Chef Pram

1647 Kata
"Pagi Cintaku...! Cemberut aja?" Sapaan hangat laki-laki berseragam putih itu memaksa Cindra menyunggingkan senyum. "Pagi, Chef-ku yang ganteng," sahutnya seraya menarik kursi lalu duduk di hadapannya. Dan seperti biasanya saat Cindra datang pagi-pagi ke dapur, Sang Chef langsung menyuguhkannya secangkir kopi s**u hangat dan sekeranjang roti buatannya. "Thank you, Mas!" Ucap Cindra. "Menu Leo udah siap?" Tanyanya. Chef keluarga Atmaja yang akrab disapa Mas Pram itu pun mengangguk. "Mas, e-mail sekarang, ya?" Sahutnya seraya membuka ponsel. "Kalau ada menu yang dia mau rubah atau makanan yang dia enggak suka, kasih tahu Mas sebelum makan siang, biar Mas revisi lagi. Karena besok Mas mau belanja," ujarnya lagi. Mas Pram adalah satu-satu nya Chef di rumah keluarga Atmaja. Ia adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap semua kebutuhan makan penghuni rumah. Termasuk membuatkan menu makan untuk masing-masing anggota keluarga. Menu diet rendah kalori untuk Mami Renata yang selalu saja mengeluhkan bentuk tubuhnya yang sudah langsing. Menu rendah kolesterol untuk Papi Marlon, yang kolesterolnya tidak pernah berkurang karena diam-diam ia suka memesan makanan berkolesterol saat berada di luar rumah. Dan menu tinggi protein untuk Leo yang meskipun hobinya makan daging, tapi tubuhnya tetap langsing meski jarang berolahraga. Membuat Cindra sering iri padanya. Mas Pram juga yang memasak makanan untuk ke dua puluh satu karyawan rumah, termasuk ia dan Mama, dibantu oleh Mbak Tari, asistennya. Usia Mas Pram delapan tahun lebih tua dari Cindra, makanya ia menganggapnya sebagai abangnya sendiri. Dan Mas Pram juga yang meminta Cindra untuk memanggilnya dengan nama saja, Pramudya. Biar lebih akrab katanya. Tapi Cindra lebih suka memanggilnya 'Mas Pram'. "Kok, sedih gitu?" Mas Pram memandang dengan penuh selidik wajah Cindra yang muram. Ah, Mas Pram memang tidak bisa dibohongi. Cindra kembali tersenyum. Ia tahu, Mas Pram menunggunya bercerita. Karena memang selama ini Mas Pram selalu menjadi tempat curhatnya. Tapi kali ini ia malas curhat tentang pertengkarannya dengan Leo. Karena ia juga menyembunyikan fakta tentang Andra darinya. Bukan karena takut Mas Pram cemburu seperti Leo, tapi karena ia belum siap jika Mas Pram tiba-tiba memintanya untuk mengenalkan Andra padanya. Mas Pram memang seprotektif itu. Ia takut jika dirinya dipermainkan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Karena Mas Pram sudah menganggap ia seperti adik perempuannya sendiri. Setelah terdiam beberapa saat akhirnya Cindra pun menggeleng. "Lagi PMS, Mas," dustanya sambil menyesap kopi susunya. Mas Pram pun tersenyum kecil. "Kamu enggak ada kuliah pagi ini?" Tanyanya lagi. "Nanti siang, cuma online aja." Cindra mencelupkan sobekan roti bagel ke dalam cangkir kopi lalu memasukannya ke dalam mulut. Mas Pram pun tersenyum melihatnya. Cindra memang sesederhana itu. Ia tak perlu isian roti atau selai beraneka rasa. Baginya kopi s**u hangat sudah cukup membuat roti apa pun yang dimakannya jadi enak. Dering interkom yang tiba-tiba terdengar mengejutkan keduanya. Dengan cepat Mas Pram mengangkatnya. "Pangeran Leo sudah bangun. Dia mencari Cinderella-nya," ucapnya sesaat telepon ditutup. Cindra buru-buru menghabiskan sarapannya, lalu bergegas menuju kamar Sang Pangeran. Leo sudah berpakaian rapi saat ia membuka pintu kamar. Rambutnya bahkan masih terlihat basah. Tumben, batin Cindra. Biasanya dia masih berbaring malas di tempat tidurnya. "Aku udah kirimin kamu e-mail menu mingguan dari Mas Pram. Kalau ada yang mau dirubah dia tunggu sebelum makan siang." Leo mengernyitkan keningnya. "Siapa dia ngatur-ngatur aku?" Sungutnya. Cindra menarik nafasnya. Drama pagi dimulai lagi, keluhnya. "Biar bisa langsung direvisi, soalnya Mas Pram mau belanja bahan makanan besok." Cindra pun menghembuskan nafas lega saat akhirnya Leo tak lagi mendebatnya. Sungguh saat ini ia tidak ingin bertengkar lagi dengannya. Kekesalannya masih belum reda sejak sore kemarin. "Temani aku sarapan!" Tiba-tiba saja Leo menarik tangannya. Tapi Cindra bergeming hingga langkahnya tertahan. "Kali ini beneran aku belum sarapan!" Sahut Leo menyadari Cindra takut dibohongi lagi. Akhirnya Cindra membiarkan Leo menarik tangannya masuk ke dalam elevator , turun kembali ke lantai dasar, lalu berjalan memutar ke halaman belakang. Tepat di samping kolam renang outdoor. Itu memang tempat pavorit Leo. Tempat yang paling jauh jaraknya dari rumah utama. Dan paling jarang dikunjungi Mami Renata dan Papi Marlon. Padahal di dalam rumahnya ada dua ruang makan keluarga dan dua ruang ngopi dengan pemandangan taman yang indah yang bisa ia gunakan tanpa harus bersusah payah berjalan jauh dan merepotkan dirinya. Tapi Leo memang seaneh itu. Buatnya, kalau ada pilihan yang lebih sulit, kenapa harus memilih yang mudah? Dua nampan sarapan pagi sudah berada di atas meja kayu bulat dengan payung besar ala Bali berwarna putih di atasnya. Ternyata Leo sudah meminta pelayan untuk membawakan sarapan mereka berdua di sana. Leo menarikan kursi untuknya. Membuat Cindra selalu merasa tersanjung. Tapi ia selalu menutupinya. Ia tidak mau Leo menjadi kegeeran. Sejak kecil Leo memang sudah diajarkan sikap untuk menjadi seorang gentleman karena keluarga Atmaja selalu berinteraksi dengan orang-orang high profile. Bahkan Mami Renata sampai harus menyewa seorang coach untuk mengajarkan Leo cara bersikap yang baik saat berhadapan dengan orang dari latar belakang yang berbeda. Leo juga diajarkan etika berjalan, duduk, menyambut tamu, berbicara, 'table manner' di meja makan, dan etiket-etiket lainnya agar ia dapat selalu menjaga sikap saat bersosialisasi dengan orang lain. Meski terasa sangat berlebihan, tapi ia mengerti karena Leo adalah pewaris tunggal Atmaja Company. Dialah yang nanti akan memimpin perusahaan dengan ribuan karyawan dan partner bisnis dari berbagai negara. Jadi wajar jika Mami Renata memperlakukan Leo layaknya seorang putra mahkota kerajaan. Cindra menuangkan teh lemon hangat ke dalam cangkir Leo, lalu memberinya sedikit madu dan mengaduknya. Dan ia pun menuangkannya ke cangkir lain untuk dirinya sendiri. Disesapnya teh hangat itu perlahan sambil menerka-nerka, apa yang akan dilakukan Leo selanjutnya setelah mengetahui tentang Andra. Apakah ia akan membicarakannya sekarang? Hatinya mendadak gusar. Dipandanginya Leo yang tengah mengoleskan butter di atas rotinya. "Kamu enggak sarapan?" Tanya Leo melihat Cindra tidak memakan rotinya. "Aku sebenarnya tadi udah sarapan di belakang," sahut Cindra seraya kembali menyesap tehnya. "Sama Pram?" Cindra mengangguk penuh tanya. Hatinya tak tenang mendengar nada suara Leo yang mendadak berubah. "Mulai besok kita harus selalu sarapan bareng." Kini Cindra membulatkan kedua matanya. "Setiap hari?" Tanyanya tak percaya. Leo mengangguk tanpa ragu. "Kenapa?" Tanyanya lagi. "Tapi..." "Masukan itu sebagai bagian dari pekerjaan juga," tukasnya dengan tatapan yang tak ingin dibantah. Cindra terdiam dalam kebingungan. Ia sama sekali tidak bisa menerka maksud Leo dengan rencananya yang tiba-tiba itu. Leo tidak mungkin cemburu dengan Mas Pram. Mas Pram sudah bekerja selama tiga tahun, dan selama ini ia tidak pernah ada masalah dengannya. Dan ia juga sudah tahu Mas Pram sudah diangggapnya sebagai abangnya sendiri. "Boleh aku tahu alasannya?" Tanya Cindra akhirnya. "Karena aku maunya begitu," sahut Leo dengan cuek. Ya, Tuhan! Cindra kembali menarik nafasnya dan menghembuskannya dengan kesal. Sungguh ia tidak mengerti. Kemarin masalah Andra, lalu sekarang Mas Pram? Ada apa ini? "Aku kuliah cuma dua jam. Kamu ikut aku nanti." "Hah?!" Kali ini Cindra tak tahan lagi dengan semua rencana Leo yang tiba-tiba. "Aku ada kuliah jam sebelas nanti, Leo?" ujarnya. "Aku tahu. Kuliah online, kan? Kamu kan, bisa online di kampusku? Kamu bisa nunggu di cafe, di taman, di perpustakaan..." "Tapi buat apa aku ikut? Enggak ada gunanya juga cuma nungguin kamu?" "Aku mau diantar belanja ke mall." Cindra pun kembali terkejut. Buru-buru dibukanya ponsel untuk melihat jadwal harian Leo. Seiingatnya tidak ada jadwal belanja hari ini. "Tapi siang nanti kamu ada jadwal makan siang sama Papi dan Om Delon di kantor." Cindra menatap Leo dengan tanya. "Udah aku batalin." Leo menyahut dengan santai. Cindra mengangkat kedua alisnya. "Loh, kamu kok, baru bilang sekarang?" Protesnya. "Baru aku batalin tadi. Aku bilang sama Papi kalau kamu minta diantar ke mall untuk cari kado ulang tahun Mami." Dan kini Cindra tak bisa berkata-kata lagi. Leo selalu saja menggunakan dirinya untuk kepentingannya sendiri. Ulang tahun Mami Renata masih satu bulan lagi, buat apa dia cari kado dari sekarang? Lagipula sekali pun ia ingin membelinya, tak mungkin ia meminta Leo untuk menemaninya. "Kenapa? Gak suka?" Tukas Leo melihat kekesalan di wajah Cindra. Cindra tak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan. Percuma. Leo selalu benar. Dan ia memang tidak salah. Bukankah ia sudah membayarnya untuk melakukan tugas-tugas yang diperintahkannya? Sambil mengunyah rotinya Leo berusaha menahan senyum. Diliriknya Cindra yang masih tertunduk dengan raut wajah yang kesal. ... Cindra melirik jam tangannya. Sudah hampir pukul sebelas. Sebentar lagi kuliah online-nya akan di mulai. Ia pun membuka laptop-nya. Ternyata teman-temannya sudah banyak yang online meski dosen belum terlihat. Termasuk Andra. Mereka pun lalu saling menyapa. "Cindra... Kamu lagi di mana?" Suara Tamy yang cempreng menyapanya dengan berisik. Cindra memutar laptop-nya, dan seketika teman-temannya pun menjadi riuh. Mereka mengenal tempatnya. Sebuah taman besar yang berada di kampus swasta ter-elit dan terkenal di Jakarta. Kampusnya Pangeran Leo. Idola teman-teman wanitanya. Cindra tersenyum senang. Terkadang ia memang sengaja menggoda dan membuat iri teman-temannya. Mereka sangat berharap bisa bertemu langsung dengan Leo. Karena selama satu tahun kuliah, belum pernah sekalipun mereka bertemu Leo secara langsung. Pernah beberapa teman wanitanya sengaja main ke rumahnya agar dapat bertemu Leo. Tapi Leo malah enggan keluar dari kamar. Dan ujung-ujungnya Leo memarahinya. Dia memang tidak suka dikenal banyak orang meski pun orang-orang sudah terlanjur banyak yang mengenalnya. Tapi tiba-tiba Cindra dikejutkan oleh gemuruh suara teman-teman wanitanya yang berteriak memanggil nama Leo. Dengan reflek Cindra menoleh. Leo sudah berada di belakangnya. Melambaikan tangan sambil tersenyum. "Kuliah kamu udah selesai?" Tanya Cindra kebingungan. Leo mengangguk lalu duduk di sampingnya. Perasaan Cindra mendadak tak enak. Leo tak biasanya bersikap ramah kepada teman-temannya, apalagi dengan sengaja duduk bersamanya di depan kamera. Dan kini Leo mulai mengotak-atik laptop-nya. Membuka satu persatu kamera teman-temannya. "Jadi ini yang namanya Andra?" Tanyanya tiba-tiba, membuat jantung Cindra berhenti seketika. Sekarang Cindra menyadari rencana Leo. Leo menatap wajah Andra. Dan Andra lalu melambaikan tangan menyapanya. Tapi Leo hanya diam dan acuh. Dan sesaat kemudian ia beranjak bangun dan pergi begitu saja. Meninggalkan Cindra yang semakin kebingungan. Kini Cindra merasa takut. Ia tahu Leo pasti merencanakan sesuatu. Dari raut wajahnya terlihat sekali dia tidak menyukai Andra. Tapi dia memang tidak suka pada siapa pun laki-laki yang mendekatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN