Pada malam hari, Ruby mengalami insomnia. Setelah berbaring selama dua jam di tempat tidur, dia sama sekali tidak bisa memejamkan mata dan menjelajahi dunia kapuk. Dia terus berguling ke kiri dan ke kanan, menyalakan lilin aromaterapi dan bahkan memejamkan mata secara paksa, namun tidak satu pun berhasil membuatnya tertidur.
Semua itu karena dia tidak bisa berhenti berpikir tentang hadiah ulang untuk Azure.
Mengerang frustasi, Ruby bangkit dan mengacak rambutnya. Menoleh pada jendela yang masih memperlihatkan sedikit cahaya bulan yang mengintip dari balik tirai.
Setelah berpikir lagi selama beberapa saat, Ruby akhirnya meraih jubah tidur dan penutup mata di kepala ranjang dan berjalan ke arah pintu sambil mengikat tinggi rambutnya. Tetapi sebelum dia membuka pintu, Ruby berbalik lagi dan ke dalam kamar, berkutat di depan lemari selama beberapa saat sebelum akhirnya membawa sebuah gaun ke kamar ganti.
Malam itu, adalah giliran Hawk dan Max untuk berjaga malam, keduanya berdiri tegak seperti patung armor sambil memegang tombak panjang di tangan mereka.
Di koridor sepi itu, suara pintu terbuka terdengar begitu jelas, terlebih di kedua telinga mereka yang memang harus terus waspada. Jadi ketika keduanya menoleh ke arah suara, mereka melihat Ruby keluar dari kamarnya dan menuju ke arah mereka.
"Yang Mulia sudah tidur?" tanya Ruby pelan begitu dia tiba di depan pintu.
Hawk melihat lampu yang masih menyala terang di celah bawah pintu. "Belum," jawabannya. Sebenarnya mereka juga masih bisa mendengar gerakan Azure yang membalik kertas, seharusnya Ruby juga bisa mendengar dan hanya bertanya sebagai bentuk kalimat basa-basi untuk menyapa mereka.
Ruby mengangguk mengerti, rambut panjangnya yang terikat longgar mengikuti gerakan kepalanya. "Aku punya pesan yang harus kalian sampaikan kepada Yang Mulia." Ruby menyodorkan lipatan kertas ke arah Max yang posisinya paling dekat dengannya. "Berikan padanya setelah aku sudah pergi."
Max dan Hawk saling melirik tidak mengerti tapi masih mengangguk bersamaan. "Baik."
Ruby merasakan rasa malu mulai menjalar dan membuat wajahnya perlahan memanas, jadi dia dengan cepat meninggalkan tempat itu sambil memeluk jubahnya dengan erat.
Di dalam ruangan, Azure sedang menopang dagu, memboak balik lembaran kertas di tangannya tanpa repot-repot untuk membaca. Sesekali melirik ke arah pintu lalu menghela napas pelan ketika yang dia tunggu tak kunjung datang.
Ketika Azure berpikir bahwa Ruby tidak akan datang, ketukan terdengar dari pintu. Dengan senyuman lebar, Azure seketika itu berdiri dan berjalan dengan cepat untuk membuka pintu. Namun yang menunggu di balik pintu bukan seseorang yang dia tunggu sejak tadi.
Senyuman Azure seketika membeku, dia melirik ke arah pintu kamar Ruby yang masih tertutup rapat dan bertanya. "Ada apa?"
Di bawah tatapan Azure yang seperti itu, Hawk dan Max meluruskan punggung dan berdiri tegak. "Nona Ruby punya pesan untukmu Yang Mulia."
"Pesan? Pesan seperti apa?" Seolah rasa tidak senang sebelumnya tidak pernah ada, Azure merubah raut gelap sebelumnya menjadi senyuman.
"Uh... Nona Ruby memberikan ini." Max menyerahkan kertas yang sebelumnya mereka terima dari Ruby.
Azura menerima surat itu lalu menutup pintu, sebelum Hawk dan Max kembali ke posisi mereka sebelumnya, Azure telah membuka pintu lagi dan keluar dengan jubah tidur yang lebih tebal.
"Tidak perlu mengikutiku." Azure melambaikan tangan ke arah Max dan Hawk yang terlihat ingin mengikutinya.
"Tapi Yang Mulia, Nona Ruby mengatakan kami tidak boleh membiarkanmu berjalan sendirian." Max tau, jika dia mengatakan kalimatnya tanpa nama Ruby, Azure pasti tidak akan peduli. Dan sesuai dugaan, Azure mengangguk tanpa banyak berpikir.
Di awal kedatangan Ruby ke istana, dia sama sekali tidak tau menulis satu kata pun, dia hanya tahu caranya membaca tapi tidak dengan menulis. Semua itu terjadi karena Luna hanya sempat mengajarinya mengenali huruf tapi belum sempat mengajarinya menulis. Jadi selama Ruby di dalam hutan, dia hanya belajar cara membaca dan menggambar benda di sekitarnya, sedangkan menulis baru dia pelajari setelah dia datang ke istana.
Sekarang, Ruby sedang di landa kecemasan. Dia berjalan bolak balik di dalam menara sambil menggigit bibirnya. "Apakah dia bisa membaca pesannya?" tanyanya pada diri sendiri.
Kecemasannya bukan tanpa alasan, pasalnya hampir tiga puluh menit sejak dia menunggu di atas menara, Azure tidak kunjung datang, sedangkan dari sayap kanan kastil ke menara hanya membutuhkan beberapa menit perjalanan. Berbeda dengan bagian sayap kiri kastil yang terletak sedikit lebih jauh dari menara. Sedangkan Max dan Hawk tidak mungkin menunggu terlalu lama untuk menyerahkan suratnya kepada Azure apalagi lupa.
"Apakah dia masih marah jadi tidak ingin datang?" Ruby menatap ke arah pintu yang masih tertutup rapat. "Aku seharusnya mengajaknya langsung," erangnya pelan lalu memakai penutup matanya dan berjalan ke arah pintu.
Jika Azure menolak datang, Ruby berpikir untuk menari di kamar Azure saja hingga amarah pria itu reda.
Tapi sebelum Ruby membuka pintu, telinganya yang waspada sejak tadi mendengar langkah kaki yang mendaki anak tangga menara, hanya sekilas Ruby langsung tau bahwa langkah berat dan sedikit terburu-buru itu milik Azure.
Ruby menarik kembali tangannya yang menyentuh gagang pintu dan kembali ke tempatnya semula dengan senyum tipis di bibirnya.
Tak lama kemudian, Azure masuk ke dalam ruangan dengan bau semerbak yang langsung memenuhi udara dari tubuhnya. "Ruby, maaf membuatmu menunggu lama," ujarnya dengan nafas terengah-engah, lalu melepas jubah bulunya dan menggantungnya pada tiang gantungan di sisi pintu.
Ruby melirik jubah bulu di gantungan dan bergumam. "Hn, tidak apa-apa."
Hanya dengan mencium bau parfum yang melekat, Ruby tau siapa yang baru saja menghambat kedatangan Azure.
Meski tau dia tidak berhak marah, Ruby tidak bisa mencegah suasana hatinya yang seketika turun ke titik terendah tapi dia masih harus tersenyum.
Azure berdecak pelan sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena angin. Dia tidak tau bagaimana Chloe, selir keempatnya bisa tau bahwa dia sedang menuju ke menara dan menghadangnya di tengah jalan lalu menjadikan alasan mimpi buruk untuk menahannya.
Tentu saja Azure tidak akan termakan kebohongan itu. Jika memang mimpi buruk dan ketakutan, bagaimana bisa gadis itu berani berjalan di koridor istana seorang diri meninggalkan kamarnya sejauh tiga ratus meter dan bertemu dengannya secara kebetulan.
"Ada apa? Kau terlihat tidak senang."
Pertanyaan Ruby membuyarkan lamunan Azure, dia mendongak ke arah Ruby dan menceritakan apa yang baru saja terjadi dalam perjalanannya ke menara.
"Bagaimana dia bisa tau kau meninggalkan kamar pada tengah malam?" tatapan Ruby berubah d menjadi dingin, dia jelas telah menampatkan Azure pada kondisi teraman, namun dengan kejadian ini, jelas bahwa benteng yang dia bangun masih belum cukup kuat.
Azure mengendikkan bahu tidak tau kemudian berjalan menghampiri Ruby.
Cahaya bulan memancar cerah dari pintu balkon yang terbuka lebar, memperlihatkan langit biru gelap dengan bulan penuh yang tampak menggantung rendah.
Ruby saat ini mengenakan gaun silver dengan gradasi berwarna lilac di bagian bawah rok dan ujung lengan bajunya yang lebar. Dengan berdiri di tengah ruangan yang memiliki pancaran cahaya bulan purnama paling banyak, menyebabkan penampilan Ruby terlihat memiliki lingkaran cahaya perak yang tidak nyata.
"Jangan terlalu memikirkannya, sekarang yang perlu kau pikirkan hanya gerakan tarian yang harus kau perlihatkan padaku." Azure mengikat rambut sebahunya agar angin yang berhembus dari balkon tidak mengacak-acak rambutnya.
"Uhm, baiklah." Ruby mengangguk, namun di dalam hati telah mencatat nama selir keempat Azure untuk di selidiki.
Saat Azure duduk di sofa, Ruby memulai tariannya dan meliuk-liuk di bawah cahaya bulan dengan anggun. Karena Ruby tidak bisa mengundang pelayan seni untuk bermain musik di tengah malam, Ruby memilih tarian tanpa musik dan menggunakan lonceng kecil di gelang kaki dan tangannya untuk menciptakan beberapa suara.
Tarian Ruby sangat indah, berpadu dengan penampilannya, siapa pun yang menonton pasti akan memberik tepuk tangan dan pujian. Tapi sebaliknya, Azure justru sangat tidak senang, semakin lama dia melihat, kerutan di keningnya semakin bertambah, hingga dia tidak tahan dan menyuruh Ruby berhenti.
Ruby bertanya. "Ada apa?"
"Ruby, tarian apa yang baru saja tarikan?" tanya Azure.
Ruby mengingat nama tariannya dan menjawab. "Tari lonceng."
Azure bertanya lagi. "Dari mana asalnya?"
Ruby tidak tau mengapa Azure tiba-tiba tertarik dan bertanya banyak tentang tarian. "Dari kota Bania, aku mendengar bahwa tarian ini cukup populer dan bisa di tarikan tanpa alat musik. Jadi aku memilihnya di antara banyaknya jenis tarian lain."
Azure menghela napas dan memijat pangkal hidungnya. "Ruby, yang ingin aku lihat adalah tarianmu, milikmu dan hanya bisa di tarikan olehmu."
Angin berhembus dari pintu, sedangkan binatang malam dari hutan dekat kastil terdengar dengan jelas.
Azure menatap mata Ruby dengan iris gelapnya. "Iringan seruling, angin malam, dan cahaya bulan. Aku benar-benar ingin melihatmu menari sebebas dulu tanpa meniru tarian lain."
Bersambung...