Guru Baru

1002 Kata
Berdendang seceria burung prenjak, nangkring jumpalitan di tangkai pohon ketela. Seriang kera yang kebetulan ketahuan mencuri pisang di belakang rumah, dan diusir Syahid tadi pagi. Semerdu musik safana di padang ilalang hijau nan megah, seelok kupu-kupu pelangi dan capung yang beterbangan saling kejar, mengarungi angkasa. Seperti itulah ceria wajahku kala berangkat ke Sekolah Dasar Negeri Cahaya di hari pertamaku, naik sepeda membonceng Syahid. Semesta sepakat, kali pertamanya bagiku, selain kebahagiaanku bersama Kakek, inilah bahagiaku kedua. Aku dan Syahid mendendang bersama lagu, Satu Nusa Satu Bangsa disusul lagu Indonesia Raya. Kawan, kami adalah anak negeri ini, jika kita tak bangga pada negeri ini, siapa lagi yang akan menegakkannya? Apa para oknum koruptor yang mengisap darah dan keringat rakyat jelata, yang membuat banyak perut melilit dan kebodohan merajalela? Sampai di titik ini, Kawan, pendidikan itu penting. Sekolah atau tidak, formal atau non formal, belajar dari apa pun dan bagaimana pun, jangan sekali-kali meremehkan ilmu. Karena pelajaran yang kudapat dari Kakekku, ’Barang siapa meremehkan ilmu, maka zaman akan meninggalkannya.’ Jika ilmu diremehkan, bagaimana kita bisa menikmati televisi saat ini? Kita menikmati jalan terjal ini? Perkembangan tekhnologi di kota, handphone, ah! Aku tak punya HP lagi, sudah kujual untuk makan. Tapi kawan, pada intinya jangan pernah kau remehkan ilmu, sebab itulah salah satu tokoh idolaku adalah James Watt, di tahun 1764 tertarik untuk mengembangkan mesin ciptaan Newcomen yang belum sempurna. Walau sesungguhnya, Watt bukanlah orang yang pertama yang membikin mesin uap. Rancangan serupa disusun oleh seorang penemu mesin uap sederhana bernama Hero dari Iskandariyah jauh sebelum masa James Watt yaitu di awal tahun Masehi. Di tahun 1686 pula, Thomas Savery membuat paten sebuah mesin uap yang digunakan untuk memompa air, dan di tahun 1712, seorang Inggris Thomas Newcomen, membuat pula paten barang serupa dengan versi yang lebih sempurna, namun mesin ciptaan Newcomen masih bermutu rendah dan kurang efisien, hanya bisa digunakan untuk pompa air dari tambang batubara. Dan James Watt, salah satu tokoh dalam daftar idolaku itu, orang Skotlandia itu, adalah tokoh kunci Revolusi Industri. Perbedaannya dengan mesin Newcomen adalah isolasi pemisah untuk mencegah menghilangnya panas dari silinder uap, dan mesin ganda hingga empat kali lebih cepat dalam bekerja. Dari kegigihan dan ketekunannya belajar ilmu untuk dimanfaatkan oleh banyak orang, walau aku tak tahu kisah selanjutnya si Watt. Tapi aku belajar satu hal darinya, ’Tugas belajar tidak berhenti, sampai kapan pun hingga raga terpisah.’ Ah! Cukuplah. Kami telah sampai di depan Sekolah, tak ada gerbang, semua serba terbuka hingga mirip sekolah alam. Kami berpisah, Syahid ke kelas lima. Aku berjalan memasuki kantor. Saat lonceng terdengar mendentum tiga kali, aku diberi tugas pertama. Mengajar kelas lima. Menjadi guru sekolah di Sekolah Negeri Cahaya adalah untuk semua pelajaran, tapi guru yang lain bisa membantu. Kau bayangkan, Kawan, aku harus menguasai semua mata pelajaran, tapi bukankah pelajaran Sekolah Dasar masih mudah? Hanya perlu penyampaian yang menarik saja kurasa. Jatahku pertama mengajari kelas lima. Itu tugas dari Pak Danu untukku di awal. ”Berhati-hatilah!” Pak Danu menepuk pundakku, meyakinkanku. Seperti seorang Pilot yang hendak berangkat terbang. Sang Komandan takut ada apa-apa dalam simulasi percobaan penerbangan pertama kali. Matanya meyakinkanku seolah berkata, kau harus berhasil, kemudikan pesawatmu dengan sekuat tenaga. Aku pun melangkah dengan tegap, membawa buku matematika untuk kelas lima. Ternyata Bu Siska, Bu Ria dan Pak Yusuf telah keluar duluan. Aku melangkah menuju ruang kelas lima, ditandai dengan huruf di kertas di atas pintu. Suaranya sangat ramai, saat melewati ruang kelas enam, kulihat tatapan aneh Bu Siska yang berdiri di dalamnya, di depan murid-muridnya. Mata itu menatapku aneh, ada gurat risau di sana. Kenapa? Aku masuk ke dalam kelas lima. ”Selamat pagi anak-anak!” Mataku melotot sejenak, ruangan kelas bukan lagi mirip ruangan. Tentu kau akan kaget, Kawan, jika kau masuk dan berada di sana bersamaku. Kemarin, aku memang belum sempat masuk ke kelas mana pun. Kau benar-benar ingin tahu apa yang kulihat, Kawan? Tepat di sana, satu orang memegang sapu, dan berdiri di atas meja di barisan sebelah kiri, dan di barisan tengah seorang juga tengah memegang sapu dan mereka main perang seolah gladiator zaman Yunani kuno. Yang lain bersorak-sorai riuh, menyemangati. Yang lain lagi, masih beberapa yang menggengam kertas yang dilipat-lipat, hingga menggulung rapat, saling melempar terjadi, seru! Mulutku terngangga, bengong setengah mati, mataku terpana dengan pemandangan ini. Karena hanya aku yang terdiam, selainnya, seluruh siswa yang berjumlah sekitar tiga puluh itu bermain riuh. Syahid juga di kelas itu, dia sedang main panco dengan seorang siswa di belakang tempat duduknya. ”Anak-anak, selamat pagi!” Aku sedikit mengeraskan suaraku. Semua murid berhenti, total, lunas. Yang masih memegang sapu lidi, tegak sapunya menjulang. Yang akan melempar gulungan kertas, menoleh ke arahku dan terpaku pandangannya. Yang sedang berdiri di kursi, terdiam dan masih nangkring di sana. Aku tersenyum ramah, menganggukkan kepalaku. ini kelas atau medan pertempuran? Seolah mereka tidak peduli dengan adanya seorang Guru, bahkan ada guru baru yang akan memperkenalkan dirinya sebagai bagian dari kelas mereka. Guru akan menjadi teman mereka dan selalu bersama mereka dalam menimba ilmu dan mencari sesuatu yang baru. Guru, yang selalu tergambar dalam imajinasi kita adalah seorang yang luar biasa yang mampu membawa perubahan bagi para murid-muridnya menuju pencerahan intelektual. Lalu, kenapa disini seorang guru seolah adalah seorang pedagang yang lewat begitu saja? Benar-benar sekolah Cahaya luar biasa, bahkan untuk menjadi seorang guru harus berjuang untuk mendapatkan perhatian terlebih dahulu. Baru, dia akan dipercaya untuk boleh mengajar para siswa - siswanya. Tantangan ini semakin membuat jiwa semangatku bergelora. aku pun, memberi salam lagi dengan suara yang lebih keras. Para siswa kembali melihat sejenak kearahku dan diam untuk dua detik saja. Lalu, mereka riuh ramai kembali seperti sebelumnya. Seolah bukan hanya dianggapnya aku pedagang yang lewat, melainkan seorang tukang sapu yang lewat dan tengah menyapu kelas yang mereka tidak peduli lagi, apakah kelas akan bersih atau tidak. Itu bukan urusan mereka. begitulah hari pertamaku masuk ke kelas, dan aku menatap para siswa dan terkesima dengan pemandangan mereka yang asyik bermain. Dan keriuhan kembali terulang, saling lempar, perang-perangan, panco, humpimpah, main perang jari-jari, memukul meja, musik drum meja. Semuanya gaduh. Dahsyat!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN