Shandy Gobel memandangi Adelia yang duduk di kursi di hadapannya. Matanya bergantian menatap curriculum vitae yang digenggamnya dan wajah Adelia bergantian. Contract Engineer di perusahaan tambang? Lalu kenapa dia memberikan kartu nama yang menyebutkan bahwa dirinya berprofesi sebagai ilustrator? Shandy memiliki banyak pertanyaan di dalam kepalanya namun dia masih enggan untuk membuka percakapan.
Sementara itu, Adelia sudah sangat tidak nyaman duduk di kursinya. Yang benar saja! Shandy yang akan mewawancarai dirinya? Dia akan menjadi sekretaris Shandy? konspirasi macam apa yang telah dibuat oleh semesta pada dirinya?
“Sepertinya aku tidak jadi melamar!” Adelia beranjak dengan tiba-tiba sehingga membuat kursi yang didudukinya tersentak ke belakang.
Shandy mengernyitkan keningnya. Tampak terkejut dengan pergerakan Adelia yang tiba-tiba. Riwayat pekerjaan Adelia sebagi seorang contract engineer sangat sesuai untuk posisi ini. Sesungguhnya Shandy tidak hanya sedang mencari seorang sekretaris. Dia butuh seseorang yang mengerti berbagai hal tentang pembuatan open tender, membuat bidding, menyeleksi vendor dan sebagainya. Dia hanya punya waktu tiga bulan di Indonesia dan dia tidak ingin membuang-buang waktu dengan mengajari sekretarisnya hal-hal dasar tentang kerja sama vendor ini.
Namun, jika Adelia mengurungkan niatnya untuk melamar, dia bisa apa, “Sayang sekali. Ternyata kamu tidak bisa bersikap profesional. Ya sudah, kalau itu memang keputusanmu.” Akhirnya tanggapan seperti itu yang keluar dari mulut Shandy.
Adelia mengangkat kedua belah alisnya, “Ya. Aku permisi dulu!’ Adelia sama sekali tak ingin lagi berurusan degan pemuda bernama Shandy Gobel ini. Eh, tapi kenapa dia yang kesal? Kalau pun ada yang harus kesal di sini adalah Shandy. Bukankah kemeja pemuda itu yang sudah Adelia tumpahi kopi dua kali?
“Shandy, Sayang!” Adelia tersentak saat seorang wanita paruh baya menerobos masuk ke dalam ruangan Shandy.
“Mami?” Pemuda itu refleks beranjak dari kursinya. Dia berjalan menghampiri Fahria Jocom yang tampak tak peduli dengan situasi di ruangan kerja anaknya. “Mami sedang apa di sini? Aku sedang wawancara calon pegawai. Satpam di depan tidak bilang?”
“Dia bilang, tapi Mami punya satu hal penting untuk Mami katakan.” Fahria melirik ke arah Adelia sekilas. Lalu kembali menatap wajah putra sulungnya.
“Apa tidak bisa menunggu….”
“Tidak bisa!” Fahria gegas menyela, “Kamu kapan ada waktu untuk makan malam dengan Melani?”
“Makan malam?” Shandy tak mengerti. Dan juga siapa pula Melani yang disebut ibunya ini, “Melani siapa maksud Mami?”
“Anaknya teman Mami. Mau Mami kenalin dengan kamu. Siapa tau jodoh.”
Mata Adelia melotot demi mendengar ucapan Fahria. Oh, laki-laki sok cakep ini butuh bantun Maminya untuk cari jodoh?
“Mami!” Shandy berseru namun dengan nada yang tidak meninggi sama sekali. Dia sesungguhnya tak pernah berbicara dengan nada tinggi pada wanita mana pun. Apa lagi ibunya. “Mami, bisa kita bicarakan ini nanti? di rumah? Aku akan ke rumah nanti malam. Sekarang aku sedang ada wawancara.”
Fahria kembali mengarahkan tatapannya pada Adelia, “Sudah selesai kan?”
“Eh…iya Tante. Eh, maksudku Ibu. Sudah selesai, Bu.” Adelia tergagap karena mendadak Fahria menanyakan hal itu padanya. “Saya permisi dulu Bapak Shandy.” Adelia sebenarnya masih ingin mendengar lebih banyak dan menyaksikan betapa lucunya ekspresi tertekan Shandy yang tampak tak bisa membantah ibunya. Tapi, dia tidak ingin di-cap sebagai gadis yang suka mencampuri urusan orang lain, untuk itu tanpa menunggu lebih lama lagi, dia segera berbalik dan keluar dari ruangan Shandy.
***
“Nay, kamu habis dari Jepang dengan Adel?” Beno menghampiri kubikel Rinai hari itu.
“Kamu tau dari mana?” Rinai menjawab cuek. Enggan melepas tatapan dari layar komputer di hadapannya.
“Aku lihat i********: kamu. Foto-foto kalian.”
Ucapan Beno kali ini mendistraksi perhatian Rinai. Dia menatap pemuda yang berdiri di sampingnya sembari melepas kaca matanya, “Wow, aku nggak pernah menyangka sama sekali seorang Beno Raditya akan stalking i********: aku.”
“Kebetulan muncul di beranda, Nay. Kan aku follow kamu.” Beno memasukkan kedua tangan di kantung celananya dan setengah duduk bersandar di meja Rinai, “Bagaimana kabar Adelia?”
“Adelia baik.” Rinai menjawab ringkas. Dia tahu Beno Raditya yang dulunya terkenal sebagai seorang player sudah takluk pada pesona Adelia. Pesona? Ralat! Keunikan mungkin lebih tepat. Adelia memang menarik tapi tidak secantik mantan-mantan pacar Beno yang berasal dari kalangan selebriti, model, atau pun artis-artis FTV pendatang baru. Dan entah keunikan Adelia yang mana-karena tolong dicatat baik-baik Adelia memiliki banyak keunikan- yang telah membuat Beno bertekuk lutut dan susah move on dari gadis itu. Padahal, demi Tuhan, ini sudah dua tahun lamanya sejak mereka putus. “Kenapa nanya-nanya?”
“Ya, nanya aja, Nay. Emang nggak boleh?”
“Kamu belum move on, ya?” Rinai bertanya dengan nada mengejek.
Beno menjawab dengan senyuman kecil. Dia menunjuk ke pelipisnya, “Entah kenapa Adelia seperti stuck di kepalaku, Nay.”
“Mungkin itu karena dia satu-satunya cewek yang tidak pernah berhasil kamu tiduri?” Tandas Rinai masih dengan nada suara yang dia buat sesinis mungkin.
“Nay….”
“Makanya jangan selingkuh, Ben!” Rinai kembali menyela.
“Ya.” Beno mengembuskan napasnya yang terasa berat dan menyesaki rongga d**a. Perihal Adelia selalu membuatnya demikian. “Aku mabuk habis acara kantor, lagi berantem dengan Adel lalu ada Siska….”
“Dan langsung kamu embat!” Sepertinya Rinai memang tidak akan membiarkan Beno mengungkapkan segala bentuk pembelaannya dengan mudah.
“Aku akui aku salah. Aku menyesal. Aku harap Adelia memaafkanku.”
“Adel sudah maafin kamu ko’. Tenang saja. Jangan membeni diri kamu dengan ini.”
Beno kembali meringis. Apakah benar Adelia sudah memaafkannya? Tapi kenapa gadis itu masih menutup segala bentuk komunikasi dengan dirinya? Dia memblokir nomor Beno dan seluruh media sosial Beno seolah tidak lagi ingin mengenal pemuda itu dalam hidupnya.
“Aku ingin ketemu Adel. Sekali saja. Untuk memperbaiki semuanya. Kamu bisa bantu aku, Nay?”
“Maksud kamu? Ben, sudahlah! Adel bukan tipikal orang yang akan memberikan kesempatan kedua.” Tandas Rinai, “Lagi pula itu sudah dua tahun berlalu.”
“Semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, Nay.”
Rasanya tidak berlebihan jika Beno mengatakan hal itu. Hari di mana Adelia datang ke apartemen Beno dan menemukan Siska-dengan tubuhnya hanya berbalut selimut- yang membuka pintu apartemen pemuda itu adalah hari terakhir Adelia mau berbicara dengan Beno. Dia menghindari Beno selama di kantor. Dia tidak menjawab ratusan panggilan dari nomor ponsel Beno. Dia bahkan mengajukan surat resign hanya beberpa minggu setelah kejadian itu. Dia tidak membiarkan Beno menjelaskan apa pun padanya. Gosip menyebar dengan cepat. Perusahaan menganggap ini adalah masalah pribadi sehingga Beno dan Siska tidak mendapatkan sanksi apa pun.
Tapi sejak hari itu, Beno merasa ada rongga kosong di dalam dadanya. Dia sudah mencoba membuka hati untuk wanita lain, tapi rasanya rongga kosong itu hanya Adelia yang bisa mengisinya. Beno adalah pemuda yang sangat menarik. Badannya proporsional dan liat karena dilatih dengan baik oleh pemiliknya. Wanita mana pun yang dipacari oleh Beno tidak pernah menolak untuk berakhir di atas ranjang bersamanya. Sikap dan cara bicaranya yang sangat manis pada wanita mana pun adalah salah satu daya tariknya. Karir yang mapan sebagai salah seorang engineer di salah satu perusahaan pertambangan milik Kanada adalah daya tarik lainnya yang dia miliki. Untuk seorang pemuda di awal usia tiga puluh-an, Beno memiliki karir yang cemerlang. Dia bisa dengan mudah memacari gadis mana pun yang dia mau, tapi seperti katanya tadi pada Rinai, Adelia sudah stuck di dalam kepalanya. Mungkin dengan berbicara pada Adelia tentang hal-hal yang terjadi di antara mereka dua tahun yang lalu, bisa membuat pikiran dan perasaannya sedikit lega.
“Tolong bantu aku, Nay.” Beno kembali memohon, kali ini terdengar lebih memelas.
“Oke, oke. Aku akan coba ngomong sama Adel. Tapi, nggak janji ya, Ben!” Rinai akhirnya luluh juga.[]