itulah Adelia tampak mau membuka hatinya untuk Beno. Dan begitulah hubungan mereka dimulai tanpa ada yang benar-benar memulainya. Dan sejak saat itulah Beno berjanji pada dirinya, bahwa Adelia adalah wanita terakhir yang akan dia biarkan mengisi relung-relung di antara rusuknya. Dikarenakan kepribadian Adelia yang begitu menarik, Beno tahu dia tidak akan pernah bosan bersama wanita itu. Dia bahkan bisa melihat gambaran masa tua mereka nanti. Dan karena dia mencintai wanita itu dengan sungguh-sungguh, maka dia tidak pernah mencoba untuk mengambil keuntungan apa pun dari Adelia. Dia tidak pernah menyentuh Adelia sedikit pun. Ciuman pertama mereka dan kedua dan ketiga, tentu saja tidak masuk hitungan bagi Beno yang gampang saja menyeret wanita mana pun yang dia mau ke atas ranjangnya.             “Apa ini, Ben?” Adelia, dua tahun yang lalu, terbelalak melihat sebuah cincin di dalam buku sketsa yang baru saja Beno berikan padanya sebagai hadiah ulang tahun Adelia yang ke-28.             “Marry me, Adelia.” Beno tersenyum dan pendar cahaya lilin di atas meja yang telah dia reservasi untuk makan malam romantis mereka menari-nari di wajahnya. Membuat garis-garis rahangnya semakin tegas. Dan seharusnya Adelia semakin dibuat jatuh cinta. Seharusnya begitu, bukan? Beno tidak pernah memikirkan hubungan yang serius dengan wanita mana pun sebelum ini. Hanya Adelia, Adelia yang membuatnya demikian.             “Ben, are you sure?”Ben, kamuy akin?             “Never been so sure.” Tidak pernah seyakin ini.             “Tapi….”             “Tapi?” Beno lelaki alpha yang tidak pernah mengalami penolakan dari gadis mana pun sebelum ini, merasa harga dirinya sedikit terintimidasi bahkan sebelum Adelia menyelesaikan kalimatnya. “Kamu tidak cinta sama aku, Adel?”             “Bukan begitu, Sayang. Aku…aku hanya merasa ini terlalu cepat.”             “Tiga tahun, Sayang. Kita sudah tiga tahun pacaran. Apakah menurut kamu itu bukan waktu yang lama?”             “Ben, tapi aku….”             “Apa?”             “Aku….masih banyak hal yang ingin aku lakukan.”             “Hal-hal yang ingin kamu lakukan itu, apakah kamu tidak ingin melakukannya bersamaku?” Beno terus mengejar, terus mengintimidasi Adelia dengan tatapannya yang tampak terluka. “Menikahlah denganku. Aku berjanji pernikahan kita nanti tidak akan menghalangi apa pun yang menjadi impianmu.”             Adelia menggeleng pelan, “Aku tidak yakin kalau kamu….”             “Memangnya apa lagi yang akan kamu lakukan? aku selalu mendukung kamu selama ini.” Beno terus saja menyela, membuat Adelia merasa kebimbangannya semakin bertambah-tambah. “Coba katakan apa lagi yang ingin kamu lakukan?”             “Aku….” Adelia tampak ragu namun segera menambahkan, “Ingin ke Belanda dan menyewa camper van. Berekeliling Eropa sebulan penuh. Atau dua bulan. Mungkin ke New Zealand dan mentap di sana sementara waktu. Kamu tau aku sering membicarakan itu denganmu. Kamu tau dengan baik aku memimpikan hal-hal seperti itu menjadi nyata untukku.”             Beno mengernyitkan kening tak percaya akan apa yang baru saja wanita di hadapannya itu ucapkan. Detik berikutnya dia tertawa dengan sangat sinisnya. “You are joking at me. You make our relationship as a joke!” Kamu bercanda, ya? kamu membuat hubungan kita tampak seperti lelucon! Apa sih yang Adelia pikirkan? Beno menginginkan hubungan yang stabil. Pernikahan. Tapi sebagai balasannya, Adelia justru membicarakan ketidakpastian seperti keliling Eropa dengan camper van dan bahkan pindah negara?             “Aku tidak pernah anggap main-main hubungan kita, Ben. Aku hanya merasa bahwa pernikahan bukanlah apa yang aku inginkan dalam waktu dekat.”             Beno merasa pembicaraannya dengan Adelia harus segera diakhiri, karena kalau tidak, bisa-bisa dia akan membalikkan meja makan mereka saking besarnya amarah yang tengah dia pendam di dalam dadanya. “Terserah kamu saja, Del!”             Setelah mengatakan itu Beno beranjak dari sana dan meninggalkan Adelia yang hanya bisa terpaku di tempatnya semula.             Tiga hari berlalu tanpa mereka saling berkomunikasi atau pun menyapa satu sama lain. Hingga tiba hari di mana expatriate dari Kanada datang ke kantor pusat dan beberapa pegawai termasuk Beno menjamu mereka pada sebuah makan malam perusahaan. Terlalu banyak pikiran. Terlalu banyak rasa yang Beno pendam. Terlalu banyak gin yang dia tenggak. Siska, sekretaris perusahaan salah satu pemimpin unit yang sudah sejak lama mengincar Beno, melihat adanya kesempatan. Dia mendekati Beno, menggodanya dengan ucapan dan bajunya yang demikian seksi. Beno menyambutnya dan mereka berakhir di ranjang dalam apartemen milik Beno.             Keesokan harinya, Beno mendengar suara pintu apartemennya diketuk, tapi kepalanya begitu berat untuk dibawanya menuju pintu. Beno sudah lama tidak minum-minuman keras. Sejak bersama Adelia dia meninggalkan kebiasaan buruknya. Beno membenamkan kepalanya ke dalam bantal alih-alih beranjak. Tapi bel pintu kembali terdengar. Tanpa Beno sadari-dan dia sebenarnya lupa sama sekali bahwa Siska tengah berbaring di sampingnya- wanita itu beranjak dari sana setelah menarik selimut dan menutupi tubuh telanjangnya sekadarnya- berjalan ke arah pintu dan membukanya.             Adelia merasa dunianya berputar ketika dia melihat siapa yang membukakan pintu untuknya. ***             “Aku…aku…” Suara Adelia tertahan di tenggorokan. Meski kini dia sudah bersama Shandy di dalam mobil yang membawa mereka ke kantor, Adelia tetap tak bisa mengenyahkan bayangan Beno yang beberapa belas menit lalu muncul di dekatnya. Kenapa dia harus bertemu lagi dengan Beno yang selama ini berusaha mati-matian dia hindari?             “Tidak perlu menjelaskan apa pun kalau itu membuatmu tidak nyaman.” Shandy segera menimpali. Ah, untuk itulah Shandy selama ini tak pernah menanyakan alasan kekonyolan sikap Adelia selama ini? Tentang perkara calon suami dan sebagainya itu? apakah semua ini ada hubungannya dengan laki-laki yang berbicara dengan Adelia tadi di restoran? Shandy bisa dikatakan belum sebulan mengenal Adelia, tapi dia tidak melihat Adelia dalam kondisi serapuh saat ini. “Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun padaku.”             Dan ucapan Shandy justru membuat pertahahanan Adelia luluh lantak. Air mata mengalir deras dari kedua kelopak matanya. Bahunya terguncang.             “Adel, hei, kamu baik-baik saja?” Shandy mendadak panik melihat kondisi Adelia. Dia melirik Adelia sekilas dari kaca interior di atas dashboard. “Apa kamu mau kita berhenti sebentar?”             Adelia menggeleng sambil menelungkupkan wajahnya ke kedua tangan. “Tidak usah. Maafkan aku.”             “Jangan minta maaf,” sahut Shandy. Lagi pula Adelia sama sekali tidak bersalah. Untuk apa gadis itu minta maaf padanya?             Sementara Adelia berusaha terus menenangkan dirinya sendiri, ingatannya justru mengkhianati dirinya. Memori di dalam kepalanya berputar ke kejadian dua tahun yang lalu di mana semua kepahitan dalam hubungannya dengan Beno bermula. “Marry me, Adelia.” “Ben, are you sure?”Adelia sangat terkejut melihat ada sebuah cincin bertahtahkan berlian di dalam buku sketsa yang Beno hadiahkan padanya. Dia sudah sangat senang menerima buku sketsa sebagai hadiah untuk ulang tahunnya yang ke-28. Cincin dan lamaran itu justru terasa sedikit berlebihan. Kejutan yang membuatnya tidak nyaman.             “Never been so sure.”Beno menyahut dengan sangat yakin. “Tapi….”             “Tapi? Kamu tidak cinta sama aku, Adel?”             “Bukan begitu, Sayang. Aku…aku hanya merasa ini terlalu cepat.”             “Tiga tahun, Sayang. Kita sudah tiga tahun pacaran. Apakah menurut kamu itu bukan waktu yang lama?”             “Ben, tapi aku….”             “Apa?”             “Aku….masih banyak hal yang ingin aku lakukan.”             Begitula perdebatan itu bermula dua tahun yang lalu, tepat di hari ulang tahun Adelia. Pernikahan adalah isu yang sangat traumatik bagi Adelia. Dia melihat bagaimana pernikahan orang tuanya berakhir. Dia melihat bagaimana akhir dari pernikahan itu membuat hari-hari ibunya serasa di neraka. Berjuang tanpa suami untuk membesarkan kedua anak kembar tentu bukan sesuatu yang mudah.             “Pernikahan Mama dan Papa memang tidak berjalan seperti yang kami inginkan, tapi belum tentu kamu juga akan mengalami hal yang sama, Nak.” Rasti sering berkata seperti itu pada Adelia saat dia melihat bahwa Beno tampak serius menjalin hubungan dengan putrinya itu.             “Tapi, bagaimana jika pernikahanku juga kelak akan berakhir seperti pernikahan Mama. Bukankah sebaiknya tidak melangkah ke dalam hubungan yang rapuh seperti pernikahan?”             Malam itu, alih-alih menyambut permintaan Beno untuk menikah dengannya, Adelia justru melanturkan apa pun yang kebetulan melintas di kepalanya. Mimpi yang masih dia pupuk sedari kecil hingga sekarang. Keliling Eropa, pindah ke negara lain, melakukan hal-hal yang tidak bisa dia lakukan. Melakukan hal-hal yang ayahnya lakukan tanpa mengajaknya. Adelia tahu nama lengkap ayahnya. Adelia tahu dari internet bagaimana ayahnya sering melakukan perjalanan ke luar negeri bersama dengan keluarga barunya. Keluarga yang dipilih oleh ayahnya. Keluarga yang tidak ada dia di dalamnya. Ayahnya bukan orang sembarangan. Setidaknya pria itu cukup berpengaruh dan memiliki cukup uang untuk membawa keluarganya ke luar negeri hampir setiap tahun.             Pertengkaran pada dinner mereka dua tahun yang lalu berakhir dengan Beno pergi dari restoran itu tanpa sekali pun menoleh lagi ke belakang. Untuk itu dia tidak pernah tahu bahwa Adelia kemudian mengambil cincin itu dan mengenakan benda tersebut di jari manisnya.             Tiga hari kemudian, saat Adelia merasa sudah jauh lebih tenang dan merasa bahwa apa yang dia lakukan pada Beno di malam itu sangat keterlaluan dan wajar jika Beno marah, Adelia memutuskan untuk mendatangi apartemen milik Beno. Hari itu hari Sabtu. Adelia tahu dengan baik Beno tidak akan ke mana-mana di Sabtu pagi. Dia mengetuk pintu apartemen Beno beberapa kali. Ketika tidak ada yang membukakannya pintu, dia memijit bel. Adelia sengaja tidak menghubungi nomor ponsel Beno untuk memberinya sedikit kejutan.             Namun, saat pintu apartemen kekasihnya itu terbuka, justru Adelia yang terkejut dibuatnya. Siska berdiri di ambang pintu apartemen milik Beno sepagi ini dengan hanya mengenakan selimut melingakari tubuh polosnya. Dan ketika sosok Beno muncul di belakang tubuh Siska, d@da Adelia terasa begitu sesak. Bayangan puluhan tahun silam, ketika ibunya membawa Adelia serta Mario mengetuk sebuah pintu apartemen menyeruak ke permukaan. Bayangan wajah ayahnya dan seorang wanita yang tidak Adelia kenali kembali mendesak-desak memorinya.             “Silakan kamu urus dulu perempuan j@lang dan anak-anaknya ini.” wanita asing itu mendesis.             Setelah puluhan tahun berlalu, kejadian tersebut dan kata-kata yang diucapkan wanita asing itu tidak juga bisa hilang dari ingatan Adelia.             “Adel?” Beno jelas sekali terkejut mendapati Adelia berdiri di depan pintu apartemen miliknya. “Adel, aku bisa jelaskan ini!”             Adelia tidak ingin mendengarkan penjelasan apa pun. Cincin pemberian Beno yang melingkar di jarinya terasa sesak dan membakar. Tapi yang dia rasakan di dalam hatinya jauh melampaui semua sakit yang pernah dia alami. Adelia berbalik dan membawa luka yang ternyata susah untuk disembuhkan.[]                
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN