“Yang Mulia, Istana megah, tembok tinggi dan ribuan orang ini tidak bisa melindungimu.”
Kata-kata Ruby itu seolah menaburkan garam pada luka yang masih menganga dan sejak saat itu, Boo juga Demien tidak berani untuk menampakkan wajah di hadapan Azure selama berhari-hari, keduanya menjadikan ‘Menyelidiki penyerangan Azure’ sebagai alasan untuk menghindari Azure.
Azure sendiri tidak berencana untuk mencegah mereka. Dia tau keduanya membutuhkan waktu untuk menyesuaikan mood mereka untuk sementara waktu.
Setelah beberapa hari kondisi tubuh Azure menjadi lebih stabil, Ruby tidak lagi harus tinggal di ruangan samping kamarnya dan kembali untuk menjalani pelatihan tata krama yang sempat tertunda sedangkan Azure sendiri sibuk menyelidiki tentang tanda kutukan yang menjadi petunjuk utama untuk menemukan orang-orang yang ingin membunuhnya.
Saat ini, Azure kembali duduk di belakang meja ruang belajar di perpustakaan kamarnya, sedang membaca buku dan beberapa informasi tentang tanda kutukan yang bersusah payah dia cari ketika tiba-tiba Ruby datang menemuinya.
Setelah percakapan terakhir mereka, bukan hanya Boo dan Demien yang jarang muncul di hadapannya, bahkan Ruby juga jarang mengunjunginya.
Saat Azure mempersilahkanya masuk, Ruby masuk dengan membawa baki dengan satu mangkok berukuran sedang berisi ramuan berwarna kecoklatan, segelas air mineral dan sepiring kecil manisan buah.
“Yang Mulia, waktunya untuk meminum obat.” Ruby sedikit menekuk dan membungkukkan kepala untuk memberi penghormatan lalu menunggu Azure memberinya perintah.
Ruby adalah seorang pelajar yang cerdas, hanya dalam beberapa hari pelatihan tata krama, tingkah lakunya telah mengalami peningkatan. Dia jauh lebih anggun ketika berjalan dan tahu bagaimana harus memberikan penghormatan yang benar serta bagaimana cara mengatur nada dan kata-katanya.
Tidak hanya itu,penampilannya menjadi sedikit lebih rapi, tidak lagi terus mengeluh karena pakaiannya yang tertutup membuatnya panas atau menyebabkan pergerakannya sedikit terbatas.
Hari ini Ruby mengenakan gaun berwarna biru dongker yang lembut dengan aksen silver di beberapa hiasan di bagian dadanya, bahu gaunnya sedikit terbuka dan menampakkan tulang selangkanya yang ramping. lengan gaunnya tipis namun tidak transparan, panjang hingga menutupi pergelangan tangan Ruby dengan ujung yang lebar, membuat setiap pergerakan tangan Ruby terlihat jauh lebih halus dengan tarian lengan bajunya.
Ruby mengikat tinggi rambut sepingganya menggunakan pita berwarna silver yang menjuntai sepanjang rambutnya, senada dengan warna penutup matanya. Tanpa perhiasan apa-apa, Ruby terlihat mencengangkan hingga membuat siapa saja yang melihatnya tidak bisa mencegah untuk menatap dua atau tiga kali lagi.
Azure adalah salah satunya.
Karena penghuni di istana tidak di izinkan untuk membawa senjata selain penjaga kerajaan, Ruby hanya menyelipkan seruling putih gading di pinggangnya dan Azure tahu bahwa seruling itulah yang awalnya menariknya untuk bertemu Ruby. Seruling itu terlihat biasa saja, namun hanya Azure yang tahu bahwa seruling itulah yang hampir menembus kepalanya malam itu.
“Letakkan ramuannya.”
Ruby mengangguk pelan dan meletakkan nampan itu di hadapan Azure.
Azure meraih mangkok sedang berisi ramuan kecoklatan lalu menelannya dengan sekali tegukan, lalu meraih manisan buah untuk menetralkan sedikit rasa pahit yang tersisa di mulutnya, kemudian minum air mineral.
Setelah Azure selesai, Ruby kembali meraih nampan itu dan mengundurkan diri, namun tangan Azure menyebrangi meja dan menangkap pergelangan tangannya.
“Yang Mulia?”
“Kau sedang marah.” Azure menatap wajah Ruby dengan kerutan tipis di bibirnya. Sejak hari itu, Azure telah menyadari bahwa Mood Ruby tidak jauh lebih baik dari dua pengawalnya, Namun Azure menahan diri untuk bertanya. Tapi sekarang setelah beberapa hari berlalu, dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Dia sama sekali tidak nyaman dengan sikap Ruby yang terlalu formal kepadanya setelah beberapa hari mereka tidak bertemu, seolah mereka hanyalah kenalan biasa yang tidak lebih dari seorang pangeran dan pelayannya.
“Aku tidak berani Yang Mulia.”
Ruby menjawab dengan tenang dengan kepala tertunduk tanpa berusaha untuk menarik tangannya dari genggaman tangan Azure.
“Kau marah!” Kali ini Azure memastikan.
Jika itu Ruby yang biasa, dia pasti tidak akan senggan untuk menepis tangannya.
“Aku tidak marah Yang Mulia, aku hanya sedang mengajari diriku sendiri untuk tidak terlalu arrogan.” Ruby akhirnya mengangkat kepalanya dan berhadapan dengan Azure.
“Apa?” Azure mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” Tanpa melepaska genggamanya, Azure memutari meja dan menghampiri Ruby yang sedang berdiri di hadapan meja kerjanya.
Ruby menghela napas pelan dan kembali menunduk. Anak rambutnya yang tidak terikat menjuntai ke bawah dan membelai pipi halus Ruby yang perlahan memerah. “Sebenarnya rasa malu dan rasa kecewa untuk diriku sendiri tidak jauh lebih rendah dari Boo dan Demein,” akunya. “Selama aku bertemu denganmu dan akhirnya berbaur dengan orang yang lainnya, setiap kemampuanku selalu membuat kalian terpukau sehingga aku secara tak sadar mulai berfikir bahwa aku jauh lebih hebat, semua yang aku lakukan benar dan pasti akan berhasil tanpa tahu bahwa selalu ada beberapa hal yang tidak bisa aku prediksikan. Aku tidak selalu benar.”
Azure tidak menyela dan haya mendengarkan. Dia melepaskan genggaman tangannya, meraih nampan di tangan Ruby dan meletakkannya di meja untuk sementara waktu dan berdiri di hadapan gadis sembari sedikit bersandar pada meja kerjanya, diam dan mendengarkan.
“Selama ini kau selalu yakin bahwa aku bisa menyembuhkan penyakitmu, begitu denganku, aku selalu sangat yakin bahwa satu-satunya yang bisa meyembuhkanmu adalah aku.” Ruby menghela nafas pelan. “Aku pernah berkata bahwa aku akan menyelamatkanmu bukan? Dan pengobatan itu akan sedikit sulit tetapi sekarang aku lega karena pengobatan itu tertunda hingga aku tahu kebenaran tentang tubuhmu.”
“Apakah metode itu tidak akan berhasil untukku?”
Ruby menggeleng. “Tidak hanya akan tidak berhasil, namun sudah pasti akan membuat kondisi tubuhmu jauh lebih buruk. Jika aku melakukannya, aku akan berfikir bahwa semua penyakitmu telah di keluarkan melalui darah dan telah tergantikan dengan darah yang lebih sehat. Namun aku tidak pernah berfikir bahwa kondisi tubuhmu bukanlah penyakit bawaan alami, namun racun yang telah di konsumsi dalam jangka waktu yang panjang sehingga telah menyerap pada organ yang lainnya. Saat metode pengobatan itu berhasil, kau akan sehat dan bahkan bisa melompat tanpa kendala. Namun hasil itu hanyalah sementara, saat racun itu kembali mengontaminasi darah yang baru, tidak ada yang akan menyadarinya, bahkan tubuhmu tidak akan menampakkan gejala apa pun. Dan penyakit yang tidak di ketahui itu sangatlah berbahaya, kita tidak akan tahu kapan kau akan tiba-tiba...
Ruby menghentikan perkataannya karena merasa kata-kata selanjutnya tidak akan mampu melewati lidahnya, jadi dia diam.
Azure yang sejak tadi diam mendengarkan mengeluarkan tawa pelan.
“Apakah kau menertawaiku?” Ruby bertanya.
Azure menggeleng pelan lalu setelah berpikir sejenak, dia mengangguk karena dia memang sedang menertawai kepolosan Ruby. Namun sebelum Ruby semakin cemberut dia mengulurkan tangan untuk menepuk puncak kepala gadis itu. “Hal itu membuktikan bahwa kau juga seorang manusia, bahkan seorang penyihir adalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan. Kau hanya memiliki kemampuan spesial yang tidak di miliki manusia biasa.”
Ruby diam, tidak mengerti mengapa percakapan ini menjadi tentang dia adalah manusia.
Mengerti kebingungan Ruby melalui raut wajahnya. Azure tersenyum tipis. “Sejak pertama kita bertemu, kau terus mengatakan manusia ini dan manusia itu seolah kau bukanlah bagian dari kami, namun lihatlah, kesalahan yang kau miliki saat ini adalah kesalahan yang umumnya di miliki semua manusia.”
“Kau juga pernah bersikap arrogan dan melakukan kesalahan seperti itu?” tanya Ruby.
“Sangat sering, Manusia mana yang tidak pernah melakukan kesalahan?” Azure menjawab. “Saat berumur sekitar sepuluh tahun, karena aku selalu dimanjakan di istana, sebagai putra raja semua orang terus berlutut dan memenuhi semua keinginanku. Jadi aku mulai dengan bodohnya berpikir bahwa aku adalah pangeran kerajaan ini jadi apa pun yang ada di kerajaan atau pun di istana ini akan menunduk dan menuruti keinginanku, jadi suatu hari aku bertemu dengan anjing besar di pinggir jalan.” Azure tertawa kecil ketika bernostalgia. “Anjing itu besar dan jauh lebih tinggi dariku jadi aku kesal karena saat semua berlutut dan membungkuk padaku, dia tetap berdiri tegak dan bahkan mengulurkan lidahnya, jadi aku terus berteriak padanya untuk berlutut dan bahkan memukulinya dengan kayu dan hasilnya dia mengejarku.”
Ruby akhirnya tidak bisa menahan tawanya. “Benarkah? bagaimana bisa anjing mengerti apa yang kau katakan?”
“Benar, tapi saat itu aku berpikir bahwa semua penghuni istana harus membungkuk padaku dan anjing itu adalah penghuni istana.”
Ruby tertawa denagn keras di ikuti oleh Azure.
Tawa mereka bergema di dalam ruangan. Satu wanita dan satu pria saling berhadapan dan tertawa bersama, si pria duduk pada meja kerja di hadapan wanita itu hingga membuat tubuh keduanya setara, Dan melalui cahaya yang membias dari jendela, momen itu terlihat sangat menyilaukan dan hangat.
Bersambung...