Cindra tengah bersiap berangkat ke kampus saat interkom di dalam paviliun berbunyi nyaring. Sesaat setelah mengangkatnya, ia pun bergegas keluar dengan wajah yang panik.
Risma, seorang laundry attendant tampak berdiri dengan wajah tegang dan panik di depan pintu kamar Leo yang tertutup.
"Ada apa, Ris?" Cindra memandang Risma dengan wajah yang ikutan tegang. Risma meneleponnya untuk segera datang tanpa mengatakan alasannya.
"Itu Mbak, Mas Leo cari kaus kaki warna abu-abu. Tapi katanya bukan yang ini. Padahal ini semua saya ambil dari dalam lemarinya. Saya sudah coba cari yang lain di laundry room juga tidak ada lagi. Saya bingung dia cari yang seperti apa kalau semuanya enggak ada yang cocok? Mungkin Mbak Cindra tahu?" Risma menunjukan tumpukan kaus kaki di tangannya yang semuanya berwarna abu-abu itu.
Cindra menghela nafasnya. Ia sudah takut terjadi sesuatu pada Leo, ternyata hanya masalah kaus kaki. Ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya lalu tersenyum untuk menenangkan Risma yang masih ketakutan. Leo memang selalu saja membuat drama setiap akan berangkat kuliah. Dia sengaja mencari-cari alasan agar terlambat datang ke kampus. Diambilnya sepasang kaus kaki dari tangan Risma lalu mengetuk pintu kamar The King of Drama itu.
Sesaat kemudian terdengar suara keras Leo yang meminta Risma untuk terus mencari kaus kakinya. Cindra pun menerobos masuk dengan kesal.
"Nih, udah ketemu! Kaus kaki kamu yang berwarna abu itu ada dua lusin dan semuanya sama. Jangan cari gara-gara hanya untuk memecat orang lagi!" Sergah Cindra dengan gemas sambil meletakan sepasang kaus kaki itu di atas meja kopi di hadapan Sang Pangeran yang tengah sibuk bermain game di ponselnya.
Sesaat Leo menoleh acuh. "Siapa yang mau pecat orang? Dianya aja yang baper!" Sahutnya tanpa rasa bersalah, lalu kembali melanjutkan permainannya.
"Leo?!"
Suara keras Cindra membuat Leo akhirnya kembali menoleh. Dipandanginya Cindra yang masih berdiri di hadapannya dengan kedua tangan di pinggang.
"Mau aku pakaikan juga?" Tanya Cindra lagi dengan geram.
Dengan kesal Leo pun mengambil kaus kaki itu lalu mengenakannya.
Cindra menghembuskan nafas dengan lega, lalu memutar tubuhnya untuk keluar dari dalam kamar. Drama sudah selesai. Ia harus segera pergi atau Leo akan mencari gara-gara lagi untuk membuatnya terlambat kuliah.
"Temani aku sarapan!"
Dan benar saja dugaannya. Sambil kembali menarik nafas Cindra pun menyurutkan langkah dan membalikan tubuhnya kembali.
"Aku ada kuliah pagi, Leo," sahutnya sambil berusaha menahan emosi.
"Aku juga! Kita berangkat bareng aja. Nanti aku akan suruh supir antar kamu duluan," sahut Leo tak perduli.
Ya, Tuhan! Cindra hampir saja kehilangan kesabaran. Diaturnya nafas untuk membuatnya tenang. Lalu diliriknya jam di tangannya. Masih ada sedikit waktu. Ia tahu kalau perintah si pangeran kodok itu tidak dituruti, maka dia akan semena-mena membuat titah lainnya yang lebih sulit. Dan dia akan beralasan bahwa menuruti semua keinginanya adalah bagian dari pekerjaannya sebagai asisten pribadinya.
Sambil menarik nafas, ia pun akhirnya menyerah. "Ok. Tapi gak bisa lama. Aku cuma punya waktu lima belas," tukasnya.
Leo pun tersenyum senang. Secepat kilat dikenakannya sneaker, lalu menarik tangan Cindra keluar dari dalam kamar menuju ruang makan keluarga yang terletak di samping taman bunga. Di sana tampak Mami Renata tengah menikmati sarapannya sendirian.
"Loh, ada Cindra? Mau sarapan bareng Mami?" Wanita itu menyambut Cindra dengan gembira.
"Iya, Mi," sahut Cindra seraya menyunggingkan senyum. Mendadak kekesalannya lenyap seketika.
"Kamu mau sarapan lagi?" Mami Renata memandang Leo keheranan.
Leo menggeleng. "Cuma menemani Cindra. Katanya dia belum sarapan. Makanya Leo ajak ke sini," sahutnya santai seraya mencomot sebuah apel di atas meja.
Tiba-tiba saja Cindra merasa darahnya naik ke ubun-ubun. Ditatapnya Leo dengan mata melotot.
Sesaat Mami Renata memandangnya dengan bingung. "Kamu enggak tahu Leo sudah sarapan?" Tanyanya melihat tatapan jengkel Cindra pada Leo. Dan saat Cindra menggeleng, wanita itu pun sontak tertawa terbahak-bahak. "Kamu dikerjain Leo lagi!" Imbuhnya di sela-sela tawa.
Cindra kembali menghembuskan nafasnya. Mami Renata itu memang mirip sekali dengan Leo. Dia selalu tertawa jika Leo berhasil 'mengerjai' nya. Baginya kalau Leo tidak sampai membuatnya menjerit atau menangis maka dianggapnya ia baik-baik saja. Padahal saat ini ingin sekali rasanya ia menceburkan Leo ke dalam air dingin sampai bersin-bersin dan hidungnya tersumbat lagi. Dan ia tidak akan menolongnya.
Dan emosi Cindra semakin memuncak saat dilihatnya Leo malah mengedipkan mata usilnya sambil tersenyum penuh kemenangan. Ia tahu, Leo sedang dalam misi balas dendam karena ditinggal pergi kemarin siang. Entah apa yang akan dilakukannya lagi nanti. Ia tidak akan berhenti sebelum puas.
"Aku udah sarapan tadi bareng Papi," sahutnya tanpa rasa bersalah.
"Enggak apa-apa kamu sarapan bareng Mami. Papi tadi berangkat ke kantor pagi-pagi sekali untuk meeting. Mami minta Leo menemaninya sarapan duluan," ujar Mami sambil meletakan sebuah roti bagel di atas piring Cindra dan menuangkan teh lemon madu ke dalam cangkir.
Cindra pun kembali tersenyum. Melihat perhatian wanita itu membuat hatinya meleleh seketika. Kali ini ia memaafkan Leo, demi Mami Renata.
Mami memang sangat senang ditemani sarapan sambil bercerita. Karena Leo jarang sekali mau menemaninya. Tapi kali ini ia tidak bisa berlama-lama. Kuliah paginya akan berlangsung kurang dari satu jam lagi. Ia takut terjebak kemacetan di jalan.
Dan yang ditakuti Cindra pun akhirnya benar-benar terjadi.
"Leo, aku turun aja, deh. Aku mau naik ojek aja," Cindra menatap gelisah antrian kendaraan di depannya yang tak bergerak lagi sejak dua puluh menit yang lalu.
Tapi Leo malah sibuk bermain game di ponselnya.
"Leo!" Teriak Cindra dengan kesal.
Leo sontak menoleh. "Enggak boleh! Sebentar lagi juga sampai. Sabar, dong! Setiap hari juga kan, macet?" Sahutnya acuh.
"Aku tahu setiap hari macet, makanya biasanya aku tuh, naik ojek biar enggak buang-buang waktu," sungut Cindra.
"Kalau sama aku bilangnya buang-buang waktu. Kalau sama cowok lain kamu senang-senang aja pergi seharian," sahut Leo lagi sambil melemparkan ponsel ke dalam tasnya dengan kesal.
Cindra menatapnya tanpa kata. Ya, Tuhan ternyata benar ia masih dendam. Tapi, kenapa dia bisa tahu?
"Tahu dari mana?" Tanyanya penasaran.
"Jadi benar kemarin kamu pergi pacaran?" Leo membulatkan kedua matanya.
Ah, sial! Ternyata dia menjebaknya. Sekarang ia tidak bisa mengelak lagi.
"Kalau ya, kenapa?" Tantangnya.
"Siapa dia?" Leo mendongakkan wajahnya. Ia benar-benar merasa tertantang.
"Kali ini aku enggak akan kasih tahu!" Sahut Cindra dengan gaya angkuh.
"Aku akan tahu!"
"Aku enggak perduli. Aku udah kasih tahu dia siapa aku. Kamu enggak akan bisa mengancamnya!" Balas Cindra sambil tersenyum penuh kemenangan.
Cindra melirik wajah Leo yang memerah dalam diam. Ia bukannya tak menyadari kecemburuannya. Ia tahu Leo takut perhatiannya akan terbagi. Lalu dia diabaikan. Karena Leo tidak pernah punya teman dekat, atau kekasih. Beberapa kali Mami Renata mengenalkannya kepada anak-anak gadis teman-teman sosialitanya, tapi tak ada satu pun yang menarik perhatian Leo. Pernah juga beberapa teman wanitanya mencoba terang-terangan mendekatinya, tapi hanya beberapa hari mereka sudah tak sanggup. Karena Leo sangat acuh. Mereka bahkan sering ditinggalkan Leo bermain game di dalam kamarnya.
Ia ingin Leo menyadari bahwa mereka sudah dewasa. Mereka tidak bisa selalu bersama selamanya. Mereka akan menempuh kehidupan masing-masing. Dan akan memiliki pasangan masing-masing. Leo harus belajar mandiri. Dia tidak boleh terus-terusan bergantung padanya.
Dan Leo masih membisu hingga mobil akhirnya berhenti di depan kampusnya.
"Sampai nanti!"
Cindra melompat turun. Tapi Leo tak menoleh sedikit pun. Wajahnya masih terlihat kesal. Ada sedikit rasa bersalah di hati Cindra. Leo memang menyebalkan. Tapi ia juga tidak ingin menyakiti perasaannya. Dibalik sikapnya yang usil, ia sebenarnya orang yang sangat rapuh dan perasa. Hatinya mudah sekali terluka.
"Hello Sweety!"
Sebuah suara mengagetkan Cindra. Andra tiba-tiba saja sudah berjalan di sampingnya.
"Kamu telat juga?" Tanyanya gembira. Kejutan yang manis.
Andra tersenyum menggoda. "Kita kan, sudah pakai bahasa kalbu," sahutnya membuat Cindra tersipu. Dan sesaat kemudian ia pun sudah melupakan Leo.
Berada di kampus selalu membuat Cindra bahagia. Apalagi sejak berpacaran dengan Andra, ia semakin tak ingin pulang. Kalau bisa ia ingin berada di kampus sampai malam tiba. Biar tidak perlu bertemu lagi dengan Leo yang usil dan menjengkelkan.
Tapi tiba-tiba Cindra dikejutkan oleh suara riuh teman-temannya saat mereka tiba di dalam kelas. Dan yang lebih mengejutkan lagi mereka lalu beramai-ramai mengeluarkan ponsel dan mengambil gambar dirinya dan Andra.
Cindra dan Andra saling berpandangan dengan bingung. Hingga Dosennya yang bernama Pak Tantra itu pun akhirnya berteriak, meminta teman-temannya untuk diam. Lalu meminta ia dan Andra untuk duduk di deretan kursi paling depan yang kosong.
Tapi sungguh ia tak bisa berkonsentrasi penuh. Ia ingin sekali mengetahui apa yang membuat teman-temannya menjadi gaduh. Bukankah mereka sudah tahu kalau ia dan Andra sudah berpacaran selama dua bulan ini?
Tapi saat ini ia bahkan tak berani menoleh ke belakang karena Pak Tantra terus mengawasinya.
Diliriknya wajah Andra yang mengusap lembut tangannya sambil tersenyum. Membuat hatinya sedikit lebih tenang.
Empat puluh menit berlalu, akhirnya kelas pun usai. Cindra menarik nafas dengan lega. Tapi ternyata kegaduhan kembali berlanjut.
"Makanya kalau punya pacar dikenalin dong, Ciiin!" Tamy, teman sekelasnya menghampiri kursi Cindra sambil menunjukan sebuah postingan di sosial media Leo yang berbunyi:
"Hello semua! Kalau ada diantara kalian yang tahu pacar barun adik saya, Cindra Estella, bisa DM ke saya. Hadiahnya, dua tiket konser gratis buat dua orang tercepat yang memberi informasi akurat."
Seketika wajah Cindra memerah. Ia hampir saja menangis. Ia sangat malu. Ditatapnya Andra dengan perasaan bersalah. Andra lalu merangkulnya. Membuat teman-temannya kembali gaduh dan kembali mengambil foto keduanya.
...
Dengan kemarahan di dadanya, Cindra mengetuk keras-keras pintu kamar Leo yang tertutup.
Seketika pintu terbuka. Leo tersenyum menyeringai.
"Kamu keterlaluan!" Cindra memukuli Leo dengan raket tenis yang sengaja dibawanya.
Tapi Leo dengan tubuh tingginya dengan mudah dapat menangkis lalu merampas raket tenis itu dari tangan Cindra.
"Kamu yang keterlaluan! Semua teman-temanmu tahu siapa pacar kamu. Tapi kamu enggak kasih tahu aku!" Tukasnya.
"Jangan pura-pura enggak tahu alasannya!" Cindra mendekatkan wajahnya.
Tapi Leo tidak takut, ia malah sengaja mengintimidasinya dengan membuat wajah mereka hampir bersentuhan. Kedua matanya menatap tajam Cindra tanpa berkedip. Membuat Cindra akhirnya mundur selangkah dengan takut.
"Aku udah bilang, kamu tinggal di rumahku. Kamu udah dianggap keluarga di rumah ini. Jadi aku berhak tahu siapa pun orang yang berhubungan sama kamu. Apalagi cowok!" Suara Leo terdengar seperti orang yang ingin menunjukan kekuasaannya. Dia tidak suka diintimidasi oleh siapa pun. Termasuk oleh Cindra.
Dan Leo masih terus menatapnya hingga akhirnya Cindra pun tertunduk. Ia tahu ada saat di mana Leo bersungguh-sungguh.
"Ehm!"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari balik pintu kamar. Membuat Leo akhirnya berhenti menatap Cindra dan menjauhkan wajahnya. Ketiga teman laki-lakinya sudah berada di belakang Leo. Menepuk-nepuk pundaknya untuk membuatnya tenang.
Sesaat Cindra tersadar. Ia lupa kalau siang ini Leo ada jadwal belajar kelompok dengan teman-teman sekelasnya. Pantas saja dia marah sekali. Ia memang tidak suka dipermalukan di depan teman-temannya. Dan selama ini tidak ada seorang pun yang berani memarahinya kecuali kedua orang tuanya.
Tanpa berkata Cindra memutar tubuhnya kembali, lalu masuk ke dalam elevator yang membawanya turun.
Dan Leo pun menghembuskan nafas lega saat punggung Cindra menghilang dari pandangannya.