11.20
Nikki menatap layar ponselnya sekali lagi, membaca pesan terakhir Dean yang masuk kemarin sekitar pukul sepuluh pagi:
Aku tidak bisa mendengar suaramu. Sinyalnya sangat buruk disini. Tolong terus kabari aku tentang kondisi Sam. Jika dia sudah bangun, katakan kalau aku merindukannya.
Siang ini, ia sudah berusaha menghubungi laki-laki itu. Panggilannya terhubung, tapi untuk kali kedua Dean tidak menjawabnya. Nikki hendak mengerang frustrasi. Di atas meja, bingkai fotonya bersama Dean dan Sam masih berdiri bersama dengan tumpukan kertas berisi catatan pasien. Foto itu diambil pada akhir musim panas dua tahun yang lalu. Nikki mengingat momen ketika Dean mengajaknya dan Sam berkeliling kota. Mereka berkendara menuju pantai, menghabiskan waktu disana sampai sore, kemudian malamnya ia dan Dean memutuskan untuk menyewa hotel terdekat. Pagi itu hari ulang tahun Sam. Dean membuat kejutan, dan dia bahkan baru memberitahu Nikki pagi harinya.
Aku sudah membeli kue dan menyewa badut untuknya. Nikki sedang berdiri menyisir rambut Sam di kamar hotel yang mereka sewa untuk dua malam. Kemudian seseorang mengetuk pintu kamarnya dan ketika ia meminta Sam untuk membuka pintu itu sesuai permintaan Dean, seorang badut muncul di depan sana dengan kue ulang tahun dan juga balon-balon di tangannya. Sam tampak terkejut, gadis itu berlari ke arah Nikki, spontan memeluknya karena takut, tapi kemudian badut itu melepas topengnya dan yang mengejutkan Nikki, Dean yang menjadi badut itu.
“Kau bilang kau menyewa badut?”
“Perubahan rencana.”
“Kenapa tidak memberitahuku?”
Sembari menampilkan seringai lebarnya, laki-laki itu berbisik, “itu kejutannya.”
Malamnya mereka habiskan untuk menemani Sam sampai gadis itu tertidur lelap. Kemudian Nikki dan Dean mabuk-mabukan di balkon hotel kamarnya. Bernostalgia tentang pertemuan pertama mereka dan tertawa cekikan selama berjam-jam. Sekitar pukul satu mereka masih terjaga, tapi alkohol sudah habis dan tidak ada percakapan lagi. Saat itulah Dean menariknya mendekat dan menghujaninya dengan ciuman. Dean mengangkat tubuhnya dengan mudah, membawa Nikki ke atas ranjang dan bercinta semalaman. Itu adalah percintaan terpanas yang pernah terjadi setelah mereka memiliki anak. Nikki hampir lupa kalau Dean punya keahlian sehebat itu ketika berada di atas ranjang. Tapi momen itu sudah berakhir beberapa bulan terakhir saat hubungan mereka kian meregang. Nikki sibuk dengan pekerjaannya, Dean-pun begitu. Ditambah lagi mereka harus bergantian mengurus Sam. Kehidupan pernikahan tidak pernah terasa sulit sebelumnya, namun perubahan itu tampak begitu jelas.
Awalnya hanya karena masalah sepele. Nikki bertemu Eric, mantan pacarnya, di sebuah pesta reunian sekolah. Dean ikut bersamanya dalam pesta itu dan karena Eric terus berusaha mendekat dan berbicara dengannya, Dean dengan mudah mencium apa yang terjadi di antara mereka. Nikki mau tidak mau menjelaskan situasinya. Ia mengatakan dengan jujur kalau perasaannya terhadap Eric sudah kandas bertahun-tahun lalu jauh sebelum mereka bertemu. Tetap saja Dean tidak percaya.
Frustrasi, Nikki akhirnya menghubungi Eric dan meminta untuk mengadakan pertemuan rahasia. Nalurinya mengatakan seharusnya ia tidak pernah mengadakan pertemuan itu, tapi pikiran rasionalnya memintanya untuk meluruskan niat itu. Nikki hanya ingin bertemu dan berbicara pada Eric untuk menegaskan bahwa ia tidak akan menerima tawaran yang diberikan Eric pada pertemuan mereka di pesta, bahwa laki-laki itu menawarkannya sebuah pekerjaan yang akan mempermudah karier Nikki. Memang benar Nikki menginginkan posisi di sebuah rumah sakit besar dan bekerja sebagai psikiater disana. Rasanya klinik kecil di pinggiran kota saja tidak cukup untuknya. Namun, Nikki harus menanggalkan tawaran itu dan menegaskan pada Eric bahwa ia tidak akan menerimanya.
“Tapi kenapa?”
Nikki menggeleng, bingung tentang alasannya. Sampai detik itu ia masih berusaha memikirkan apa alasan yang mendasari keputusannya untuk menolak tawaran baik Eric. Mungkin karena hal itu akan membuat Dean kesal, tapi jika begitu maka Nikki sama saja membebani Dean atas keputusan yang diambilnya sendiri. Akhirnya dia menjawab:
“Itu keputusanku.”
Pertemuannya dengan Eric berakhir, tapi entah bagaimana Dean mengetahui hal itu. Mereka berdebat selama seminggu penuh. Itu adalah momen paling berat yang pernah dihadapi Nikki sepanjang pernikahannya bersama Dean. Ia pikir segalanya akan membaik, nyatanya tidak begitu. Sikap Dean berubah dingin dan Nikki sudah tahu kemana semua itu akan mengarah.
Pagi ini ia duduk di belakang meja kerja dan mendapati dirinya memikirkan Dean. Nikki merasa frustrasi sekaligus kesal. Akhir-akhir ini ia sering menghubungi Lorrie, adiknya, hanya untuk menumpahkan semua keluh kesahnya. Terkadang Nikki bermalam disana, menangis di pundak Lorrie seperti remaja yang baru saja putus dari pacarnya. Tidak hanya itu, Nikki juga terpaksa harus menitipkan Sam pada Lorrie ketika ia sibuk berkerja. Mungkin ia sudah terlalu membebani adiknya, tapi pilihan apa yang ia punya? Selain Kate, Lorrie satu-satunya yang dapat ia percaya. Terkadang Nikki hendak menghubungi Kate untuk meminta bantuannya, tapi tidak seperti Lorrie yang pada dasarnya merupakan ibu rumah tangga, Kate super sibuk. Wanita itu datang beberapa kali ke rumahnya dan tinggal selama dua jam untuk menemani Nikki, tapi kemudian Kate pergi dan tidak ada yang tersisa di dalam rumah selain Sam.
Nikki benar-benar kesepian. Berkali-kali ia hendak mengangkat ponselnya untuk menghubungi Dean, tapi di saat yang bersamaan Nikki terus mengurung niat itu dan malah menghayutkan diri dalam kesedihan tiada akhir. Kali ini ketika ia sudah siap untuk berbicara, Dean justru tidak mengangkat panggilannya.
Selama lima belas menit Nikki bergerak mondar-mandir di ruang kerjanya. Pikirannya kalut. Bahkan setelah meneguk habis gelas kopi ketiganya pagi itu, Nikki masih kesulitan untuk mengusir Dean dari pikirannya. Ia kesulitan untuk membayangkan apa yang akan terjadi setelah Dean menikahi wanita lain. Namanya Bree. Dean bahkan tidak memberitahu nama belakang wanita itu.
Berapa usianya?
Oh ya, tiga puluh tahun. Muda, cantik, berabut merah.
Nikki hanya pernah melihat fotonya sekali di f*******:, tapi karena kesal, Nikki enggan mencaritahu lebih jauh tentang wanita ini.
Pagi itu jadwalnya senggang, sehingga Nikki bisa menikmati waktu santai lebih lama. Alih-alih melakukan sesuatu yang cukup berarti seperti mempelajari laporan pasien selanjutnya, Nikki justru duduk di belakang laptopnya dan mulai membuka laman f*******: Bree – atau siapapun namanya. Anehnya, wanita itu tidak memiliki informasi rinci tentang latar belakangnya. Wajahnya muncul di layar seperti hantu: dengan sepasang mata dan bibir yang terbuka lebar. Tidak ada gambar Dean, baguslah. Tapi setelah dipikir-pikir aneh juga. Dean sudah bersama wanita itu selama dua bulan dan dengan cepat memutuskan pertunangan. Hubungan mereka pastinya lebih kompleks dari itu, tapi sepertinya Bree bukan wanita yang suka mengumbar kehidupan pribadinya di media sosial. Foto terakhir yang dipajang wanita itu adalah foto lamanya sekitar lima tahun yang lalu. Lima tahun, dan wajahnya masih sama persis seperti yang pernah ditunjukkan Dean di ponselnya. Bagaimana mungkin wanita itu tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan setelah lima tahun?
Mungkin karena itulah Dean tertarik padanya.
Itu jelas!
Nikki, apa yang kau pikirkan? Oke, ini sudah berlebihan.
Nikki hendak berhenti, tapi mendapati dirinya tetap melanjutkan pencarian. Ia membuka laman untuk menggetikkan sebuah tempat desa kecil di pegunungan, tempat dimana Dean dan tunangannya pergi kesana. Dean tidak menyebutkan tempatnya secara spesifik, tapi laki-laki itu mengatakan kalau jaraknya puluhan kilometer jauhnya dari pemberhentian terakhir. Nikki mengingat-ingat pesan telepon Dean, laki-laki itu juga menyebut kalau ia melewati jalur kilometer 39. Di laman pencarian mengatakan kalau kawasan itu sudah masuk area tertutup. Seharusnya Dean tidak dapat masuk kesana. Mungkinkah Dean salah menyebut nomor kilometer jalan yang dilaluinya? Desa yang masih berpenduduk terletak tak jauh dari kilometer 23. Itupun sudah desa terakhir yang dapat dikunjungi.
Nikki mengerutkan dahinya dengan tidak percaya. Ia mencoba untuk menemukan desa yang dimaksud Dean sekali lagi, namun tempat itu tidak ada dalam pencarian. Anehnya, informasi terkait yang terhubung dengan pencarian itu adalah informasi tentang tradisi sekte penyembahan kuno yang sudah berlangsung selama hampir satu abad. Informasi itu terkesan tidak relevan, jadi Nikki mengabaikannya dan memutuskan untuk menutup laptopnya dengan kesal.
Tak lama kemudian, seseorang menyeruak masuk ke dalam ruang kerjanya. Tanpa harus menebak, Nikki sudah tahu siapa yang datang. Hanya Kate yang masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk pintu lebih dulu.