Batal Kencan

1435 Kata
"Kamu semangat sekali hari ini?" Mama memandangi Cindra yang tengah membuat telur mata sapi di dapur. Cindra hanya tersenyum. Ia tahu Mama pasti heran melihatnya bangun lebih pagi dan membantunya menyiapkan sarapan. Ia memang sangat bersemangat pagi ini, karena sore nanti ia dan Andra akan berkencan. Mereka sudah berbaikan tadi malam. Dan Hari Sabtu adalah hari yang paling ditunggu cindra. Selain karena libur kuliah, juga karena hari ini ia dan Mama libur kerja bersama sebagian karyawan lainnya, termasuk Mas Pram. Mama hanya akan bertugas dua jam saja sebelum keluarga Atmaja keluar rumah. Karena jika tidak ada acara mendadak, Hari Sabtu digunakan keluarga Atmaja untuk menghabiskan waktu seharian di luar rumah. Mereka akan pergi menjelang makan siang hingga malam tiba. Mereka akan menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan, belanja di mall, makan-makan, mengunjungi kerabat, atau mengunjungi kedua orang tua Mami Renata yang tinggal di Tangerang. Dan hanya di Hari Minggu lah ketiganya akan menghabiskan waktu seharian di rumah. Makanya setiap Hari Sabtu Cindra bisa menikmati masakan Mama di rumah seharian, setelah enam hari hanya menyantap makanan di Istana Atmaja. "Sarapan sudah siap!" Cindra meletakan dua piring nasi goreng panas dengan telur goreng mata sapi di atas meja makan mereka yang kecil. "Kamu udah baikan sama Andra?" Tanya Mama sambil menuang teh panas ke dalam dua buah mug. Cindra mengangguk. "Udah dari semalam, Ma. Kita sudah berbicara secara dewasa." Mama tertawa mendengar ucapan Cindra. "Memangnya dari kemarin kamu belum merasa dewasa?" Tanyanya. Cindra tersenyum malu. "Cindra belajar dari Andra, Ma. Andra itu selalu bersikap tenang. Dan pikiran dia jauh ke depan. Dia jauh lebih dewasa dari Cindra." Mama tersenyum memandang Cindra. "Kalau kamu memang serius berhubungan sama dia. Ajak dia ke rumah. Biar Mama bisa mengobrol." "Nanti sore saja kalau begitu. Kita kan, mau malam mingguan. Nanti Cindra akan minta Andra datang lebih awal. Biar Mama bisa mengobrol lama." "Loh, bukannya jam tujuh malam nanti kamu mau pergi sama Leo?" Mama menatap Cindra dengan wajah penuh tanya. Dibukanya buku agenda yang selalu berada di dekatnya. Sesaat Cindra terdiam. Ditatapnya Mama dengan kening berkerut. "Kamu ada janji dengan Leo jam tujuh nanti malam, ke pesta ulang tahun." Mama menunjukan catatan di buku agendanya. Mama memang selalu mencatat semua jadwal seluruh anggota keluarga Atmaja, termasuk Leo. Tiba-tiba saja Cindra tersadar. Ditepuknya keningnya. "Ya, Tuhan! Kenapa bisa lupa?" Ia lalu berlari masuk ke dalam kamarnya. "Gaun pesta kamu sudah Mama taruh di laundry room sejak kemarin untuk disetrika," ucap Mama lagi melihat Cindra seperti mencari sesuatu. "Cindra lupa, Ma!" Cindra duduk kembali di hadapan Mama dengan lemas. Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ternyata benar yang Leo bilang. Sekarang kamu kurang perhatian sama dia. Dan Mama percaya itu bukan karena kelelahan naik ojek, tapi karena sekarang pikiran kamu terbagi dua. Dan kamu lebih banyak memikirkan Andra daripada pekerjaanmu." Cindra menundukan kepalanya. "Baru kali ini kok, Ma Cindra lupa," sahutnya. Mama menarik nafasnya. "Kamu harus batalkan janji kamu dengan Andra." Cindra mengangguk tanpa berani membantah. Tapi, bagaimana ia harus membatalkan kencan mereka setelah berbaikan tadi malam? Apa yang harus ia katakan? Cindra mengurut-ngurut keningnya yang mendadak pusing. ... "Leo!" Cindra mengetuk-ngetuk pintu kamar Leo dengan sebuah nampan berisi sepiring nasi goreng di tangannya. Sebenarnya ia malas sekali membangunkan Leo hanya untuk mengantarkan sepiring nasi goreng. Tapi Mama memaksanya. Leo sangat suka nasi goreng buatan Mama. Dan ia harus mengantarkannya sebelum menjadi dingin. Dan kata Mama, itu juga sebagai salah satu cara untuk membantu memperbaiki hubungannya dengan Leo. Mama mengira Leo masih marah padanya. Cindra kembali mengetuk pintu kamar untuk yang ketiga kalinya. Kalau sampai tiga kali pintu itu belum terbuka juga, maka ia akan pergi saja. Itu adalah peraturan tidak tertulis yang dibuat Leo. Siapa pun hanya boleh mengetuk pintu kamarnya tiga kali. Kecuali dalam keadaan darurat. Dan Cindra baru saja akan melangkah pergi saat tiba-tiba pintu terbuka. "Aku disuruh Mama nganterin ini," ucapnya sebelum Leo sempat bertanya. Diletakannya nampan di atas meja kopi lalu buru-buru membalikan tubuhya. Ia harus segera keluar dari dalam kamar sebelum Leo benar-benar tersadar dan 'mengerjai' nya lagi. "Kamu belum minta maaf sama aku!" Benar saja dugaannya. Cindra memutar kembali tubuhnya. Dipandanginya Leo yang masih terlihat mengantuk. Ya, Tuhan! Matanya bahkan masih setengah terbuka tapi otak jahilnya sudah mulai bekerja. "Maafin aku!" Ucapnya seraya mengulurkan tangan. Tapi Leo malah tersenyum menyeringai. Cindra menarik tangannya kembali. Ia juga sudah menduganya. Meminta maaf pada Leo adalah hal tersulit di dunia. Melebihi sulitnya tes masuk perguruan tinggi. "Temani aku sarapan!" Perintah Leo sambil berjalan ke dalam kamar mandi. Cindra menarik nafasnya. Tiba-tiba saja perasaannya tak enak. Ia yakin saat ini Leo tengah menyusun rencana untuk mengerjainya lagi. Setelah membuka jendela lebar-lebar, Cindra pun menunggu Leo di teras balkonnya yang luas. Di sana terdapat meja kecil dengan sepasang kursi rotan yang nyaman. Balkon kamar Leo menghadap halaman depan rumah yang luas. Yang ditanamani rerumputan seperti di padang golf. Rumah keluarga Atmaja memang yang terbesar di perumahan itu. Papi Marlon membeli satu cluster khusus untuk membangun rumahnya yang berlantai empat. Bahkan ia meminta nama cluster-nya dirubah menjadi Cluster Atmaja. Tapi orang-orang lebih suka menyebutnya Istana Atmaja. Karena hanya rumah inilah satu-satunya bangunan paling mencolok di kompleks perumahan itu. Rumah yang paling tinggi, paling besar dan paling megah. Mirip sebuah istana. Rumah yang dibangun Papi Marlon memang berbentuk seperti istana-istana di Eropa. Karena Papi pernah menghabiskan seperempat usianya di Belanda. Tempat kelahiran kedua orang tuanya. Leo membawa piring nasi gorengnya ke balkon dan meletakannya di atas meja. Wajahnya sudah terlihat segar. Sisa basuhan air bahkan masih nampak di wajahnya yang bersih dan mulus, yang sering membuat Cindra merasa iri. Bagaimana tidak mulus, kena udara di luar rumah saja jarang. Tapi sepertinya ia memang terlihat bersemangat pagi ini. Entah apa yang direncanakannya. Cindra selalu saja curiga saat Leo mulai bersemangat. Apalagi yang membuatnya senang selain 'mengerjai' nya? "Nasi goreng Mama kamu memang the best!" Puji Leo dengan mulut yang penuh. "Telan dulu, nanti keselek!" Sahut Cindra sambil bergegas mengambil sebotol air minum dari dalam kamar. Leo memang sering tersedak saat makan bersamanya. Karena ia selalu saja mengoceh sambil makan. Tapi anehnya, ia tidak pernah melakukannya saat makan bersama kedua orang tuanya. Mungkin ia takut jika sampai tersedak Mami Renata akan memanggilkan lagi Coach kepribadian untuk memperbaiki manner makannya yang dianggap belum benar. Cindra tertawa geli dalam hati. Mami Renata memang sangat berlebihan. Ia sangat menjaga citra keluarganya sebagai keluarga terpandang dan terhormat. Sikapnya bahkan lebih Eropa dari Papi Marlon. Padahal, Mami tidak mempunyai darah Eropa seperti Papi. Saking Eropanya, Mami juga jadi jarang makan nasi. Mami lebih suka makan roti dan kentang. Padahal Papi Marlon suka sekali makan masakan Padang yang bersantan. "Semalam Mami tanya, kamu perlu dipanggilin stylist gak buat acara nanti malam?" Tanya Leo setelah meneguk minumannya. "Memangnya harus?" Cindra balik bertanya. "Terserah!" Leo mengangkat kedua bahunya. "Enggak usah. Aku dandan sendiri aja," sahut Cindra. Mami Renata memang seribet itu. Biasanya dia selalu mendatangkan penata rias langganannya setiap akan menghadiri suatu acara. Karena Mami punya salon kecil di rumah lengkap dengan ruang perawatan Spa. Tapi untuk saat ini ia tidak merasa perlu melakukannya. Ia tidak ingin merepotkan. Toh, selama ini juga Leo tidak pernah perduli ia berdandan cantik atau tidak, karena ia tidak pernah memujinya. "Terus habis ini mau ngapain?" Cindra memandang piring nasi goreng Leo yang sudah kosong. Leo berpikir sejenak. Membuat jantung Cindra berdegup kencang. "Sebentar lagi temanin aku nge-gym," sahutnya. Cindra mengangkat kedua alisnya. "Tumben?" Tanyanya. "Aku olah raga kamu bilang tumben. Enggak olah raga kamu bilang malas!" Gerutu Leo. Cindra tersenyum malu. Leo memang malas sekali berolah raga, apalagi nge-gym. Meskipun fitness center-nya berada di rumah, tapi jarang sekali Leo mau melakukannya. "Ok. Aku akan ke sana satu jam lagi," sahut Cindra, lalu beranjak bangun. "Loh! Mau ke mana?" Leo menatapnya sambil melotot. "Memangnya aku harus ngapaian Leo? Bengong di sini nungguin kamu?" Sahut Cindra kesal. "Cariin aku setelan baju buat nanti malam." "Kan, tinggal pilih aja dari dalam lemari?" Jawab Cindra dengan bingung. Karena memang semua pakaian formal Leo sudah tergantung rapi di dalam lemari sesuai warna dan jenisnya. "Ya, siapin dong! Malas banget, sih!" Tukas Leo sambil membuka ponsel dan memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan tawa. Dan Cindra pun menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kesal. Ya, Tuhan! Seharusnya ia memang sudah sadar, masuk ke kamar Leo itu sama saja dengan masuk ke dalam jaring laba-laba. Ia akan terperangkap dan sulit melepaskan diri. Dan benar saja, setelah menyiapkan setelan pestanya, Leo memintanya menyiapkan pakaian kuliahnya untuk satu minggu. Padahal Cindra tahu, setelah disiapkan pun Leo belum tentu akan memakainya. Karena tujuannya memang hanya untuk 'mengerjai' nya saja. Dan kini ia berdoa agar Mami Renata dan Papi Marlon memaksa Leo untuk pergi bersama mereka. Please, ya, Tuhan! Bebaskan aku setengah hari saja darinya, doa Cindra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN