Chloe Xiomara, atau yang biasa disapa Ara, gadis keturunan Spanyol - Jawa itu mengacak rambutnya frustasi saat melihat isi kulkasnya yang kosong. Padahal malam ini dia sangat lapar.
Akhirnya gadis itu keluar langsung memesan ojek online untuk mengantarnya ke supermarket yang tak jauh dari kostnya.
Baru saja, Ara mengunci pintu kostnya terlihat cowok yang tak asing kini turun dari motornya. Cowok itu langsung menghampiri Ara dengan senyuman lebarnya.
Namanya Raka, temannya Ara sejak semester satu. Cowok yang memiliki tinggi 178cm itu kini telah berdiri di samping ceweo berambut sebahu itu.
"Ra, mau ke mana?"
"Ke supermarket."
"Gue yang antar?"
Ara bukan tipe orang yang tega membatalkan pesanana kepada driver yang lagi on the way, karena satu penumpang bagi mereka itu sangat berharga, kalau Ara membatalkan sama saja memutuskan rezeki mereka.
Ara melihat maps di aplikasi ojok onlinenya. "Udah dekat nih drivernya."
"Cancel aja, nanti abis dari supermarket kita ke KUA deh."
"Ngapain?"
"Halalin kamu."
Ara terkekeh pelan, dia selalu menganggap ucapan Raka itu adalah lelucon yang tidak benar-benar serius. Bagi Ara, Raka hanyalau sesosok laki-laki yang cocok menjadi sahabatnya bukan menjadi pacar apalagi suami, kemistrinya enggak dapat.
"Enggak deh, Rak, ojeknya tinggal 1 menit lagi."
"Padahal gue ke sini mau aja lo jalan."
"Kapan-kapan deh."
Ojek yang dipesan oleh Ara, kini telah sampai. Ara pun langsung naik ke motor itu, tapi sebelumnya dia sudah berpamitan kepada Raka.
Benar kata orang, jarang sekali pertemanan antara laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki rasa, entah salah satu atau keduanya.
Gue yakin, Ra, suatu saat nanti lo pasti jadi milik gue. Gue akan kuliah sungguh-sungguh, biar cepat lulus dan langsung lamar lo.
***
Setelah memarkirkan mobil di salah satu supermarket, dia pun langsung masuk, tentu tujuan utamanya adalah rak camilan. Biasanya Kejora suka lapar tengah malam.
Devan memperhatikan seorang perempuan yang loncat-loncat ke rak paling atas untuk mengambil camilan, tapi karena tubuhnya yang pendek, jadi kesusahan untuk menggapainya.
Karena gemas dari tadi dia tidak berhasil meraih yang diinginkan, akhirnya Devan langsung mengulurkan tangannya untuk menggapai camilan itu.
Devan langsung memberikan ke perempuan itu. "Ini, Dek."
Perempuan itu menerimanya tapi tidak bilang terima kasih, justru memasang tampang kesal. "Ish, aku bukan anak kecil, jadi jangan panggil adek."
Devan terkekeh pelan. "Lalu? Bahkan, tubuh kamu cuma sebahu aku."
"Tubuh mungil bukan karena aku anak-anak juga, badanku emang 155 cm, tapi sebentar lagi 19 tahun!"
"Siapa?"
"Aku."
"Yang nanya," goda Devan semakin membuat perempuan itu kesal.
Saat perempuan itu hendak pergi, tiba-tiba tangan Devan menahannya, membuat perempuan itu mengernyit.
"Kamu belum bilang makasih, Dek."
"Ogah, Om, ogah!"
Perempuan itu langsung menghempaskan tangan Devan, lalu melangkah dengan cepat, tanpa sadar ada kulit pisang yang tergeletak di lantai dan perempuan itu menginjaknya hingga bokongnya mencium lantai yang keras.
Aneh sekali di supermarket ada kulit pisang. Mungkin ada anak kecil yang membuang kulit sembarang dan belum dibersihkan oleh petugas.
Entahlah.
Devan yang melihat hal itu terkekeh pelan. "Ceroboh." Namun, Devan tetap membantu perempuan itu agar segera bangun.
Perempuan itu menerima uluran tangan Devan, dan bokongnya rasanya sakit sekali, dan kakinya sedikit keseleo, hingga dia kesulitan berjalan. Devan membantu perempuan itu untuk berjalan.
"Enggak usah, aku bisa sendiri!" Perempuan itu mencoba melepaskan dekapan Devan.
"Enggak usah belagak kuat."
Perempuan itu merengut kesal, tapi tetap saja dia mengikuti kemana Devan membawanya.
Devan mendekap tubuh mungil sampai ke kursi yang ada di teras supermarket tersebut, setelah itu Devan masuk ke dalam untuk membeli minyak urut. Sedikit banyak Devan mengerti cara memijat kaki yang keseleo, karena mending neneknya selalu mengajari hal itu.
Secara perlahan Devan memijat kaki perempuan itu, walau sesekali dia merintih. "Tahan, ya, aku bakal tarik."
Saat Devan tarik kaki perempuan itu, di situlah suara teriakan nyaring terdengar.
"Aaaaaaaaaaa ... "
Perempuan itu hampir saja menangis karena kakinya benar-benar sakit saat ditarik tadi, tapi beberapa detik setelahnya rasa nyeri itu sudah hilang.
"Gimana, enak?" tanya Devan.
Perempuan itu mengangguk. "Nama kakak siapa?"
"Devan Mahendra, panggil Dev aja, aku bukan kakakmu."
"Namaku Ara, panjangnya Chloe Xiomara."
"Ribet namanya."
Lagi-lagi perempuan itu memanyunkan bibirnya. "Bukan ribet, tapi cantik!"
Devan terkekeh pelan, kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga perempuan itu. "Kamu enggak cantik, tapi menarik dan enak dipandang."
Entah kenapa jantung Ara langsung berdetak dengan cepat saat suara Devan menyapa telinganya begitu dekat, ucapan Devan mampu menghipnotis Ara.
Suara perut Ara sangat terdengar jelas, rasa lapar itu kian menyiksa. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke dalam untuk membeli makanan yang bisa mengganjal.
Namun, langkah Ara tertahan saat tangan Devan menahan tangannya.
"Di sini ada kafe."
Ara yang masih mencerna ucapan Devan, kembali bertanya. "Buat apa?"
"Aku lapar."
"Ya udah makan aja."
Devan menggeleng. "Sekalian saya nafkahi cacing kamu yang sudah berdisko."
Devan langsung menarik Ara dari ke mobilnya, dan perempuan itu hanya pasrah, lagipula untuk anak kost sepertinya yang jauh dari orangtua, dapat makanan gratis adalah suatu keberuntungan yang patut disyukuri.
"Belum makan berapa abad?" tanya Devan saat melihat Ara yang makam dengan lahap. Bahkan, dia tidak seperti perempuan lain yang jaga image di depan laki-laki.
Ara mengendikkan bahunya, tapi asli dia benar-benar lapar karena dari pagi belum makan nasi sama sekali. Kuliah dan tugas padat membuatnya jadi lupa makan, apalagi enggak ada yang ingatin. Seenggaknya Ara harus punya pasangan yang ingatin jangan lupa makan. Ah, tapi Ara geli kalau mendengar kata-kata seperti itu, sangat klise.
"Itu makanannya kok enggak dimakan?" Ara langsung mengambil steak di piring Devan yang masih utuh. "Mubazir, buat aku aja."
Devan pun tidak melarang, karena sejujurnya dia tidak lapar, hanya kasihan dengan cacing-cacing Ara yang sudah berdisko.
"Kak Kim Taehyung," sapa seseorang yang baru saja muncul.
Devan masih ingat dengan anak ini, seseorang yang ia temui waktu itu dan mints digendong sampai sekolahannya.
"Aku Ratu, masih ingat?" tanya anak itu.1
Devan mengangguk. "Masih. Namaku Devan, panggil Dev aja." Devan memperhatikan seragam yang dipakai oleh Ratu sama seperti seragam karyawan di sini. "Kamu kerja di sini? Bukannya kamu masih SMP."
Ratu mengangguk. "Iya sebentar lagi kan mau masuk SMA, jadi buat tambah-tambah biaya sekolah sama biaya hidup aku jadi waiter di sini. Lumayah, Kak."
Devan kira, Ratu adalah anak SMP yang manja, tapi ternyata dia memiliki sikap yang jarang banget dimiliki oleh anak seusia dia.
Ratu memperhatikan cewek yang sedang makan dengan lahap di hadapan Devan. "Kakak ini pacarnya Kak Dev, ya?"
Ara yang mendengar pertanyaan itu, langsung tersedak, dan langsung meneguk segelas air putih yang ada di hadapannya.
"Kalian cocok kok. Kakaknya cantik," lanjut Ratu.
Devan terkekeh. "Tapi dia bukan pacarnya Kakak, maybe calon istri."
Ucapan Devan membuat Ara tersedak air putih yang sedang diminumnya.
"Ya udah, Kak. Ratu balik kerja lagi ya."
Sebenarnya anak di bawah umur itu dilarang bekerja, tapi entahlah karena kebutuhan juga yang mendesak Ratu untuk mencari biaya tambahan.
***