3A

1844 Kata
Bree mengatakan kalau mereka akan pergi menuju sungai dan Dean mengikutinya tanpa bertanya-tanya seperti anjing yang penurut. Hanya saja ia menyadari bahwa jalur yang ditempuh mereka berbeda dari sebelumnya. Tempat itu sangat aneh, pikirnya. Seolah-olah seseorang sudah merancangnya seperti itu. Setiap jalur yang ditempuh terlihat baru untuk Dean, dan karena kemiringannya yang tak menentu serta banyaknya bukit-bukit tanah yang terbentuk disana, jarak ke sungai dan ke pondok bisa saja sama jika dilihat dari peta, namun ketika mereka berjalan untuk sampai disana, satu tempat bisa terasa lebih jauh dari tempat lainnya, dan perbedaannya sangat signifikan. Dean berjalan pelan menyusuri permukaan tanahnya yang tidak rata. Berhati-hati agar tidak menginjak rumput liar dan juga menghindari sulur-sulur tanaman yang menggantung liar atas kepalanya. Cahaya mataharinya tampak kelabu di bawah dahan-dahan pohon tinggi yang menghalanginya untuk dapat menyentuh permukaan. Udara terasa menipis dalam setiap langkah yang diambilnya untuk sampai di sungai. Sementara itu, jalur setapak mulai menyempit karena pohon-pohon besar yang menjarahnya. Di depannya, Bree berjalan tanpa ragu-ragu. Lengannya terangkat untuk menyingkirkan sulur-sulur tanaman liar yang menghalangi jalannya. Sementara Dean terus menatap punggungnya, seolah ia sedang berusaha membuat lubang disana. Tiba-tiba ia mengingat percakapan terakhirnya dengan Nikki di telepon. Aku berusaha menghubungimu – sekitar pukul dua, tapi kau tidak menjawab. Mungkin kau sedang tidur.. “Hei!” Dean berjalan cepat ke samping Bree kemudian mengimbangi langkahnya. “Dua malam yang lalu, saat kita berhenti di tengah jalan, aku ketiduran, bukan?” “Ya.” “Paginya kau sudah tidak ada di mobil.” “Ya, aku perlu buang air kecil..” “Aku tahu, tapi.. pukul berapa kau bangun?” Bree kembali mengangkat satu lengannya untuk menyingkirkan sulur tanaman itu. Karena tempatnya begitu hening, derap langkah mereka terdengar begitu jelas. “Aku tidak tahu, aku tidak melihat jam, tapi yang pasti masih gelap. Mungkin fajar. Memangnya kenapa?” “Apa kau mendengar ponselku bergetar?” Bree tertegun, dahinya mengerut, kemudian wanita itu menggeleng dengan cepat. “Tidak.” “Kau yakin?” “Ya, Dean, aku sangat yakin. Memangnya ada apa?” “Tidak apa-apa. Kupikir seseorang berusaha menghubungiku, itu saja.” “Siapa?” Dean tidak menjawab sampai Bree mengehentikan langkah dan memutar tubuh ke arahnya. Wanita itu meraih pundaknya sembari mengerutkan dahi – satu hal yang selalu dilakukan Bree ketika ia menuntut penjelasan. Dan satu hal yang pasti tentang Dean: ia tidak bisa berbohong – terutama pada orang-orang terdekatnya. “Nikki.” Kerutan pada dahi Bree menghilang, namun tidak menanggalkan rasa penasarannya. “Ada apa? Semuanya baik-baik saja?” “Tidak. Sam terjatuh. Temannya mendorongnya ketika mereka sedang bermain di taman dan dia menangis semalaman. Nikki berusaha menghubungiku tapi aku tidak menjawab panggilannya.” Kini Bree mendekat sembari meletakkan kedua tangannya yang hangat di atas rahang Dean. Wanita itu menatapnya dengan penuh simpati dan berkata, "hei, maafkan aku. Bagaimana kondisi Sam sekarang?” “Kuharap dia baik-baik saja. Aku berusaha menghubungi Nikki, tapi dia tidak menjawab panggilanku, selain itu sinyalnya sangat buruk disini.” “Tidak apa-apa, kau akan mencobanya lagi nanti. Aku tidak mengada-ada, tapi disini memang sulit menemukan sinyal. Orang-orang yang tinggal disini tidak menggunakan internet.” Dean mengangguk. “Hei, serius kau tidak apa-apa? Kalau kau terpikir untuk kembali ke kota, aku akan mengatakan pada keluargaku untuk menunda pesta pertunangannya..” “Tidak, aku tidak apa-apa,” potong Dean. “Aku akan terus mencoba menghubungi Nikki. Tidak perlu membatalkan pestanya, kita sudah datang jauh-jauh.” “Oke, itu pilihanmu.” “Sekarang, tunjukan padaku dimana sungainya?” Bree menunjuk ke seberang, persis ke arah jalur setapak yang dilahangi oleh pohon-pohon besar. “Sekitar dua ratus meter lagi.” “Oke.” Mereka melanjutkan sisa perjalanan itu tanpa berbicara. Dean sempat melihat pagar besi dengan tulisan ‘DILARANG MASUK’ yang sama seperti yang ia lihat satu hari sebelumnya, hanya saja pagar itu memperlihatkan sisi hutan yang berbeda. Kemudian ia bertanya-tanya sejauh berapa meter pagar itu dipasang? Dan apa juga yang ada di dalam sana? Sementara Dean terus memandangi pagar besi setinggi tiga meter itu, Bree terlah berjalan jauh di depannya sehingga Dean harus bergerak cepat untuk menyusul wanita itu. Kurang dari lima menit kemudian mereka akhirnya sampai di sungai. Letaknya ada di dalam hutan. Sungai itu dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi dan semak-semak liar. Tidak seperti bagian hutan lain yang lebih tertutup, sungai itu mungkin menjadi satu-satunya tempat yang cukup terbuka. Cahaya matahari membanjiri permukaannya. Permukaan tanahnya ditumbuhi oleh rumput setinggi mata kaki. Sementara itu, suara gemuruh air sungai yang mengalir deras terdengar dari jarak seratus meter jauhnya. Dean memandangi bebatuan besar yang muncul di permukaan sungai itu. Airnya begitu jernih sampai-sampai ia dapat melihat pantulan wajahnya sendiri. Di belakangnya Bree telah menanggalkan pakaian kemudian berlari melompat ke dalam air. Dean menyaksikannya sembari tersenyum. Wanita itu menghilang selama beberapa detik di dalam air kemudian muncul dengan wajah pucat dan rambut merahnya yang basah. “Kemari, Dean! Hangatkan aku, airnya sangat dingin!” Dean tergoda untuk langsung menghampiri wanita itu tapi teringat kalau ponselnya masih ia letakkan di dalam saku. “Tunggu sebentar!” katanya selagi menghampiri batu besar dengan permukaan pipih yang berada di dekat sana. Ia kemudian menanggalkan pakaian dan ponselnya disana sebelum berjalan mendekati sungai. Sekujur tubuhnya bergelenyar kali pertama air dingin sungai itu menusuk kulitnya. Dean menatap kakinya di bawah permukaan air itu: tampak pucat. Ia kemudian berjalan lebih jauh ke bagian sungai yang lebih dalam. Mendisis ketika hawa dingin itu mencekiknya. Kemudian berenang menghampiri Bree. Dari dekat, Bree melingkari lengan ke seputar pundaknya kemudian mencium bibirnya dan mengirimkan getaran hangat yang menjalar ke sekujur tubuh Dean. Dean bereaksi dengan merangkul wanita itu, kemudian memiringkan wajahnya dan balas menciumnya. Kedua tangannya terangkat untuk menangkup wajah Bree, matanya terpejam dan ia mulai membayangkan Nikki. Sial. “Apa?” “Bukan apapun.” Dean memeluk Bree dengan erat. Sembari berdekatan mereka berenang di sungai kemudian bergerak mendekati tepian saat hawa dinginnya tidak dapat ditoleransi lagi. Setelah berenang, mereka duduk di bantaran sungai untuk mengeringkan tubuh. Bree berbaring atas rumput dengan hanya menggunakan bikini hitam dan celana pendeknya. Sementara Dean duduk sembari bertelanjang d**a. Sinar matahari yang terasa hangat membanjiri tubuhnya. Ia menyipitkan mata selagi memandangi permukaan sungai. Di samping, Bree mamainkan jari-jari di atas lengannya, sesekali menarik pelan rambutnya yang kian memanjang. Bree benar, Dean perlu bercukur. “Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Bree di sampingnya. Dean berbalik untuk menatap wanita itu. Kulit Bree tampak berkilau di bawah cahaya matahari pagi. Rambutnya yang masih basah tergerai di atas rumput seperti lidah api yang menyala. Kedua matanya menyipit untuk menghalau pantulan sinar matahari, kemudian sudut bibirnya ditarik lebar ketika sedang tersenyum. Wanita itu mengingatkan Dean pada pacar pertamanya di sekolah menengah. Becky berambut merah juga, memiliki sepasang mata yang besar dan senyum lebar seperti Bree, kecuali karena warna mata Becky lebih cerah dari pada Bree. Dean ingat kali pertama ia mabuk-mabukan dan tidur bersama Becky di sebuah motel murahan yang ada di pinggiran kota. Namun hubungan mereka tidak seserius itu. Becky menyatakan dengan tegas kalau wanita itu hanya penasaran untuk meniduri perenang terbaik di sekolah mereka. Dean tahu kalau ia bukan yang pertama, meskipun ia malu untuk mengakui pada Becky kalau wanita itu adalah orang pertama yang ditidurinya. Namun pengakuan Becky sekaligus membuat Dean patah hati. Teman dekat Dean: Darren sudah memeringatnya kalau Becky bukan wanita baik-baik: Aku punya saran untukmu, jangan pernah mengencani wanita berambut merah! Kenapa? Percaya saja, kau akan patah hati. Dean tidak tahu kalau ramalan Darren benar-benar akan terwujud. Meskipun begitu Dean tidak sepenuhnya memercayai takhayul itu. Sampai sekarang ia masih mengagumi wanita berambut merah. Meskipun Dean akhirnya menikahi Nikki yang berambut pirang. Mungkin sebenarnya warna rambut bukanlah yang terpenting. “Apa?” ucap Bree ketika menariknya mendekat. Dean menunduk, merangkulkan lengannya ke seputar pinggul wanita itu kemudian menciumnya. Tiba-tiba suara gemerisik yang terdengar dari arah semak-semak menghentikan Dean. Seketika itu juga ia menatap ke arah dimana sumber suara itu berasal. Sebuah siluet hitam melintas di dekat pohon-pohon tinggi. Dean cukup yakin ia baru saja melihat seseorang berjalan disana. Bree ikut menatap ke arah yang sama, tapi tampak tidak begitu kaget. “Ada apa?” katanya. “Ada seseorang disini.” “Apa? Tidak mungkin!” “Ya, apa kau tidak mendengar suaranya?” “Suara apa?” Dean beranjak pergi dari atas rumput untuk mengenakan pakaiannya dengan cepat. Kemudian, ia melangkah mendekati semak-semak. Jantungnya berdegup kencang saat mengetahui seseorang sedang berusaha memata-matai mereka. Tapi siapa? Dean yakin seseorang berkulit hitam lainnya. Jadi pasti penduduk pribumi aneh itu. Dean menatap ke sekitar – tidak ada siapapun. Bree menyusulnya di belakang. Wanita itu sudah berpakaian lengkap ketika Dean berbalik. “Ada apa sih?” tanya Bree karena kesal sekaligus penasaran. Ia melongokkan wajahnya, menatap ke balik semak-semak setinggi satu meter, melewati pepohonan tinggi kemudian berkata, “lihat? Tidak ada siapapun.” Dean hendak memercayainya, tapi malah berbalik untuk meraih ponsel yang di letakkannya di atas batu besar dan berkata, “sebaiknya kita kembali ke rumah.” “Tunggu! Dean, ada apa denganmu sebenarnya?” Dean menatap layar ponselnya, tiba-tiba merengut ketika membaca dua panggilan tidak terjawab dari Nikki di depan layar. Seisi pikirannya menjadi kalut. Sementara itu ia harus membagi fokusnya pada apa yang hendak disampaikan Bree, seorang penduduk pribumi yang memata-matainya, dan juga Nikki. Apa yang harus dikatakannya pada Nikki sekarang? Wanita itu pasti berpikir kalau Dean tidak bersungguh-sungguh saat mengatakan kalau dia akan menghubunginya. “Dean?! Aku sedang berbicara padamu!” “Dengar, Bree! Aku rasa aku hanya kelelahan. Aku berusaha untuk menikmati waktu bersamamu, tapi mengetahui putriku di rumah kesakitan dan membutuhkan aku sementara aku berada bermil-mil jauhnya dari dia membuatku frustrasi, oke? Jadi kenapa tidak beri aku waktu sebentar untuk menyendiri.” “Apa?” Dean memejamkan mata, tahu bahwa ia harus memperbaiki ucapannya, tapi Bree sudah terlanjur marah setelah mendengar kalimat itu dan hal terakhir yang diinginkannya adalah memulai pertengkaran dengan wanita itu di tempat antah berantah. “Maafkan aku. Apa yang kumaksud adalah..” “Tidak usah dijelaskan ulang!” sela Bree dengan cepat. Kerutan pada dahinya telah hilang, digantikan oleh ekspresi kekecewaan dan sikap defensif yang tampak kentara. “Aku mengerti, Dean. Sesuai permintaanmu, aku akan meninggalkanmu sendirian.” “Bree.. Dengarkan aku..” Ketika Dean hendak meraih lengannya, wanita itu menepisnya dengan cepat kemudian berjalan pergi meninggalkan Dean di sungai. Bree menghilang dengan cepat di balik pohon-pohon tinggi dan semak-semak belukar. Kabut di dalam hutan membuat Dean kesulitan untuk menemukan wanita itu, tapi Dean masih bisa mendengar suara langkah kakinya yang tergesa-gesa meninggalkan sungai. Dengan putus asa, ia berjalan mondar-mandir di dekat sungai, menatap layar ponselnya, berpikir, kemudian memutuskan untuk menghubungi Nikki. Percobaan pertama gagal karena sinyalnya tidak ada. Kemudian dua menit setelahnya segaris sinyal muncul dan Dean mengambil kesempatan dengan cepat untuk menghubungi Nikki. Sayangnya, panggilan itu masuk ke pesan suara. Sial! Bagus sekali Dean, kau paling pandai membuat sengalanya menjadi kacau. Dean berdiri diam disana sembari menatap ke arah sungai. Meskipun begitu, pikirannya berada di tempat yang jauh. Ia sempat terpikir untuk meninggalkan pesan suara dan meminta Nikki untuk menghubunginya lagi, tapi hal itu akan membuat Nikki kesal, jadi Dean meletakkan ponselnya kembali ke dalam saku, berbalik kemudian pergi meninggalkan sungai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN