Istana Dingin

1154 Kata
Istana dingin adalah bangunan tunggal yang di dirikan di tengah-tengah danau luas di belakang istana, berukuran kecil dan hanya berisi tempat tidur dan sepasang meja dan kursi. Dinding, lantai hingga atapnya terbuat dari batu yang dingin sedangkan di dalamnya tidak memiliki perapian yang bisa menghangatkan suhu di dalam ruangan.   Istana itu berdiri di atas sebuah pulau kecil yang di kelilingi air danau yang dalam, hanya melihatnya dari jauh orang-orang akan merasakan betapa dinginnya tempat itu.   Istana dingin adalah tempat di mana biasanya para wanita istana mendapatkan hukuman, mereka akan di isolasi di sana selama berhari-hari untuk merenungi kesalahan yang mereka lakukan hingga nyaris membeku dan kelaparan.   Dan di sanalah Ruby duduk, memandang air danau dari jendela kecil yang terletak di samping tempat tidur. Permukaan air bergelombang, angin dingin berhembus masuk ke dalam ruangan, menggerakkan rambutnya yang tergerai panjang ke lantai. Pakaiannya yang tipis bergerak seiring terpaan angin, melekat di tubuhnya dan membuat suhu di dalam ruangan itu semakin dingin.   Dua hari yang lalu Raja Alfred dan Ratu Sophia mengasingkannya ke istana dingin sebagai hukuman atas ketidakpatuhannya terhadap Raja dan Ratu juga karena kelalaiannya menjaga kesehatan Putra Mahkota.   Dua hari, tanpa makan dan minum. Namun, Ruby bukan gadis bangsawan yang hanya akan duduk meratapi nasib ketika mendapatkan hukuman. Alih-alih duduk diam menunggu pembebasan, Ruby memilih untuk menyamankan diri di dalam istana dingin.   Saat lapar, dia akan keluar dari ruangan dan berusaha untuk menangkap ikan dan ketika haus dia akan menyaring air dari danau.   Satu-satunya yang menyiksa Ruby adalah suhu dingin di dalam rumah itu yang sangat rendah, bahkan mengalahkan dinginnya rumah gua yang dia miliki di Dark Forest. Dan juga...   Ruby menunduk menatap penutup matanya, melihat jemarinya yang sedingin es dan uap tipis yang keluar dari bibirnya ketika di menghela nafas.   Istana dingin ini sangat mengingatkan Ruby dengan penjara gelap dan dingin yang pernah mengurungnya bertahun-tahun. Dingin, lembab dan sepi. Satu-satu yang membuat Ruby lega adalah, karena istana dingin ini setidaknya tidak mengurungnya sepenuhnya, dia masih bisa keluar berjalan-jalan di depan danau dan melihat matahari tenggelam dari jendela.   Setidaknya kebebasan kecil itu membuatnya sedikit merasa lebih baik.   Malam hari menghampiri, ketika suhu semakin rendah, Ruby samar-samar mendengar suar percikan air dari dayung yang mendorong perahu, terdengar mendekat ke arah pulau tempat dia berada.   Ruby menggerakkan telinganya untuk mendengar lebih dekat dan menghitung jumlah perahu yang mendekat. Semakin lama Ruby mendengar, dia menyadari bahwa pengunjungnya kali ini lumayan banyak. Sekitar lima perahu dengan masing-masing 3 pria dewasa di atasnya.   Mengunjungi seorang gadis di dalam penjara di malam hari dengan aura membunuh tentu bukan hal yang baik dan juga Ruby menyadari bahwa napas orang-orang ini sangat asing.   Meski begitu, Ruby masih duduk dengan tenang di posisinya semula tanpa bergerak, hanya mengetuk-ngetukkan jarinya beberapa kali di atas meja dan dari jendela melesat delapan pisau yang langsung tergeletak di hadapannya, memenuhi panggilan tuannya. Sedangkan pedang panjangnya Runa masih tersegel di dalam istana, terikat oleh rantai di dalam sebuah ruangan dan tidak bisa memenuhi panggilan Ruby.   Beberapa meter sebelum mencapai pulau kecil itu, para pengunjung itu melompat dari perahu mereka dan mendarat di sekeliling istana dingin tanpa suara dan mengamati sekitar dengan hati-hati.   Di saat yang bersamaan, Ruby memasang penutup matanya. Karena Ruby memang hanya menyalakan satu lampu minyak di atas meja, bayangannya yang sedang duduk tenang di dalam ruangan terlihat melalui celah pintu di mana salah satu pengunjung yang mengamati situasi.   Pria tinggi yang memastikan keberadaan Ruby di dalam ruangan memberi aba-aba dengan tangannya ke arah para rekannya.   Lima orang naik ke atas atap dan mencari celah di antara atap batu, lima lain berlari ke arah jendela yang terbuka sedangkan sisanya tetap siaga di depan pintu.   Kelompok pertama yang menyerang adalah kelompok yang menyerang melalui jendela, mereka langsung mengibaskan pedangnya begitu mereka melompat satu persatu ke atap jendela.   Ruby yang awalnya masih duduk tenang langsung melompat mundur. Pedang yang penyerang pertama kibaskan langsung menancap di atas meja sedangkan pedang kedua langsung membela meja itu menjadi dua dan menjatuhkan lampu minyak ke lantai.   Setelah serangan pertama dan kedua gagal, tiga pria lainnya melompat masuk dan menyerang secara bersamaan ke arah Ruby tanpa kata.   Ruby menggenggam masing-masih pisau hunternya di kedua tangan dan melakukan perlawanan dengan tiga pria lainnya, tak lama kemudian dua penyerang pertama juga masuk ke dalam pertarungan dan mengelilingi Ruby yang berada di tengah-tengah mereka.   Pedang berdesing dan saling bertubrukan menciptakan suara nyaring yang terdengar hingga keluar ruangan. Ranjang patah dan kursi rusak karena menjadi tempat pendaratan bebas pria yang Ruby jatuhkan. Namun pria yang jatuh akan berdiri kembali tanpa peduli beberapa luka menganga di tubuh mereka.   Ruby secara perlahan jatuh ke posisi yang tidak menguntungkan karena yang dia hadapi adalah lima pedang panjang sedangkan pisau hunternya sangat kecil untuk berhadapan dengan pedang mereka. Jadi Ruby memindahkan semua pisau hunternya ke tangan kiri lalu menggunakan tangan kanannya untuk mengendalikan empat pisau hunter lainnya dan menjadi perisainya untuk menghadang beberapa serangan yang tidak sempat dia halangi.   Lima pria yang menyerang jelas terkejut dengan empat pisau terbang yang pertama kali mereka lihat dan sedikit menciptakan celah bagi Ruby untuk langsung membunuh empat dari lima orang itu dengan menancapkan empat pisau hunternya yang mengambang di udara di titik vital mereka.   Satu yang tersisa, menghadapi Ruby satu lawan satu jelas terkejut dengan kekalahan rekannya dan langsung bersiul dan lima musuh lainnya masuk ke dalam Ruangan.   Sedangkan lampu minyak yang tadinya tergeletak jatuh di lantai mulai membakar meja kayu dan pecahan kursi di sekitarnya, lalu mulai menjalar ke segala sisi ruangan.   Tak lama kemudian ruangan itu di penuhi oleh asap berbaur dengan bau amis darah.   Lima penyerang lain yang melihat asap tebal mulai keluar dari jendela menyadari bahwa ada yang tidak beres melompat masuk ke dalam Ruangan dan terkejut dengan darah kental yang telah mengental di lantai dengan delapan mayat rekan mereka yang telah kehilangan nyawanya.   Pemimpin tim yang baru saja masuk menggeram marah namun dengan cepat menyesuaikan emosinya dan berkata dengan suara serak. “Bunuh dia, apa pun yang terjadi. Bahkan jika kita harus mati terbakar bersamanya. Dengan begitu empat dari kelompok yang terakhir mendapat perintah maju dan membantu dua rekan mereka yang sedang bertarung mati-matian dengan Ruby, sedangkan pemimpin mereka membakar beberapa panah api dan menutupi ruangan itu dengan api.   Hingga Ruby berdiri berhadapan dengan pemimpin penyerang itu, suhu ruangan sangat panas hingga kulit Ruby mulai memerah sedangkan asap telah memenuhi ruangan, oksigen semakin sulit di dapat dan Ruby terbatuk sesekali.   “Ruby, Kau seharusnya tetap berada di tempat persembunyianmu dan jangan pernah keluar, dengan begitu kehidupanmu yang nyaman akan sedikit lebih panjang.” Pria itu terbatuk sejenak namun masih berdiri tegak meski oksigen di dalam ruangan semakin menipis. “Kau mencampuri urusan kerajaan dan menggagalkan rencana kami, maka bayaran yang haru kau terima adalah kematian yang datang lebih awal.”   Ruby terdiam, menutup mulutnya dengan lengan baju sedangkan di sekitarnya api telah sepenuhnya memenuhi Rumah itu, di segala sudut, api telah menyala dan menutup rute pelarian mana pun. Namun ketika beratnya, suara Ruby sangat tenang. “Kau mengenalku?”     Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN