“Ibu tenanglah.” Azure berdiri dan mencegah ibunya yang beranjak hendak keluar dari ruang makan.
“Kenapa kita harus tenang, jika kau menemukan seseorang yang bisa menyembuhkanmu, maka kita harus menyambutnya dengan meriah. Bagaimana bisa kau bahkan tidak memperkenalkannya padaku?” Ratu Sophia sangat bahagia sehingga matanya memerah. Tubuh Azure yang lemah selalu menjadi duri di dalam hatinya, setiap kali Azure sakit dan tidak seorang pun tabib yang bisa menyembuhkannya, dia selalu merasa ada sebuah pisau tajam yang mengiris hatinya dan sekarang Azure mengatakan bahwa seseorang bisa saja mengobati penyakitnya, dia menjadi sangat bersemangat hingga gemetar.
“Ibu, selama bertahun-tahun, dia hidup sendirian di hutan. Jika kau menemuinya sekarang dengan reaksi seperti itu, ibu akan menakutinya.” Azure menarik tangan ibunya dan menuntunnya untuk duduk kembali. Dia pun tahu bagaimana perasaan ibunya. Bagaimana pun kebahagiaan untuk memiliki tubuh yang sehat sangatlah mendebarkan.
“Ratuku, tenanglah. Bukankah kau harus mempersiapkan banyak hal jika bertemu dengannya? Jangan menemuinya dengan tangan kosong.”
“Ah kau benar.” Ratu memukul pahanya dengan pelan lalu mulai berpikir keras tentang apa yang harus dia bawa untuk menyambut penyelamat putranya. “Apa yang harus aku hadiahkan untuknya? Perhiasan? Pakaian atau uang?”
Azure menghela napas “Ibu hanya perlu membawa beberapa makanan, dia pasti lebih suka itu.”
Ratu Sophia menyadari bahwa jika perkataan Azure benar, Gadis itu tumbuh tanpa orang tua, maka yang paling dia butuhkan adalah kehangatan sedangkan harta hanyalah benda yang dingin.
Ratu Sophia mengangguk “Baiklah, kapan aku bisa menemuinya? Di mana dia sekarang? Apa kau sudah mempersiapkan ruangan yang layak untuknya?” tanyanya beruntun.
Azure berdehem pelan. “Aku ingin dia tinggal di kastilku.”
Raja Alfred mengangkat alis “Kau ingin menikah?”
Ratu Saphira langsung berbinar.
“Tidak, Aku ingin dia menjadi tabib pribadiku.” Azure menatap ayahnya serius. “Secara resmi. Maksudku... Ayah, dia butuh identitas untuk bisa tetap tinggal di sini.”
Raja Alfred ber-oh ria namun tidak bisa menyembunyikan sedikit kekecewaan di hatinya “Baiklah, aku akan membuat dekrit secepatnya.”
“Terima kasih Ayah.”
Raja alfred hanya tersenyum lembut dan membelai tangan istrinya.
***
Ruby tetap di asrama selama beberapa hari, dan tidak bertemu Azure selama itu. Hanya Boo yang sesekali datang berkunjung dan membawakan banyak hal padanya.
Hingga menjelang di hari kelima, asrama menjadi gempar karena kedatangan Demien beserta beberapa rombongan di belakangnya, yang paling menonjol adalah kasim raja yang membawa Dekrit kerajaan di tangannya.
Para prajurit mulai ribut dan bertanya-tanya tentang siapa yang akan naik jabatan atau mendapatkan kabar baik hingga berkerumun di depan asrama. Namun tanpa di sangka Ruby dan Boo tiba-tiba keluar dari gedung dan berlutut di hadapan rombongan itu.
Hal itu membuat semua orang tercengang. Kedatangan Ruby di asrama beberapa hari yang lalu cukup menarik perhatian meski pun gadis itu tidak banyak memperlihatkan dirinya di hadapan umum, namun berita tentang dia adalah gadis yang secara pribadi di bawa pulang oleh Putra Mahkota, banyak orang berpikir bahwa dia akan menjadi selir baru Pangeran Azure.
Namun lima hari berlalu dan gadis itu masih tetap di asrama tanpa ada kunjungan dari pangeran, banyak orang yang mulai mencemooh dan berpikir bahwa dia adalah gadis yang di tinggalkan begitu saja. Tapi kenyataan hari ini seolah menampar mereka.
Kasim yang membawa Dekrit dari Raja itu membuka gulungan kertas di tangannya dan mulai membaca isi dekrit itu dengan lantang, di sana sangat jelas bahwa Ruby akan di berikan tugas khusus untuk merawat Putra Mahkota dan mendapatkan gelar tabib eksklusifnya.
Tabib?
Tidak ada yang menyangka bahwa gadis buta yang selalu mereka remehkan adalah seorang tabib.
Sesuai yang di ajarkan Boo, Ruby menerima gulungan itu dan membungkuk dalam dan menyerukan kalimat sanjungan untuk yang Mulia Raja, kemudian berdiri kembali begitu para pengantar Dekrit berbalik pergi.
“Kau melakukannya dengan sangat baik.” Boo mengacungkan jempolnya dengan senyuman lebar.
“Apa ini artinya aku seorang tabib sekarang?”
“itu benar, hebat sekali bukan? Hanya dalam beberapa hari, kau sudah mendapatkan titlemu sendiri”
“Tapi keahlianku masih perlu di tingkatkan.”
“Siapa yang peduli.”Boo menepuk pundaknya. “Kau hanya perlu menangani penyakit yang mulia Azure.”
Ruby membelai gulungan Dekit di tangannya. “Lalu bisakah aku bertemu Pangeran Azure sekarang?”
“Tentu saja,” jawab Boo. ”Kau akan tinggal di kastil Putra Mahkota mulai sekarang.”
Ruby tersenyum tipis. “Baiklah.” Ada sedikit kelegaan di hatinya. Bagaimana pun, di tempat entah berantah ini, Azure adalah satu-satunya yang Ruby kenali dengan baik.
Malam itu juga, Ruby meninggalkan Asrama dan menuju kediaman Azure dengan di iringi Boo dan Demien.
Kastil Putra Mahkota merupakan Paviliun yang paling besar namun sedikit lebih jauh dari istana karena itu Ruby masih harus menunggang kuda selama beberapa menit untuk tiba disana.
Rubi turun di bantu oleh Boo. Melewati beberapa pelayan yang menyambut mereka dan akhirnya bertemu dengan Pangeran Azure yang sejak tadi menunggu kedatangan mereka.
Di ruang tamu, Azure telah duduk di singgasananya, menyambut mereka dengan senyuman lebar “Akhirnya kalian datang.”
Ruby menghela napas pelan begitu mendengar suara Azure, rasanya sudah sangat lama dia tidak mendengarnya dan menjadi lega.
Azure turun dari singgasananya dan mengusir semua pelayannya keluar, hanya menyisakan mereka berempat di dalam.
Azure segera menghampiri Ruby. “Maaf membuatmu menunggu terlalu lama di asrama itu.”
“Bukan masalah, setidaknya mereka memberiku makan dan minum.” Ruby tersenyum. “Bisakah aku memeriksa nadimu yang mulia? Nafasmu terdengar sedikit lemah.”
“Ah itu benar, beberapa hari ini aku menjadi sangat mudah lelah lagi.” Azure menyodorkan lengannya.
Ruby meraba pergelangan tangan Azure untuk sementara waktu dan mengernyit. “Nadimu menjadi sangat lemah dari sebelumnya, apa yang anda lakukan akhir-akhir ini?”
“Tidak ada, karena ibunda Ratu menyuruhku beristirahat, aku tidak melakukan kegiatan berlebihan akhir-akhir ini.” Azure memiringkan kepala.
“Bagaimana dengan makanan?” tanya Ruby.
“Makanan Yang Mulia di periksa setiap kali dia akan memakannya dan aku sendirilah yang memastikan bahwa tidak ada racun di dalamnya.” Demien menjawab.
Ruby mengerutkan kening. “Ini aneh, aku ingat terakhir kali aku memeriksa tubuh Yang Mulia, setidaknya kondisinya sedikit lebih stabil. Bahkan jika dia lemah, nadinya tidak akan menjadi selemah ini.”
“Kau curiga ada yang meracuni yang mulia?” Boo mengajukan pendapat.
Demien mendelik. “Boo jaga omonganmu!” Mengangkat topik tentang meracuni Putra Mahkota adalah topik yang cukup sensitif dan dapat menimbulkan rasa curiga di antara mereka sendiri, terlebih mereka berdua adalah orang yang bertanggung jawab untuk memeriksa makanan Azure.
“Aku tidak mengatakan itu adalah racun, mungkin saja ada beberapa makanan yang tidak boleh Yang Mulia makan.”
“Itu masuk akal.” Azure mengangguk.
Ruby melepaskan pergelangan tangan Azure, “Untuk makanan anda selanjutnya, biarkan aku yang memeriksanya untukmu.
Demien mengerutkan kening tak setuju. “Itu adalah tugasku dan Boo.”
“Apa kau pernah membuat racun sebelumnya? Bisakah kau tahu makanan yang mana yang seharusnya tidak bisa Yang Mulia makan?”
Napas Demien berderu karena marah. “Yang Mulia, anda tidak bisa mempercayakan makanan anda kepada sembarang orang.”
Azure menghela nafas. ”Dia adalah tabibku sekarang Demien, bisakah kalian sedikit lebih akur?”
Ruby dan Demien saling membuang muka dan mendengus.
Boo tertawa geli sedangkan Azure hanya bisa menghela nafas lagi, entah kapan kedua orang di hadapannya ini akan sedikit lebih akur.
Mereka kemudian mulai membicarakan beberapa hal mengenai keputusan raja untuk para tahanan dari Kerajaan selatan yang mereka tangkap ketika tiba-tiba Ruby berdiri dari duduknya dan mengibaskan tangannya ke arah jendela.
Dengan sangat cepat beberapa pisau hunternya terbang ke arah lambaiannya.
“Ada apa?” Demien dan Boo berdiri bersamaan.
“Penguping.” Ruby berkata dingin dan menggerakkan jemarinya, di saat yang bersamaan terdengar suara geraman dan seseorang langsung jatuh dari atap.
Boo dan Demien melompat keluar dan menangkap pria berpakaian hitam itu yang baru saja jatuh namun penyusup itu dengan sigap melempar bola asap ke arah mereka dan berlari kencang dari sana sembari memegang tangannya yang terluka.
“s**t dia kabur.” Demien mencari di halaman rumah dan tidak menemukan siapa pun lagi.
“Siapa yang kau bilang kabur?” Tiba-tiba suara Ruby terdengar. Entah sejak kapan dia meninggalkan ruangan dan muncul di balik pohon besar sembari menyeret seorang pria yang setengah wajahnya di penuhi darah.
Boo menarik napas terkejut, “K-kau tidak membunuhnya kan?”
“Kenapa kita harus membiarkannya hidup?” Ruby memiringkan kepala bingung, dia berpikir bahwa penyusup dan penguping seharusnya adalah musuh, dan musuh lebih baik di bunuh secepatnya.
“Dia bisa menjadi petunjuk! setidaknya kita harus menggali sesuatu dari mulutnya sebelum membunuhnya.” Demien berteriak frustasi.
“Oh, baiklah.” Ruby berkata mengerti dan mengeluarkan jarum dari lengan bajunya. Di bawah tatapan bingung Boo dan Demien, dia menanam jarum itu di beberapa bagian tubuh pria itu yang mengucurkan darah dan seketika darah yang tadinya mengalir deras, kini terhenti. Sedangkan pria yang sejak tadi sekarat kini berbaring di rumput seolah tidur.
Tidak! Dia jauh terlihat seperti orang mati dengan semua darah di tubuhnya.
Boo dan Demien menatap Ruby dengan horror.
Bersambung...