Malam telah larut, tetapi Hendrik belum juga tiba. Arum menunggu di kursi tamu beranda rumah. Arum ingin telepon tetapi masih pukul 21.35, mungkin sebentar lagi pikir Arum.
Arum selalu memberi Hendrik ruang untuk berkumpul bersama teman-temannya. Tidak bijak rasanya bila ia harus membuat Hendrik terus berada dalam rumahnya.
Sebagai lelaki ia juga punya kebutuhan untuk berkumpul dan berbincang dengan sesama lelaki.
Dunia lelaki memang di sana, di luar rumah, bukan diantara dinding tebal rumah. Lelaki bisa berkembang bila ia berkolaborasi dengan sesama lelaki untuk menyampaikan, hasrat juga keinginan mereka, tentang masa depan, bisnis dan pekerjaan.
Sorot lampu depan mobil memasuki halaman rumah.
"Alhamdulillahhhhh" Bisik Arum lirih dalam gumam.
Tidak ada yang lebih patut disyukuri selain melihat suami pulang dalam keadaan baik-baik saja.
Hendrik turun dari Fortuner hitamnya. Ia tersenyum manis pada Arum yang dibalas oleh senyuman manis pula.
"Dari mana saja ?" tanya Arum.
"Dari muter-muter, Um." Hendrik memeluk Arum. Mencium kening wanita yang dicintainya itu. Hendrim begitu romantis.
"Sudah makan malam ?"
"Tadi jam tujuh sudah makan, tetapi sekarang lapar lagi."
Arum menyiapkan makan malam untuk Hendrik sedangkan Hendrik membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian.
Ada sop sehat dan rendang daging di meja makan, lagi-lagi Arum dipeluk oleh Hendrik dari belakang.
"Hmmmm, punya istri cantik, baik juga pinter masak ini sebuah anugerah." Hendrik memuji Arum sambil berbisik di telinganya.
"Nggak usah berisik, sekarang Mas makan dulu. Asal Mas tahu ya, aku bisa sebaik ini juga karena suamiku itu Mas Hendrik."
Hendrik tersenyum, setiap hari Arum selalu memuji Hendrik dengan menampilkan semua kelebihannya. Kekurangannya mungkin ada, tetapi Arum tidak pernah memunculkan kekurangan yang dimiliki Hendrik, tidak pernah sama sekali.
Itu sebabnya keluarga mereka tampak ceria.
Usai makan malam, Hendrik menggendong Arum ke kamar mereka, lalu mereka pun b******u di sana.
Tidak ada yang berubah, sebelum dan sesudah menikah, semua tetap sama, tetap romantis, tetap hangat dan tetap membuat Hendrik puas sampai klimaks.
Mereka menghabiskan malam dengan bincang dan pelukan. Kepedihan Hendrik seolah hilang dan ketidak bahagiaan rumah tangga Arum dulu terbayar hari ini.
Mereka tetap dalam pelukan yang sama hingga pagi tiba dan mentari memberikan cahaya kehidupan barunya.
"Jadi jumpa Pak Bil, lagi ?"
"Iya, jadi. Kenapa, Um ?"
"Ya ga pa pa, pulangnya jangan malam-malam."
"Iya, sayang."
"Oh, iya, besok aku ke rumah ibu ya,"
"Lho ada apa?"
"Ibu lagi manja, Mas. Beliau sakit."
"Kita kapan ke rumah ayah kandungnya Ummi ?"
"Belum tahu, Yah."
"Kalau senggang nanti kita ke sana ya, Um, sambil melihat rumah yang di Banjarmasin."
Arum mengangguk, hari ini Hendrik pergi lagi. Ia ketempat Pak Bil akan membuat villa, Hendrik jadi sering terlibat dengan teman-teman komunitasnya. Urusan Hendrik's Family nya sudah di percayakan pada Faruq. Jadi Hendrik sekarang lebih banyak santai dan mencari rizqy yang lain sambil menunggu prosentase pemasukan dari perusahaannya.
Jalanan menuju Sebelimbingan memang menakjubkan, di temani dinginnya ac mobil dan lagu sendu Maudy Ayunda. Sebenarnya Hendrik tak terlalu suka lagu-lagu itu tetapi karena Arum suka jadi ia ikut juga menikmati dan ternyata enak.
Hendrik membelokkan mobilnya di sebuah tanah luas yang masih menjadi tanah lapang juga satu gazebo, beberapa orang telah ada di sana, tampak Pak Effendi, Pak Candra juga Pak Bil dan seorang wanita. Mungkin itu adik Pak Bil yang nanti akan mengurus villa ini. Hendrik turun dari mobil, lelaki penuh percaya diri seperti Hendrik selalu siap berada di kondisi apapun.
Ia menjabat lengan semua orang yang berada di sana, hingga saat ia harus berjabatan dengan seorang wanita.
Hendrik gemetar, kakinya seolah tidak berpijak ke tanah, pandangannya tajam menghujam, lengan wanita itu masih berada dalam genggamannya.
"Kenalkan Pak, Hendrik, ini Ayumi, adik saya." Ucap Pak Bil.
Ayumi ? bukannya ini wanita yang ia cintai dulu, wanita yang pergi dengan membawa janin dalam kandungannya, janin itu adalah anak Hendrik.
Dua puluh tahun lebih wanita ini hilang, kini ia ada di depan Hendrim dengan perut yang sudah kempis. Anak itu dimana ?, anaknya, anak Hendrik.
Tetapi mengapa namanya berganti Ayumi ?, apa mungkin dalam satu jiwa harus ada dua nama ?
Wanita itu juga tampak kikuk, matanya berkaca-kaca, membuat Hendrik makin yakin dia memang wanita yang Hendrik cari selama ini.
Hendrik melepas tangan wanita itu ketika mendengar Pak Bim berdehem.
Hendrik menunduk malu sementara Ayumi menghapus air yang menggenang di matanya sambil pura-pura matanya kemasukan sesuatu.
Hendrik penasaran, ia akan mencari tahu siapa sebenarnya wanita itu.
Ayumi, wanita di masa lalu yang hadir lagi..