Kesempatan Kedua

1513 Kata
  “Nay, percayalah kamu tidak akan percaya apa yang sudah terjadi padaku hari ini!” Rinai mengerutkan kening keheranan. Dia baru saja sampai di flat milik mereka selepas dari kantor dan Adelia menyambut dengan pernyataan yang membuatnya penasaran. “Ada apa?” “Kamu masih ingat cowok dari Kafe Doutor?” Rinai menatap Adelia dengan kedua alis yang bertaut. Menandakan dia belum mendapatkan petunjuk tentang apa yang sedang dibicarakan oleh sahabatnya itu. “Kafe Doutor Jepang!” Adelia menjadi tak sabar. “Yang aku tumpahkan kopi ke kemejanya.” “Oh! Iya, yang itu. Orang Jepang itu, kan?” Adelia mengangguk antusias karena Rinai akhirnya mulai nyambung dengan pembicaraan mereka. “First thing first, dia bukan orang Jepang. Dan aku ketemu lagi dengan dia. Di kafe Nusantara tadi.” “Wow, itu suatu kebetulan yang jarang terjadi.” Rinai menanggapi sambil melemparkan sekenanya tas kantor miliknya. Setelah itu dia mengempaskan dirinya di sofa ruang tengah, meraih remot dan menyalakan televisi yan tergantung di dinding di hadapannya. “By the way, bagaimana soal wawancara kerjanya? Kamu datang, kan? Kamu ketemu sama Cindy?” Adelia menyusul Rinai duduk di sofa, mengempaskan diri di samping gadis itu. “Tunggu, dengarkan dulu! Ceritaku belum selesai.” “Soal apa? soal cowok dari Doutor Kafe itu?” Rinai yang tadinya menatap layar televisi dengan tanpa minat sama sekali sambil mengganti-ganti channel dengan ogah-ogahan kini menghadapkan sepenuhnya tubuhnya ke Adelia. Menatap gadis itu lekat-lekat, “Kamu suka dia, Del? Iya sih, cowok itu cakep. Aku masih ingat mukanya.” Adelia gegas menggelengkan kepala berulang kali, “Aduh! Mana mungkin aku suka dia. Dengar dulu, Nay! Jadi aku ketemu dia lagi di Kafe Nusantara dan tanpa sengaja aku tabrak dia lalu kopiku tumpah di kemejanya.” “What!? Lagi?” Rinai resmi melotot pada sahabatnya itu. “Sial banget sih itu orang!” Adelia meringis, “Dan dia minta tanggungjawab. Dia minta aku cuciin bajunya saat itu juga karena dia harus ke kantor sejam kemudian.” “Terus?” Rinai mulai merasa kisah yang diceritakan Adelia ini semakin menarik saja. Sejak mengenal Adelia di perusahaan, Rinai bisa merasakan betapa uniknya gadis ini. Dan kisah-kisah yang dialaminya juga tak kalah unik. “Jadi, mau tidak mau aku ajak dia ke apartemen.” “Ke sini?” “Ya. Aku suruh dia tunggu di sofa ini selagi aku cucikan baju dia.” “Bisa hilang kan noda kopinya?” “Iya, noda kopinya hilang. Tapi ada kejadian buruk setelah itu.” “Apa lagi?” “Mama datang kemari pas aku lagi di kamar dan Shandy yang bukakan pintu.” “Tante Rasti datang kemari?” Adelia mengangguk pasrah, “Dan Mama mencurigai kami melakukan hal yang tidak-tidak karena Shandy lagi nggak pakai baju saat itu.” “Whaaaat!? Terus gimana?” Rinai bertanya. Tampak lebih panik dari Adelia. “Dari pada Mama ngomel-ngomel terus tentang betapa buruknya berduaan dengan laki-laki asing di apartemen, kamu tau sendiri kan Mamaku gimana- akhirnya aku bilang Shandy itu pacarku. Calon suami yang sebenarnya sudah lama ingin aku kenalkan ke Mama. Hanya menunggu waktu yang tepat saja.” “Apa!?” Rinai merasa bola matanya sudah akan melompat dari tengkorak kepalanya karena cerita Adelia membuat dia terkejut setengah mati. Apa sih yang ada di pikiran Adelia saat mengatakan pada ibunya bahwa lelaki asing itu adalah calon suaminya? Rinai memijit pelipisnya. Kepalanya mendadak diserang migrain. “Sebentar. Siapa tadi kamu bilang nama cowok itu?” “Shandy.” “Ya. Ya. Shandy. Bagaimana respon dia?” “Huffftthhhh….”Adelia mengembuskan napas panjang, “Untungnya dia bisa diajak kerja sama.” “Maksudmu, akhirnya dia mau bantu kamu dengan berpura-pura menjadi pacar kamu?” “Iya.” “Oke. Oke. Tidak ada masalah kalau begitu. Setidaknya Tante Rasti tidak berpikiran yang tidak-tidak tentang kamu. Jual diri dan sebagainya itu.” “That’s it. That’s it!” Adelia sepakat. “Tapi, kamu tau hal buruk apa lagi yang menimpaku?” “Ada lagi?” “Tentu saja! ini masih satu rangkaian cerita.” Napas Adelia memburu karena tidak sabar melihat bagaimana reaksi Rinai saat dia menceritakan soal wawancara di GEG tadi, “Aku datang ke perusahaan yang kamu berikan share loc itu dan menemui Cindy. Semuanya berjalan baik.” “Okay. Good. And then?” Oke. Baik. Lalu apa? Rinai tampak tak sabar. “Semuanya berjalan baik sampai aku bertemu dengan orang yang akan mewawancaraiku. Kamu tau siapa?” Rinai menggeleng sambil mengedikkan bahunya. Menatap Adelia penuh antisipasi. “Ya si Shandy itu!” “Holly crap!” Rinai mengumpat karena demi Tuhan dia sekarang merasa prihatin akan nasib yang telah menimpa sahabatnya ini. Kenapa laki-laki bernama Shandy itu seperti magnet yang menarik Adelia mendekatinya? Ah, ataukah memang takdir mereka yang saling bersilangan? “Jadi gimana?” “Ya, aku memutuskan pergi sebelum wawancaranya dimulai,” sahut Adelia. “Kok begitu?” “Kok begitu bagaimana? aku sedang melamar menjadi sekretaris dia. Dialah project manager yang butuh sekretaris sementara.” “Hahahahah.” Tawa Rinai sontak berderai saat mendengar fakta itu. Bukan lagi merasa prihatin, kali ini kesialan Adelia terasa lucu baginya. “Kok kamu malah ketawa, Nay?” Adelia memberengut. Namun, belum sempat Rinai menyahut, ponsel Adelia berdering. Dia mengerutkan kening saat membaca nama Cindy di sana. “Ngapain nih Cindy telpon aku?” “Angkat saja. Angkat!” “Ya, Cindy?” “Adelia, Bapak Shandy Gobel tertarik dengan CV kamu. Kalau kamu masih berminat untuk kerja di perusahaan kami, kamu boleh mulai kerja besok.” Cindy merespon di seberang telepon tanpa basa-basi. “Apa?” Adelia terkejut mendengar ucapan lawan bicaranya itu. “Iya. Kamu tidak salah dengar. Bapak Shandy bilang kamu bisa mulai kerja besok. Itu pun kalau kamu mau.” “Ah…itu….”Adelia tak tahu harus menanggapi apa, karena bukankah dia bahkan tidak menjalani wawancara sama sekali? “Kamu boleh pikir-pikir dulu malam ini. Kabari aku besok keputusan kamu, ya. Kamu terima atau tidak, tolong tetap kabari aku.” Cindy mengakhiri panggilan teleponnya setelah mengatakan, “Eh, salam ya buat Rinai.”             Adelia tak perlu menjelaskan apa pun pada Rinai karena sepanjang percakapannya di telepon dengan Cindy, Rinai mendekatkan telinganya di ponsel milik Adelia. “Terima saja tawarannya.”             “Tapi….”             “Kenapa kamu harus menghindari si Shandy itu? insiden ketumpahan kopi kan tidak sengaja. Lalu soal kamu ngaku-ngaku sebagai pacaranya di depan Tante Rasti, itu bisa dijelaskan baik-baik, kan?”             “Ya…tapi aku malu, Nay. Mau ditaruh di mana mukaku?”             “Ditaruh di depan lah. Masak di belakang?” Rinai menjawab bercanda. “Lagian, kalau Shandy yang bilang dia tertarik dengan CV kamu itu artinya dia tidak begitu memikirkan apa yang sudah terjadi di antara kalian. Kamu mengerti kan maksudku?”             Adelia terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk, “Iya juga sih.”             “Nah, selain itu kan kamu memang butuh pekerjaan ini. Coba saja dulu.” Rinai menambahkan. “Lagi pula jangan-jangan sebenarnya kalian jodoh.”             “Jodoh?”             “Iya, apa namanya dong untuk pertemuan berkali-kali yang tanpa direncanakan ini. jangan-jangan dia suami dari masa depan.”             “Apaan sih!? ada-ada saja!” Adelia memukul pergelangan tangan Rinai sembari beranjak. Gadis itu menjerit kesakitan dengan agak berlebihan.             “Kenapa memang kalau dia jodoh kamu?”             “Nggak ada waktu memikirkan hal-hal semacam itu sekarang!” Adelia menjawab cuek sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya.             “Memikirkan apa? soal jodoh? Kamu belum move on dari Beno, ya Del?” Untuk pertama kalinya sejak waktu yang terbilang cukup lama, Rinai berani kembali menyebut nama Beno lagi di hadapan Adelia. Tidak lain dan tidak bukan karena tadi siang Beno memelas padanya untuk membujuk Adelia bertemu dengannya.             Kalimat Rinai sukses membuat Adelia menghentikan langkah tepat di depan pintu kamarnya, “Apaan sih kamu, Nay?” Gumam Adelia perlahan. Kejadian itu memang sudah lama berlalu tapi mendengar nama Beno masih menimbulkan luka di hatinya. Meski luka itu kecil saja saat ini. Mungkin hanya seperti luka yang disebabkan goresan pisau di jarimu. Tapi luka kecil itu tetap saja menghadirkan perih.             “Beno ingin ketemu kamu, Del.” Rinai melanjutkan. “Kalau kalian sama-sama belum bisa melepaskan satu sama lain, kenapa tidak coba untuk saling memaafkan dan memulai semuanya kembali? Berikanlah Beno kesempatan, Del.”             Adelia terdiam namun tidak berniat untuk berpaling menatap Rinai. Ya, dia memang belum bisa move on dari luka yang ditimbulkan Beno padanya. Tapi, jika Beno tidak bisa melupakan Adelia karena gadis itu begitu berkesan buatnya, sebaliknya, Adelia tidak bisa menyingkirkan nama Beno dan perbuatan yang dilakukan pemuda itu dari pikirannya karena hal yang lain. Hal yang membuat trauma masa kecilnya seolah dibangkitkan kembali. Trauma yang tak kunjung bisa pulih karena rasanya begitu menyakitkan.             “Tidak, terima kasih.” Adelia menyahut sambil mendorong pintu kamarnya, “Tidak ada kesempatan kedua untuk seorang pengkhianat.”             Nada suara Adelia pelan namun berhasil mendatangkan gelombang kejut pada Rinai. Sebegitu bencinya kah sahabatnya ini pada mantan kekasihnya itu? Rinai tidak lagi menyahut, karena selain tidak tahu harus berkata apa, Adelia pun sudah menghilang di balik pintu kamarnya.[]                
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN