Hari pertama tinggal di Jakarta membuat Devan ingin kembali ke kota kelahirannya, Bandung. Baginya, Jakarta itu tidak baik untuk kesehatan fisik dan mental. Setiap hari harus menghirup asap kendaraan yang berterbangan, dan harus sabar dalam menghadapi kemacetan lalu lintas yang parah setiap pagi.
Namun, apa boleh buat tuntutan seorang ayah yang mengharuskan Devan untuk pindah ke Jakarta karena harus menemani Kejora yang memilih untuk kuliah di Jakarta. Sang ayah tidak mau Kejora tinggal sendiri di ibukota, apalagi sekarang Kejora telah memiliki kekasih yang memiliki otak m***m, takut terjadi apa-apa.
Setelah mengantar Kejora ke kampus, Devan langsung berangkat ke kantornya, hari ini hari pertama masuk kerja di kantor baru, jadi dia harus terlihat baik, terkadang pencitraan itu memang perlu agar orang-orang mengagumi diri kita. Bukan gila hormat, atau gila pujian, namun sejatinya manusia memang seperti ini. Tapi yang selalu Devan tekankan dalam hidupnya adalah, dipuji jangan terbang, dihina jangan tumbang.
Saat jalanan mulai lengang tiba-tiba ada seorang cewek berseragam putih biru, menyeberang tidak hati-hati, belum sempat Devan rem mobilnya, sudah terserempet duluan.
Devan menepikan mobilnya lalu melihat keadaan cewek itu yang lulut dan sikunya lecet.
"Kalau bawa mobil itu hati-hati dong!" omel cewek itu yang berusaha bangun sendiri, saat Devan ingin membantu tapi langsung ditepis. "Enggak usah."
Devan mengikuti langkah kaki gadis itu ke trotoar. "Mau diantar ke rumah sakit?"
"Enggak mau, Om ini udah tua tapi enggak bisa bawa mobil."
Devan heran dengan anak ini, dia yang menyeberang secara tiba-tiba, tapi dia yang marah, seharusnya Devan yang marah. Menurut Devan, dia ini calon emak-emak bawel, yang sen kiri, tapi belok kanan di masa depan.
"Terus kamu mau apa?"
"Gendong sampai ke sekolahan!"
"Hah? Kok? Kan kamu yang salah, kenapa kamu malah minta ganti rugi ke saya, kamu nyeberang buru-buru."
Cewek itu menghela napas. "Om gendong aku ke sekolah yang jaraknya 1 KM dari sini, atau aku nangis terus teriak kalau Om melakukan pelecehan seksual, biar digebuk masa!"
"Saya antar pakai mobil, ya."
"Enggak mau!"
Akhirnya Devan mengalah, dia langsung berjongkok dan membiarkan cewek itu naik ke punggungnya.
Sebenarnya ini hal biasa bagi Devan, karena dia sudah biasa menggendong Kejora, tapi yang jadi masalahnya adalah dia malu karena menjadi pusat perhatian. Abang-abang berdasi gendong anak SMP.
Berbeda dengan cewek itu yang seperti menikmatinya, dia mengalungkan tangannya ke leher Devan, dan wajahnya disenderkan ke pundak Devan.
Jarak 1 KM cukup menguras tenaga, akhirnya sampai juga di depan sekolahan tersebut. Cewek itu turun dari gendongan Devan dan tak lupa mengucapkan terima kasih karena sudah diantar.
"Om, nunduk deh, aku mau bisik sesuatu."
Devan pun mengikuti perintahnya, mendekatkan telinga ke mulut cewek itu. "Om ganteng, kayak idolaku, Kim Taehyung, aku suka."
Tanpa Devan sadari, cewek itu mencium pipi Devan dan langsung berlari.
Devan terkejut, anak SMP zaman sekarang ternyata seberani itu.
Sebelum benar-benar menghilang dari gerbang sekolah, dia berkata, "Makasih, Om, namaku Ratu." Setelah itu, dia benar-benar menghilang dari pandangan Devan.
Seulas senyum terukir di bibir Devan dan dia memegangi pipinya yang bekas dicium anak SMP tadi.
"Apakah ini namanya cium pipi pertama?" gumam Devan dengan senyuman yang masih melekat.
***
PT. Green Water adalah perusahaan yang dibangun oleh ayahnya Devan sejak selesai menempuh jenjang strata satu, kini perusahaan air mineral itu sudah memiliki cabang yang tersebar di hampir seluruh Indonesia, dan cabang yang di Jakarta saat ini dipercayakan kepada Devan untuk mengelolanya.
Para karyawan yang sudah tahu dengan kedatangan Devan, mereka memberikan sambutan yang hangat untuk bos barunya itu.
Beberapa perempuan secara terang-terangan mengagumi seorang Devan Mahendra, mereka memberikan senyuman yang merekah, namun hanya mendapat balasan senyuman tipis dari Devan. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian, apalagi semua orang mengagumi wajahnya. Itulah risiko memiliki wajah yang rupawan dan juga mapan.
Devan menghentikan langkahnya, ia menoleh kepada seorang perempuan yang ber-make up tebal, lipstik merah merona, dan rok span yang 7 cm di atas lutut, serta kemeja yang ketat.
"Kamu ...," panggil Devan.
Perempuan itu tersenyum bahagia, lalu melangkah ke arah Devan. "Saya, Pak?"
"Kamu dari divisi apa?"
"Saya Rinda, dari divisi finance, Pak."
Devan tetap menampilkan wajah datarnya. "Mulai besok jangan pernah pakai pakaian seperti itu, yang sopan, dan juga wajah kamu jangan dibuat kayak badut seperti itu." Devan seperti menghirup bau yang menyengat. "Dan pakai parfum enggak usah sebotol, saya mau pingsan."
Setelah mengatakan seperti itu, Devan meninggalkan Rinda yang menahan malu. Pascanya, sekarang dirinya menjadi tontonan dan mereka semua menertawai Rinda.
Ish, kesel, padahal gue sengaja dandan kayak gini karena tahu ada bos ganteng yang datang hari ini. Gue kira dia suka cewek seksi kayak gue.
Devan memasuki ruangannya yang cukup luas, difasilitasi AC, kamar mandi dalam, dan ruang tidur yang nyaman, kurang lebih seperti sedang berada di dalam hotel. Ia pun segera menduduki kursi kebesarannya dan mengecek beberapa email yang masuk.
Seorang perempuan yang bernama Wulan, yang diketahui sekretaris itu masuk ke dalam ruangan Devan.
"Permisi, Pak, jam 9 nanti ada rapat dengan para karyawan untuk membahas kebijakan baru di perusahaan ini."
Devan mengangguk, karena sang ayah sudah memberitahu hal itu dan tentu saja Devan sudah mempersiapkannya dengan baik.
"Pak, nanti ada karyawan magang yang mau interview."
"Atur lain hari, saya banyak kerjaan."
Wulan mengangguk, setelah itu dia keluar dari ruangan Devan.
***
Setelah memastikan pakaiannya rapi. Gadis berambut pendek itu keluar dari kost, dan mengunci pintu dengan rapat.
Kang ojol sudah siap mengantar gadis itu ke tempat tujuan, menembus matahari yang sudah meninggi, dan menyelip jalanan Jakarta yang masih padat merayap.
Motor itu pun sudah sampai di depan kantor yang menjadi tujuannya, tak lupa gadis itu memberikan tip kenapa driver tersebut, meski sudah membayar lewat aplikasi.
Gadis itu langsung masuk dan menemui resepsionis. "Pagi, saya Chloe Xiomara ingin bertemu dengan Ibu Nayla bagian HRD."
Petugas resepsionis yang bername tag Mawar itu pun langsung menghubungi seseorang di seberang sana. Setelah selesai, dia langsung berkata kapada gadis itu. "Tunggu sebentar ya, lagi ada rapat direksi."
Gadis itu langsung duduk di sofa, dia mengeluarkan ponselnya untuk bermain game cacing yang bisa mengusir rasa bosan.
Tak lama kemudian, staf HRD yang bernama Nayla itu menemui gadis itu.
"Chloe Xiomara?" Tangan Nayla terulur, kemudian gadis itu membalas ulurannya.
"Iya biasa dipanggil Ara."
"Oke, Ara. Langsung ke ruangan saya aja."
Kedua perempuan itu langsung ke ruangan. Ara duduk di depan Nayla, ada perasaan deg-degan, tapi dia mencoba untuk rileks, ini adalah pengalaman pertamanya duduk di hadapan HRD untuk interview.
Nayla membaca berkas lamaran yang diberikan oleh Ara dengan saksama, kemudian berkata, "Coba jelaskan diri kamu."
Ara menarik napas pelan. "Perkenalkan nama saya Chloe Xiomara, biasa dipanggil Ara, sebentar lagi beranjak 19 tahun, saat ini saya sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Jakarta, jurusan manajemen."
"Baru mau 19 tahun, tapi udah semester 6?"
"Iya, Bu, karena saat SMP dan SMA saya ikut program akselerasi, jadi kecepatan masuk kuliah."
"Magang ini memang dari kampus atau keinginan sendiri?"
Ara tetap tersenyum, meskipun wajah Nayla terkesan serius. "Iya wajib dilakukan oleh mahasiswa semester 6, ini adalah salah satu syarat kelulusan, dan untuk tempat magangnya ditentukan oleh masing-masing individu."
"Berarti kamu lamarnya di bagian finance, ya?"
"Iya, Bu, karena konsentrasi yang saya ambil adalah keuangan."
Nayla mengangguk. "Saya tidak ingin terlalu banyak tanya, dari transkrip nilai yang saya lihat, nilai-nilai kamu bagus, IPK-nya juga 3,98. Curriculum vitae kamu oke, banyak kegiatan organisasi yang kamu ikuti, dari look kamu juga menarik."
Ara menghela napas lega mendengar ucapan Nayla yang seakan memberikan nilai positif.
"Dari saya oke, tapi kamu harus menjalankan interview ke dua sama atasan saya. Semua keputusan ada di dia."
Ternyata Ara belum bisa bernapas lega karena ada interview dengan atasan pasti akan lebih menegangkan.
Setelah itu Ara pamit kepada Nayla.
***