Andra

1488 Kata
Cindra menatap layar ponselnya dengan terkejut. Astaga! Kenapa bisa kesiangan? Andra sedang dalam perjalanan untuk menjemputnya. Dan sebentar lagi Leo pasti akan mencarinya. Sudah pukul tujuh, waktunya Leo sarapan pagi. Dan ia tidak akan sempat menemaninya berlama-lama. Ia hanya akan menemuinya sebentar saja. Mudah-mudahan suasana hati pangeran kodok sedang baik-baik saja. Dan benar saja, interkom di dalam rumahnya tiba-tiba berbunyi nyaring saat ia baru saja keluar dari dalam kamar mandi. "Lima menit lagi aku ke sana!" Sahutnya, sebelum Leo sempat berucap. Dan lima menit kemudian sambil menenteng tas kuliahnya, Cindra sudah berada di halaman belakang. Tempat mereka biasa sarapan. Tapi ke mana Leo? Kenapa sarapannya pun tidak ada di atas meja? Dipandanginya meja dan kursi yang masih kosong. Lalu tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselnya. Leo memintanya untuk menemuinya di ruang makan keluarga. Dengan berlari ia pun menuju ke sana dan mendapati Leo tengah sarapan bersama kedua orang tuanya. Uuuh! Dasar pangeran kodok! Kenapa tak memberi tahu kalau sedang sarapan bersama Mami Papi? Untuk apa dia menemaninya lagi? Cindra pun menatap tajam Leo yang langsung melemparkan kerlingan usilnya. Tapi kenapa Mami dan Papi tidak terkejut melihatnya? Mendadak jantung Cindra berdegup kencang. Leo pasti sedang merencanakan sesuatu. "Cindra! Mari sarapan bareng kita!" Mami Renata menyapanya dengan ramah. "Leo belum mulai sarapan dari tadi, nungguin kamu katanya," timpal Papi Marlon. Sambil melempar senyum Cindra pun menyapa kedua orang tua itu, lalu dengan terpaksa duduk di samping Leo yang sudah menarik kursi untuknya. "Kamu ada kuliah pagi?" Tanya Mami Renata seraya menuangkan teh lemon hangat untuknya. "Ya, Mi, sebentar lagi mau berangkat," sahut Cindra. "Begini, Cindra..." Papi Marlon meletakan cangkir teh yang dipegangnya, lalu menatap Cindra. Jantung Cindra pun semakin berdegup kencang. Ia tahu Papi Marlon sedang bersungguh-sungguh. "Kampus kamu kan, lumayan jauh. Dan hampir satu tahun kuliah, Papi perhatikan kamu jarang sekali mau diantar jemput supir atau berangkat bersama Leo. Papi mengerti maksud kamu naik ojek itu supaya lebih cepat sampai di kampus, tapi setiap hari naik ojek itu bikin kamu kelelahan." "Belum lagi panas dan kotor kena debu..." Timpal Mami Renata. "Dan akhirnya membuat kamu jadi kurang perhatian sama Leo," sambung Papi Marlon dengan wajah yang benar-benar serius. Cindra membulatkan kedua matanya lebar-lebar. Kedua alisnya terangkat naik. Ditatapnya Leo sesaat. Hatinya kesal bukan kepalang. Apa hubungannya naik ojek dengan kurang perhatian? Umpatnya. "Apalagi kata Leo kamu sampai ketiduran waktu mencari sepatunya kemarin sore." Wajah Mami Renata terlihat sangat prihatin. Ia tidak tahu apakah Mami benar-benar prihatin dengannya atau dengan Leo? Papi Marlon kembali menatap Cindra. "Oleh karena itu, mulai hari ini kamu akan diantar jemput supir ke kampus. Kalau kamu takut terlambat ya, kamu harus berangkat lebih awal. Dan kalau jadwal kuliah kamu sama dengan Leo, kalian bisa berangkat atau pulang bersama." Cindra kembali menatap Leo yang sengaja tak menghiraukan tatapannya. Ia malah berpura-pura sibuk mengolesi rotinya dengan butter. Ingin sekali rasanya Cindra menarik dan menceburkannya ke dalam kolam air dingin sampai bersin-bersin dan hidungnya tersumbat. Cindra kembali memandang Papi Marlon dan Mami Renata sambil tersenyum. Dicobanya untuk tetap tenang. Ia tahu, ini adalah perintah. Ia tidak boleh menolaknya. Ia harus menurutinya. Kecuali untuk pagi ini. "Hmm... tapi Mi, Pi... kalau pagi ini Cindra kebetulan sudah ada janji sama teman untuk berangkat ke kampus bersama. Mungkin bisa dimulai nanti sore aja?" Cindra memandang keduanya penuh harap. Ia tidak bisa membatalkan janji dengan Andra yang mungkin saat ini sudah menunggunya di pintu belakang. "Siapa yang jemput kamu?" Tiba-tiba terdengar suara Leo yang gusar. "Laki-laki?" Mami Renata pun ikutan penasaran. Cindra memandang keduanya dengan bingung. Apa yang harus dijawabnya? "Hmm... Ya, Mi. Teman sekelas. Kebetulan rumahnya dekat sini. Mungkin sekarang dia sudah sampai dan sedang menunggu Cindra di belakang," sahutnya dengan perasaan bersalah. "Benar hanya teman?" Papi Marlon mengernyitkan keningnya. Ah! Kenapa Papi juga jadi ikutan tak percaya? Cindra semakin merasa bersalah. Dengan terpaksa ia lalu mengangguk. Ia tak bisa memikirkan jawaban yang lain. Ia tak berani jika harus mengatakan yang sebenarnya. Apa jadinya kalau ia mengakui Andra sebagai pacarnya? Bisa-bisa mereka akan memintanya untuk sarapan bersama. Lalu akan menginterogasinya beramai-ramai. Oh, tidak! Itu tidak akan terjadi. Selama ini ia memang tidak pernah memperkenalkan kekasih-kekasihnya, kecuali kepada Mama dan Leo. Karena Mami dan Papi selalu mewanti-wantinya untuk berhati-hati dalam bergaul dan berteman. Apalagi jika ada laki-laki yang mendekatinya. Mereka tidak ingin ia berpacaran dengan sembarang orang. Mereka takut ia akan diperalat dan dipermainkan. Tapi ia mengerti kekhawatiran mereka. Biar bagaimana pun ia tinggal di rumah mereka. Dan mereka sudah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. "Kalau begitu mulai sore saja kamu dijemput. Kasihan temannya sudah menunggu," sahut Papi Marlon akhirnya. Cindra tersenyum lega. Diliriknya wajah Leo dari samping. Ingin sekali ia secepatnya pergi. Ia benci sekali padanya. Ia tahu Leo sudah mengatur semua ini. Karena dia pasti sudah tahu Andra mengantarnya kemarin sore. Dan ia juga yakin, saat ini Leo sudah tahu kalau Andra yang menjemputnya. Setelah menghabiskan sarapannya dengan cepat, Cindra pun berpamitan. Lalu berlari keluar menuju pintu belakang. Benar saja, Andra sudah menunggunya di sana. "Maaf, sayang!" "Enggak apa-apa. Santai aja," sahut Andra dengan tenang. "Yuk, cepat pergi dari sini," ucapnya seraya melompat naik ke atas motor. Diliriknya kamera pengawas di atasnya. Ia tahu saat ini Leo pasti tengah mengawasinya. Dan Leo memang tengah mengawasinya melalui layar ponsel. "Kenapa, Leo?" Mami Renata menatap wajah Leo yang berubah memerah. "Enggak, Mi..." Leo berusaha menyembunyikan kekesalan di wajahnya dengan senyuman kecil. Dipandanginya kedua orang tuanya dengan ragu. "Mih... kapan Leo diijinin bawa mobil lagi?" Tanyanya. Pertanyaan Leo membuat Mami Renata terkejut. Tapi ia tak menjawab. Dipandanginya Papi Marlon untuk meminta pendapat. "Sudah setahun Leo enggak boleh bawa mobil," rajuk Leo. "Mami takut Leo..." Mami memandang anak semata wayangnya itu dengan wajah khawatir. "Leo janji, Mi, sekarang Leo enggak akan ngebut dan nabrak lagi." Leo memasang wajah memelas. Senjata andalannya. Mami Renata dan Papi Marlon saling berpandangan dengan ragu. "Leo kan, bukan anak kecil yang harus ke mana-mana diantar supir. Malu, Pih!" Rajuknya lagi. Kini ia menatap Papi Marlon dengan raut wajah yang sama. Sesaat Papi Marlon berpikir. "Ok. Tapi dengan syarat. Kamu tidak boleh sendirian dulu selama satu bulan. Harus ada orang yang menemani kamu." Mami Renata mengangguk setuju. "Sementara kamu ditemani Pak Toto selama satu bulan. Nanti kalau Pak Toto bilang kamu sudah benar-benar bisa mengendalikan emosi, kamu boleh bawa mobil sendiri," sambungnya lagi. Leo mengangguk setuju. Wajahnya kini berseri-seri. ... "Ok, kamu mau ngomong apa, sayang?" Andra duduk di hadapan Cindra sesaat Dosen mereka keluar dari dalam kelas. Cindra memandang Andra dengan wajah yang muram. "Mulai hari ini aku udah enggak dibolehin naik ojek lagi, Dra. Aku harus diantar jemput mobil setiap hari sama supir," rajuknya. "Oh! Enak, dong!" Cindra mengangkat kedua alisnya dengan kaget. Ia tak menyangka dengan reaksi Andra yang santai. "Kamu tahu kan, kalau itu artinya kita enggak akan bisa bersama lagi sepulang kuliah? Kamu juga enggak bisa lagi antar jemput aku? Dan kebersamaan kita akan semakin sedikit?" Andra menatap Cindra. "Cin, yang aku bikin heran itu sebenarnya, kenapa kamu enggak mau memanfaatkan semua fasilitas yang diberikan mereka? Kan, kamu sendiri yang bilang, mereka sudah menganggap kamu sebagai anaknya sendiri?" Cindra menatap Andra tak percaya. Ditariknya wajahnya menjauh. "Kamu enggak takut kita akan jadi jauh?" Tanyanya. "Loh, kita kan, masih bisa ketemu di akhir pekan? Di waktu libur?" Kini Cindra terdiam. Dihempaskannya punggungnya ke sandaran kursi. Ia kebingungan dengan sikap Andra. "Hei... Udah, dong. Enggak usah dipikirin banget. Setiap hari kan, kita ketemu. Kita masih bisa makan bareng, ngobrol bareng..." Andra menggenggam tangan Cindra. "Tapi kan, kalau di kampus waktu kita terbatas, Dra!" "Cin, masih banyak waktu. Kita masih lama kuliah di sini. Lama-lama kita akan menemukan caranya. Ya, itu juga kalau kamu enggak bosan sama aku..." Cindra kembali menatap Andra dengan bingung. "Jadi selama ini kamu menganggap aku main-main?" "Bukan begitu, Cin..." Cindra melepaskan tangan Andra, lalu beranjak dari duduknya. "Bilang aja kalau kamu udah bosan sama aku!" Ucapnya lalu berlari pergi. "Cindra...!" Andra berusaha mengejarnya. "Aku udah dijemput!" Teriak Cindra dengan kesal. Dan Andra pun berhenti mengejar. Dipandanginya punggung Cindra hingga menghilang. Lalu kembali duduk di kursinya. Dibacanya kembali sebuah pesan yang tertulis di layar ponselnya. Wajahnya berubah gelisah. Di dalam mobil Cindra menghapus air matanya yang menetes. Ia tahu, hanya tinggal menghitung hari saja sampai Andra benar-benar memutuskan hubungan mereka. Ia sudah dua kali mengalami ini. Tapi kali ini ia merasa lebih menyakitkan. Karena Andra sudah menyerah bahkan sebelum bertemu dengan Leo. Padahal sejak awal berpacaran ia sudah meyakinkannya untuk tidak menggubris ancaman apa pun dari Leo. Tapi ternyata, dia sama saja dengan mereka. Yang melihat dirinya bukan sebagai sebagai 'Cindra Estella', tapi sebagai 'Cindra Atmaja'. Ia tidak mau hari-harinya kembali seperti dulu. Menemani pangeran kodok seharian di istananya. Kalau hubungan mereka sampai putus, siapa lagi yang akan mengajaknya jalan-jalan keliling Jakarta? Ke Kota Tua, ke taman-taman kota, kulineran di pinggir jalan, nonton film di bioskop... Cindra kembali menghapus air matanya. Dihembuskannya nafas untuk menenangkan hatinya sambil berharap sikap Andra akan kembali berubah saat mereka bertemu besok. Semuanya akan kembali baik-baik saja, doanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN