Bab 18

1934 Kata
Menjauh lebih baik  Gavin mengendarai motor dengan kecepatan di atas rata-rata sesuai dengan yang diijinkan oleh Shaqilea. Dalam diri Shaqilea saat kecewa dan sedih bukan tangisan yang akan ia keluarkan, namun ia akan bersembunyi dari keramaian dan megurung diri, lalu pukul tembok yang dilewati dengan berdarah. Shaqilea meminta Gavin menghantarkannya pulang. Setelah Gavin sudah pergi dari pelataran. Di sana ada sang kakak yang sedang menonton televisi namun arah pandangnya itu kosong. "Selamat malam Kak," Shaqilea mencium dan memeluk Kakaknya. Lovatalea hanya diam di sofanya. "Kak, aku kabar baik buat Kakak." ucap Shaqilea. "Aku bertemu dengan Zidan, dan tidak butuh waktu lama lagi aku akan membalas dendam," lanjut Shaqilea. Mendengar nama Zidan di sebutkan tiba-tiba sorot mata Lovatalea berubah menjadi kesulitan, tangan itu meremas sofa dengan begitu kencang, suara nafasnya memburu. “Kak, tenang. Kakak aman di sini, kali ini Lea akan selalu lindungi Kakak dan nggak akan ada yang dilindungi melindungi Kakak, ”terangnya. "Dan Zidan akan mati di tangan Lea." Shaqilea memeluk tubuh Lovatalea yang bergetar mempertahankan kecemasan. Mengecup dan membelai rambut Sang Sangak, memberikan kenyamanan dan kehangatan untuk Sang Sang Sangak. Terdengar ponsel berbunyi, ada nomor masuk yang tidak kenal. Shaqilea mengangkat telepon tersebut. "Halo Shaa ..." di seberang sana. Suara itu sangat akrab di telinganya. Shaqilea hanya diam, ia ingin mencoba mendengarkan suara tersebut itu lagi.  Menyakinkan diri apakah benar dia orang yang ada dalam tebakannya atau bukan. “Haloo Sha.  Haloo lo dimana?” “Benar tidak salah lagi,  dia cowok b******k itu,” batin Shaqilea. “SALAH SAMBUNG!” jawab Shaqilea dan langsung mematikan sambungannya. Ponsel itu kembali berdering oleh nomor yang sama, hingga berkali-kali namun tidak di angkat sama sekali oleh sang pemiliknya. Lovatalea yang melihat itu semua,  berniat untuk mengangkat panggilan tersebut namun langsung di rebut oleh Shaqilea. “Nggak perlu di angkat, ini nggak penting,” Shaqilea mematikan ponselnya agar tidak di teror lagi. “Hayoo ka udah malam, Lea antar ke kamar,” ajak Shaqilea. Shaqilea menuntun sang Kakak menuju kamarnya untuk istirahat. Sementara dirinya akan mandi terlebih dahulu lalu ikut  istirahat juga. Di lain tempat Edsel berada di sebuah tempat dimana biasa anak-anak Moriz berkumpul bersama. Jam sudah menunjukkan pukul 02:12 dini hari.  Disana Edsel hanya seorang diri. Ia semenjak tadi hanya mondar-mandir tidak jelas memikirkan masalahnya dengan Shaqilea. Berkali-berkali Edsel menghubungi Shaqilea namun tidak di angkat yang berakhir dengan tidak bisa di hubungi. Edsel bingung haruskah ia marah dan memusuhi Rio yang sudah ia anggap seperti Abangnya sendiri.  Ia takut jika Rio adalah musuhnya Shaqilea di masalalunya. Jika memang benar itu terjadi, maka akan di pastikan  ia akan memilih salah satunya. Tiba-tiba ponselnya berdering,  ia berharap bahwa itu panggilan dari Shaqilea.  Namun sayangnya panggilan itu dari Raegan. “Halo,” “Lo dimana?”  tanya Raegan. “Markas,”  jawab Edsel. “Lo belum pulang?  Perlu gue susul kesana?” “Nggak perlu! Bentar lagi juga gue pulang,” “Ok,”  Raegan memutuskan sambungannya. Tutt Tuttttt Edsel mengambil jaketnya yang ia lempar ke arah sofa dengan sembarang. Ia keluar dari markas tersebut. Menyalakan motor lalu pergi meninggalkan markas Moriz itu. Seperti biasa ia sudah membawa kunci serep gerbang yang sudah di manipulasi olehnya , jadi jika ia pulang pagi seperti itu tidak akan ketahuan. Dan akan menyelinap masuk kamarnya lewat jendela yang sengaja tidak ia kunci. ⛲⛲⛲⛲⛲ Bulan telah menjadi mentari pagi yang sangat cerah menghangatkan tubuh,  setelah pulang dari Markas Edsel tidak tidur sama sekali. Ia hanya merenungkan diri hingga mentari itu tiba. Edsel melihat jam di kamarnya menunjukkan pukul 06:00,  dengan segera ia bangun dan mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolahnya. Tujuan utama ia bersekolah hanyalah untuk menemui Shaqilea. Mengapa Shaqilea begitu banyak teka-teka dalam kehidupannya, ia sempat berpikir bahwa Shaqilea telah membuka hati padanya tapi pada kenyataannya Shaqilea tetap dingin dan mungkin akan lebih dingin dari sebelumnya. Edsel berjalan menuruti tangga rumahnya, ia menuju meja makan.  Disana sudah ada kedua orang tuanya yang sedang bersarapan. “Sayang,  pagi-pagi ko udah murung seperti itu,  Papah pulang bukannya bahagia” ujar Mia Mamah dari Edsel. “Sudah berapa kali kamu kecewain Papah,  kapan kamu akan membanggakan Papah? Edsel dengar baik-baik, Papah malu ketika di telepon bahwa kamu terlibat tawuran dan masuk kantor polisi, kamu tau kemarin Papah sedang meeting,” jelas Egar, Papahnya Edsel dengan emosi. “Pah udah, jangan marah-marah semua bisa di bicarakan dengan baik-baik,” Mia mencoba untuk menenangkan Egar. “Beginilah didikan kamu,  kamu itu selalu manjain dia. Jadi beginilah anaknya menjadi urakan, gak tau aturan, bertingkah sesuai keinginanannya dan tidak bermoral!” sentak Egar. BRAKKK....  Edsel memukul meja di depannya. “Kalau Papah pulang hanya untuk memarahi Aku dan Mamah lebih nggak usah pulang! Sejak kapan Papah peduli sama kita?” ucap Edsel. Plak Egar menampar Edsel. “Lihat beginilah didikanmu selama ini Mah,”  ujar Egar.  Mia kaget melihat perlakuan suaminya yang menampar anaknya seketika air mata itu  lolos dari pelupuknya. “Tapi nggak perlu dengan cara kekerasan!” tegas Mia. “Sudah tau anaknya salah masih saja di belain, Ibu sama Anak nggak ada bedanya.  Sama-sama pembangkang!” tegas Egar. Egar mengambil tasnya yang berada di samping kursinya dan berlalu meninggalkan keduanya. “Udah Edsel lebih baik kamu berangkat sekolah jangan hirauka ucapan Papahmu. Mamah percaya kamu, Kepala Sekolah juga sudah menjelaskan pada Mamah.” Edsel hanya menggangguk mendengar ucapan dari Mamahnya. “Edsel berangkat Mah,” Edsel menyalami tangan Mamahnya, ia tau jika Mia sedang menahan tangisnya agar tidak tumpah di hadapan anaknya. “Kamu nggak sarapan dulu,” saran Mia. “Nggak Mah,  takut telat.” “Ya sudah hati-hati ya,  jangan kebut-kebutan.” Edsel tersenyum berusaha menandakan bahwa ia akan baik-baik saja. Edsel berlalu meninggalkan Mia.  Sesaat setelah kepergian anaknya, Mia menangis tersedu ia berharap bisa makan bersama dengan anak dan suaminya.  Tapi kenyataannya hanya keributan lagi yang ia dapatkan sama seperti hari-hari yang telah usai. Egar,  suami dari Mia dan Papah dari Edsel jarang untuk pulang ke rumahnya.  Ia terlalu sibuk dan selalu mementingkan perusahaannya. Dahulu, Egar tidak seperti itu meskipun ia sering keluar kota maka ia berusaha sesering mungkin mengunjungi anak dan istrinya. Namun sayang semuanya telah berubah semenjak Egar di tipu oleh rekan bisnisnya dan hampir mengalami kebrangkutan,  beruntung ada sahabatnya yang menawarkan diri untuk membantunya. Di saat itu pula kehidupannya berubah menjadi terobsesi pada pekerjaan, bahkan semuanya ia handle sendiri. Edsel mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, ia urungkan keinginannya awal yang menggebu untuk bertemu dengan Shaqilea. Keributan yang di ciptakan oleh Egar, membuat suasana hatinya menjadi sangat berantakan. Edsel memasuki pelataran markasnya,  disana sudah ada Raegan dan teman-temannya yang sudah berkumpul. “Woyy kawan gue, kenapa muka lo di tekuk gitu?” tanya Kenzo. “Yah, seperti biasa bokap gue pulang,” “Bokap mukul lo lagi? Pipi lo lebam gitu,” ujar Zelond. Semua mata anak Moriz tertuju pada wajah milik Edsel.  Pipi sebelah kanannya itu merah, bekas tamparan Egar. Edsel mengusap pipinya lali tersenyum kecut mengingat kejadian dimana dirinya di tamparnya oleh Papahnya sendiri.  Meski itu bukanlah tamparan pertama yang ia dapat tapi tetap saja hatinya selalu merasakan perih ketika ia mendapatkan perlakuan dari Papahnya. “Semuanya udah datangkan? Kalau udah kita langsung ke sekolah aja,”  ajak Edsel. Semuanya pergi meninggalkan Markas tersebut dengan berjalan kaki menuju sekolah. Sampai di depan gerbang Edsel melihat Shaqilea sedang berjalan memasuki lorong sekolahan. “Sel, lo gak kejar dia?”  tanya Raegan. “Nanti aja, suasana hati gue lagi nggak baik yang ada nanti gue kebawa emosi,”  jawab Edsel. Di lapangan upacara semua anak Moriz berpisah menuju kelasnya masing-masing. “Bang kita ke kelas dulu ya,”  ucap Denis. “Gue juga bang,” diikuti yang lain. Edsel,  Raegan, Kenzo dan Zelond berjalan ke arah utara dan harus menaiki tangga kelas mereka berada di lantai tiga. ⛲⛲⛲⛲⛲ Suasana sekolah ramai seperti biasa, begitupun dengan wajah Shaqilea yang tak pernah berubah selalu datar dan cuek. Di tambah masalah baru datang pada malam hari kemarin. Entah ia harus bahagia atau kecewa karena semuanya berbaur menjadi satu dalam satu waktu. Shaqilea bahagia akhirnya ia bisa menemukan sosok Rio yang sudah lama ia cari,  namun  di saat bersamaan ia juga kecewa di saat hatinya sudah menata pilihannya ternyata hanyalah seorang pengkhianat. “Hay Sha,”  sapa Faeyza. “Hmmm,” sahut Shaqilea. “Lo udah sarapan belum, ini nih nyokap gue bawain bekal kita makan berdua yukk,” ajak Faeyza. “Makasih tapi maaf gue udah sarapan.” “Cobain dikit aja Sha, nggak habis nih gue kalau makan sendirian.” “Nggak deh Faey,  gue udah kenyang.” “Gak boleh nolak, sumpah nasi goreng  buatan nyokap gue itu enak banget.  Ayok buka mulut lo Aaaa,”  Faeyza mencoba menyuapkan nasi goreng miliknya. Saat ini Shaqilea tidak ingin berdebat jadi ia memaksakan diri untuk mengikuti keinginan Faeyza. “Gue makan sendiri,” Shaqilea mengambil alih sendok dari tangan Faeyza dan menyuapkan ke mulutnya sendiri. “Lagi,  lagi nih.” “Udah ya cukup, gue tau lo nggak budak.” “Iya,  iya tapi enakan?” ucap Faeyza dengan memainkan alisnya. “Heemm,” Akhirnya Faeyza tidak lagi memaksa Shaqilea untuk memakan bekalnya lagi. Ia memakan sendiri bekalnya sambil menunggu bel masuk berbunyi. Sedangkan Shaqilea membuka buku pelajarannya,  mengulas materi kemari dengan diiringi musik yang mengalun di headset yang ia pakai. ⛲⛲⛲⛲⛲ Waktu berlalu sesuai dengan iramanya  pelajaran sudah berada di penghujungnya bel tanda istirahat berkumandang pada jamnya. Gavin tengah membereskan buku-bukunya ia berencana untuk menemui Shaqilea dan mengajaknya ke kantin bersama. Senyuman khas Gavin itu mengembang tak luput dari bibirnya. “Wuisshh....  Bahagia banget nih kelihatannya, menang lotre ya?” ujar Cio.z “Sejak kapan gue ikut begituan, ngaco lo.” “Ya kali aja,  lumayan coba-coba berhadiah.” “Ke kelas Shaqilea yukk,” ajak Gavin. “Oh gue tau ternyata lo sedang jatuh cinta, eh jangan bilang lo udah jadian juga sama Shaqilea? Gila lo kagak bilang-bilang ke gue temen macam apa lo!” “Belum jadian sih tapi ya doain aja semoga Shaqilea juga punya perasaan sama juga.” “Gue selalu doain dan dukung lo selagi itu memang yang terbaik buat lo sob.” “Thank you Bro,” “Hayoo lah kapan kita berangkatnya nih dari tadi kita cuman ngobrol doang.  Lo nggak tau, gue juga kangen Faeyza nih,” ujar Cio keceplosan. “Nah kan nah apa gue bilang jangan terlalu ngebenci orang karena bisa jadi itu awal dari tumbuhnya benih-benih cinta.” “Ehh.. ehh maksud gue kangen ribut ya,” CEO berusaha mengelak. “Yaudah hayoo......” Keduanya beranjak dari tempatnya berada mereka akan menemui Shaqilea dan Faeyza di kelasnya lalu mengajak ke kantin bersama. Dari arah berlawanan sebelum memasuki kelas Shaqilea, Gavin bertemu dengan Edsel dan teman-temannya dengan langkah santai Cio mendekati Edsel. “Masih punya nyali juga lo buat ngedekati Shaqilea?” bisik Cio. “Lo pikir,  lo udah menang gitu dari gue? Jangan mimpi!” balas Edsel. “Tapi emang gitu kan. Kiara aja milih gue dan akan sangat di pastikan Shaqilea juga akan lebih tertarik ke gue,” ucap Gavin dengan nada seringainya. Lagi dan lagi Edsel kepancing emosi oleh Gavin. Brakk Edsel mendorong tubuh Gavin ke arah tembok. “b******n! Lo emang b******n dan selamanya b******n akan menjadi b******n!” murka Edsel. Zelond berusaha menarik Edsel agar tidak lagi membuat keributan yang nanti akhirnya di ketahui oleh Shaqilea. Jika Shaqilea mengetahui bisa di pastikan kadar kebencian terhadap Edsel semakin bertambah. “Sel, ini gak tepat buat lo mukul dia.  Lo bahkan udah janji kepada Pak Rusdi, nggak akan ada lagi keributan yang lo perbuat di sekolah ini,”  bujuk Zelond. “Kali ini lo bisa selamat tapi nanti kalau di luar, jangan harap!” Setelah mengucapkan itu Edsel berlalu pergi meninggalkan Gavin dan Cio. Dari arah depan Shaqilea baru keluar dari kelasnya Edsel hanya diam tak menyapa sama sekali meskipun ada keinginan untuk menyapa. Begitupun dengan harapan Shaqilea,  ia berharap Edsel menyapanya namun nyatanya tidak secara tidak langsung Shaqilea berpikir bahwa Edsel hanya mempermainkannya saja,  seperti dugaan sebelumnya. Keadaan seperti itu yang Shaqilea benci,  ketika cinta sudah mulai tumbuh hanya ada pengkhianatan yang  akan datang menyambut. Edsel berjalan lurus melewati Shaqilea tanpa ada tatapan berbinar seperti biasanya. “Sha, ko tumben dia cuman lewatin lo?” tanya Faeyza dengan penasaran. Shaqilea menghiraukan pertanyaan dari Faeyza. Tak jauh dari keberadaannya disana ada Cio dan Gavin yang sedang berjalan mendekat. “Cio, ngapain lo kesini?” tanya Shaqilea. “Oh cuman Cio doang yang di tanya, gue nggak nih!” protes Gavin. “Kalian ngapain kesini?” tanya Faeyza. “Asatagaa Gavinnnn.....  ini lo beneran? Nyamperin kelas gue gitu?” jerit seorang siswi dengan rambut panjang yang di gerai. Siswi itu terlihat kegeringan melihat kedatangan Gavin di kelasnya dan itu sudah biasa di saksikan oleh Gavin secara ia adalah seorang kapten basket yang mempunyai populitas cukup tinggi di sekolahnya. “Faey, ko lo biasa aja sih lihat Gavin. Kalau lihat pertandingan biasanyakan lo paling histeris di antara yang lain,” celoteh siswi itu dengan name tag Nindi. “Apaan sih lo ngomong apaan sih?” elak Faeyza. "Sha lo mau terus ke sini apa mau ke kantin?" Faeyza berusaha mengubah topik pembicaraan. Faeyza meninggalkan Shaqilea dan yang lain ia segera beranjak dari tempat agar tidak di minta jika pipinya telah berubah menjadi merah karena celotehan Nindi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN