Mereka semua masuk ke dalam rumah. Lingga duduk di teras rumah yang sejuk. Lingga menjaga agar jangan sampai tertidur.
Stella, Ria, dan Indri membawa Steve ke dalam kamar tidurnya.
"Ibu berharap kalian bisa tidur satu kamar. Ibu mohon, perlakukan Ria sebagaimana seorang istri seharusnya. Temani Ria saat pergi terapi. Ria ini penulis on line. Dia penulis ekslusif dengan penghasilan besar. Kamu jangan merendahkan dia. Ria sudah jadi sarjana. Istri menurut bukan berarti tidak punya keinginan."
"Iya, Bu."
Stella, Indri, dan Ria saling tatap. Steve benar-benar berubah. Dulu Steve tidak pernah mengiyakan permintaan ibunya tentang Ria.
"Tuan muda, Nyonya, ada Tuan Besar dan Nyonya Ine."
"Ayo kita ke luar." Stella mengajak mereka ke luar menemui Farid dan Ine.
"Steve. Syukurlah sudah pulang. Aku senang melihat kamu tampak sehat." Ine mendekati Steve. Lalu ingin memeluk Steve. Steve mundur ke belakang Ria yang duduk di kursi roda, menolak untuk di peluk Ine.
"Ada apa, Steve?" Ine memberi tatapan tidak suka karena Steve berusaha menghindarinya.
"Tidak apa-apa. Aku hanya merasa tidak terbiasa." Steve menjawab dengan cepat.
"Sudahlah Ine, dia sedang amnesia. Dia lupa segalanya. Kita yang harus memahami dia." Stella mengingatkan Ine kalau Steve amnesia.
"Oh iya. Aku lupa."
"Ayo kita makan siang. Kata Bibi makan siang sudah siap." Indri mengajak mereka makan siang sama-sama.
Steve mendorong kursi roda Ria menuju ruang makan. Kemudian memindahkan Ria ke kursi makan. Dengan cara membopong Ria. Semua orang menatap Steve dengan terkejut. Bahkan Ria juga merasa terkejut.
"Jangan dimanjakan begitu, Steve. Ria harus bisa mandiri!" Ine terlihat tidak senang dengan perlakuan Steve kepada Ria.
"Aku tidak ingat bagaimana cara aku memperlakukan dia. Aku hanya ingin mempermudah saja. Apa itu salah?" Steve balas menatap Ine yang duduk di seberangnya. Stella, Indri, dan Ria terkejut mendengar sahutan Steve pada Ine. Mereka berdua tidak pernah berdebat, bahkan seperti teman akrab. Steve seperti ayahnya memanjakan Ine.
Ine Seruni, usia empat puluh tahun. Janda yang setelah bercerai tinggal di rumah saudaranya, Meisita Kirana, usia 45 tahun. Meisita meninggal karena sakit. Suami Meisita adalah Median Hananfi, usia 55 tahun. Median mengalami kecelakaan pagi hari saat mengantar Ria kuliah, rencananya setelah mengantar Ria, lalu lanjut ke kantor. Median dan Ria mengalami kecelakaan. Median meninggal di tempat. Ria selamat, meski kakinya lumpuh. Setelah kejadian itu, Ine yang menguasai perusahaan Meidian. Sementara Ria masih bisa melanjutkan kuliahnya.
Setahun lalu, Ine bertemu dengan Farid. Tumbuh rasa cinta di antara mereka. Enam bulan kemudian mereka menikah. Setelah dua bulan menikah, Farid dan Ine meminta agar Steve menikahi Ria. Steve setuju. Sehingga mereka pindah ke rumah yang dibangun di belakang rumah utama. Ine satu rumah. Ria satu rumah. Rumah orang tua Ria dijual pada Paman Ine.
Sejak Ayahnya meninggal dan dirinya lumpuh, Ria tidak banyak bicara, menurut saja apa kata tantenya. Karena Ria tidak memiliki siapa-siapa untuk tempat berlindung. Ine juga tidak terlalu jahat kepada Ria.
"Tidak salah! Tapi jangan dibiasakan dibantu. Dia harus mandiri. Kalau terus dibantu akan menyusahkan kamu sendiri." Ine sangat terus terang kalau bicara.
"Sudahlah. Jangan bertengkar. Sebaiknya kita makan." Stella meminta agar tidak dilanjutkan.
Mereka makan siang sambil mendengarkan cerita Ine tentang perjalanan ke luar negeri. Steve merasa Ine seperti menguasai semua orang. Ine seperti istri tua yang paling dicinta. Dua ibu menanggapi cerita Ine dengan berbagai pertanyaan. Steve tidak melihat kecemburuan dari kedua ibu. Mereka tampak santai saja mendengar cerita Ine. Sedang Ria, hanya diam saja.
"Kamu mau tambah?" Tanya Steve pada Ria saat melihat piring Ria sudah kosong.
"Tidak." Kepala Ria menggeleng.
"Pantas saja badan kamu kecil. Kamu makan sedikit sekali," gumam Steve.
"Badannya kecil itu karena keturunan. Badan ibunya juga kecil." Suara Ine menunjukan tidak suka dengan perhatian Steve kepada Ria. Badan Ibu Ria memang lebih kecil dari Ine, karena mereka saudara tiri.
"Ine. Pembicaraan suami istri tidak usah dicampuri." Stella menegur Ine.
"Bicaranya di depan kita. Wajar kalau ikut bicara, karena aku tahu bagaimana ibunya Ria."
Ine tidak suka ditegur jika ia merasa benar.
"Sudahlah. Cepat habiskan makan kalian. Setelah ini kamu istirahat Steve. Kamu libur dulu. Aku juga akan meliburkan Lingga beberapa hari. Biar dia bisa istirahat dan jalan-jalan. Kasihan dia hampir tidak pernah libur." Stella sudah mengambil keputusan. Farid setuju dengan ucapan Stella.
Farid mengambil ponsel lalu mentransfer ke rekening Lingga. Kemudian Farid menelepon Lingga yang sedang makan siang di dapur bersama ART di rumah itu.
"Lingga. Aku sudah mengirimi kamu uang. Kamu diberi libur lima hari. Kamu bisa liburan. Masuk lagi hari Senin depan. Mengerti!" Suara Farid tegas, artinya tidak mau dibantah.
"Baik, Tuan. Saya mengerti." Lingga menurut saja.
"Kamu bisa pulang sekarang. Tidak perlu pamit."
"Baik, Tuan. Terima kasih."
Lingga tidak berani banyak bicara dengan Farid. Nanti ia bisa menelepon Steve. Saat ini Steve sekeluarga sedang makan siang. Lingga sebenarnya lebih senang bekerja daripada libur. Tapi karena perintah, Lingga terpaksa libur.
"Apa kata Lingga?"
"Terima kasih."
"Kamu tidak apakan ditinggal Lingga beberapa hari?" Stella bertanya pada Steve.
"Tidak apa. Ada Ria yang bisa menemani aku." Steve menatap ke arah Ria.
"Apa yang bisa dilakukan Ria? Kalau kamu perlu teman, telepon saja aku. Aku bisa menemani kamu."
Steve terkejut mendengar ucapan Ine itu. Steve belum mengerti bagaimana sebenarnya hubungan orang-orang di keluarga ini. Steve merasa dibalik keadaan yang baik-baik saja, ada sesuatu yang tersembunyi.
*