Ts'ai Lun, Terima Kasih

1512 Kata
Semangat yang berkobar tidaklah cukup. Tapi setidaknya itu mendobrak segala keterbatasan yang ada. Berpikir positif adalah kunci utama pembuka rezeki, karena kita adalah apa yang kita pikirkan. Setidaknya kini aku jadi trainer untuk diriku sendiri. Kususuri kembali jalanan yang penuh debu ini. Debu-debu jalan menyambutku tak bersahabat. Tak tersisa alam yang indah, sejuknya dedaunan, atau ada pepohonan rindang penuh kicau burung. Apakah masyarakat kota tak pernah mendamba dan memimpinya? Atau pikiran mereka telah seluruhnya penuh sesak oleh keasyikan dunia yang serba panas dan serba tak peduli? Apakah aku akan betah hidup di kota seperti ini? Bagaimana jika seumur hidup? Ah! Membayangkan saja aku tidak sanggup. Bayangkan saja, tanpa ada jarak maupun pembatas, tetangga sebelah rumah saja tidak kenal namanya kalau tidak ada hajatan atau mungkin syukuran. Itu pun jarang. Lalu? Kemana arah hidupku? Itu dia, Kawan, aku sedang berpikir hingga hampir setahun ini. Ini sangat susah kujawab. Aku sebatang kara, tak ada harta warisan atau yang lain yang tersisa, yang tersisa hanya yang melekat di tubuh ini. Tak ada yang lain, kecuali Tuhan. Aku melangkah, kembali menyusuri jalan. Sebuah perusahaan yang terlihat sederhana, hanyalah seperti ruko-ruko di pinggir jalan. Bukan, bukan itu yang ingin kukabarkan. Di etalase depan ruko itu. Tertulis dalam lelukan kertas yang dibuat bentuk segitiga, dan menghadap ke arahku, menantangku, tertulis, ’Dibutuhkan karyawan, khusus laki-laki perkasa!’ ini dia! Sebuah kertas bertuliskan yang membuat mataku bahagia menatapnya. Sepertinya aku harus berterima kasih kepada Ts’ai Lun. Kau tahu siapa dia? Dan kenapa aku harus berterima kasih padanya? Dia bukan salah satu tokoh yang diidolakan oleh kakekku, terkaanmu salah. Dia adalah salah satu tokoh yang kukagumi. Jika kakekku punya tokoh-tokoh idola, tentu aku sebagai salah satu garis keturunannya, aku juga mempunyai tokoh-tokoh idola. Bukan plagiat, mungkin ini yang dinamakan sebagai ’ikatan darah.’ Ts’ai Lun adalah penemu bahan kertas pertama kali. Mungkin kalian asing mendengar namanya, apalagi seorang penemu kertas? Menimbang betapa pentingnya penemuan kertas, amatlah mengherankan jika orang-orang meremehkannya. Tidak sedikit eksiklopedi besar tak pernah mencantumkan namanya, barang sepatah pun. Ini sungguh keterlaluan menurutku. Dia adalah seorang pegawai negeri di pengadilan kerajaan yang pada tahun 105 M mempersembahkan contoh kertas kepada Kaisar Ho Ti. Catatan Cina tentang penemuan Ts’ai Lun ini—terdapat dalam penulisan sejarah resmi dinasti Han—sepenuhnya terus terang dan dapat dipercaya, tanpa sedikit pun bau-bau magis atau dongeng. Orang-orang Cina senantiasa menyebut nama Ts’ai Lun sebagai penemu kertas dan namanya tersohor di seluruh Cina. Kertas yang ia perkenalkan berasal dari bambu, diiris-iris tipis, dibersihkan dan dijemur. Kreativitas yang memukau, orang pertama, pencipta pemikiran strategis, berpikir beda tentang penggunaan suatu benda. Ini inovasi. Tidak banyak yang diketahui tentang kehidupan Ts’ai Lun. Kaisar langsung menaikkan pangkat Ts’ai Lun, memberinya gelar kebangsawanan. Tapi, pada akhirnya. Dia terlibat komplotan anti istana yang menyeret pada kejatuhannya. Sejarah mencatat bahwa sesudah dia disepak, Ts’ai Lun mandi bersih-bersih, mengenakan gaunnya yang terindah lantas meneguk racun. Ini bagian kepahlawanan yang hilang bagiku. Walau aku mengidolakannya, itu hanya sebatas prestasinya saja. Kata Kakek, setiap kesuksesan itu selalu diiringi oleh kemantapan spiritual, maka jika manusia kehilangan iman, hilanglah sudah kesejatian hidupnya. Ts’ai Lun, sebuah kisah yang tragis. Aku mendekat, tak kupedulikan toko apa itu, aku butuh kerja. Setidaknya ada uang untuk pindah dari kota yang seolah mengutuk keberadaanku ini. ”Maaf,” aku menyapa wanita paruh baya yang make up-nya sedikit berlebihan, bayangkan saja wajahnya lebih ngeri daripada, kuntilanak dalam film-film yang dibedaki hingga putih. Yang ini dibedaki kemerah-merahan seperti buah apel merah ranum. Wajah itu lebih lucu dari badut, aku ingin tertawa, tapi sekarang aku sedang melamar pekerjaan. Wanita berwajah merah itu melihatku. ”Saya mau melamar pekerjaan di sini, ini biodata dan surat lamarannya,” aku mengulurkan map merah itu. Menaruhnya di atas etalase. Wanita norak merah itu melihat mapku, ”Apakah kau sudah siap?” wanita itu menilik tubuhku yang terlihat ringkih. Dia memerhatikanku dari bawah hingga ke ubun-ubunku. Penuh selidik, ”Apa kau kuat?” Aku sedikit tersentak, suaranya sedikit keras. Aku menegakkan tubuhku, setegak-tegaknya agar terlihat lebih macho, tidak ringkih. Aku kuat! Tujuh ratus badai telah kulalui, aku kuat dan berani. Aku meyakinkan diriku sendiri. ”Saya kuat, Mbak.” ”Boleh! Boleh!” ada senyum kecil menghias wajahnya yang menor, sambil manggut-manggut, ”Tapi, apakah kamu ahli dalam bidang ini?” ”Oh, tentu, Mbak!” tanpa ba bi bu, aku mengiyakan. Aku bertambah yakin. ”Bagus!” ”Kalau boleh tahu, sebenarnya lowongan ini untuk keahlian apa, Mbak?” ”Ini panti pijat modern, katanya tadi kamu ahli!” mata wanita itu mendelik, aku serius kaget. Kulihat saksama sekeliling ruko itu, ada gambar wanita maupun pria berpakaian tak senonoh, dipajang begitu saja. v****r. Tertulis, ’Layanan maut!’ Tanpa perlu pikir panjang, kuambil map itu, merebutnya dari tangan wanita berwajah merah seperti tomat. Dan aku berjalan cepat meninggalkan ruko itu sambil berteriak, ”Tidak jadi Mbak.” Kususuri jalan kembali. Seorang lelaki berkendara motor menyenggol lengan kiriku dari belakang. Aku terdorong ke kanan, dan hampir masuk ke parit yang berlubang, ”Hei! Lihat-lihat dong!” Lelaki yang memakai ransel besar di punggungnya itu berhenti. Tubuhnya besar, lumayan juga. Tapi aku menegakkan tubuhku kembali, mencari kestabilan terbaik. Bersiap-siap. Lelaki itu mendelik, aku kaget. Kenapa dia marah? Padahal dia yang memulai. Dia menabrakku! Aku tak takut, walau tak membalas mendelik, aku hanya tegar dalam berdiriku, mengantisipasi setiap kemungkinan, tegak setegak-tegaknya. Tanpa dinyana, lelaki itu mendengus keras. Mengambil sesuatu dalam tas ranselnya, aku menunggu. Mau apa dia? Aku jadi penasaran. Lelaki yang sedikit tambun itu melipat-lipat sebuah kertas menjadi gulungan yang acak-adut. Wajahnya begitu mengesalkan, jujur saja. Dia melemparkan kertas itu. Gulungan kertas itu mengenai wajahku, aku kena. Aku memang paling tidak bisa menangkap bola atau menghindar, pasti kena. Aku sigap! Kuambil gulungan kertas itu, hendak kubalas melemparnya. Tapi, aku telat. Lelaki itu telah raib, ke mana perginya lelaki kurang ajar itu? Kau tahu, Kawan, pasti dia takut kepadaku dan lari terbirit-b***t. Atau dia bersembunyai di sekitar sini? Mataku mengitar sekitar, ramai memang, bisingnya jalan dan kendaraan yang lewat menghalangi pandanganku ke segala penjuru. Aku benar-benar kehilangan jejaknya. s**l! Tanganku semakin meremas kuat gulungan kertas biru muda itu, aku bertemu dengan kertas lagi. Kertas ini bahkan membuatku mengkal setengah mati. Tapi, aku penasaran juga. Apa isinya? Mungkin sebuah misteri? Atau surat cinta? Atau surat PHK? Atau jangan-jangan cek? Sepertinya bukan. Kubuka pelan, susah payah. Kertas itu telah sempurna lusuh. Terpampang dalam kertas itu di sebelah kiri, terbuka pertama kali, banyak tulisan namun terlihat jelas tulisan besar berwarna hitam, dengan font huruf yang indah dan tak kutahu namanya. Tulisan itu terdiri dari empat huruf, ’LOWO.’ Sudah lelah aku rasanya hari ini, sarapan baru dengan roti, perut keroncongan. Kau tahu kawan, perasaanku begitu marah. Terlihat kotak sampah di depanku, seorang pemulung sedang membersihkannya. Kubuang dengan keras kertas yang sempurna belum terbuka itu dengan desahan kesal. Pemulung itu heran melihatku, kubiarkan saja, dia juga melanjutkan aktivitasnya mengaduk-aduk kotak sampah itu. Mencari yang masih bisa dimanfaatkan. Kulanjutkan langkah kakiku! Hingga sekitar 50 meter. Bodoh! Aku menepuk jidatku. Otakku bermain kata-kata, mencoba merangkai beberapa kemungkinan huruf. LOWO, LOWO, LOWO, LOWO, LOWONGAN! Benar! Lowongan. Pasti lowongan pekerjaan. Tanpa berpikir panjang, aku membalik langkahku. Berlari, kakiku begitu mantap. 50 meter cukup membuatku terengah-engah. Si Pemulung kembali melihatku dengan mengerutkan dahinya, alisnya hampir beradu. ”Maaf, saya mau mencari kertasku tadi,” masih terengah-engah. ”Enak saja! Pasti kamu mau mengambil jatahku, ini daerah kekuasaanku! Pura-pura pakai alasan. Lagaknya di awal membuang kertas, gak boleh!” Sobat! Jika kau berada di kota, kemudian engkau menjadi pemulung, dan terjadi kasus seperti yang kualami saat ini, maka ikutilah petunjukku, ikutilah apa yang akan kulakukan padanya. Aku memiting sesuatu dari sakuku, ”Sekarang boleh, kan?” Senyumnya mengembang dan menyambut uang kertas lima ribuan dari tangan kananku. Benar, bukan? Jika dia masih mengaduk-aduk terus isi kotak sampah itu, belum tentu dia mendapatkan uang lima ribu. ”Baiklah! Ambil saja semuanya, aku pindah ya?” senyumnya teramat ramah, seramah senyum calon anggota legislatif sebelum menjadi anggota dewan. Dia pergi, aku mengaduk-aduk isi kotak sampah itu. Di mana gulungan kertas itu? Ternyata si pemulung tadi telah benar-benar mengobrak-abrik isi tempat sampah itu. Peluh membasah, tanganku penuh dengan kotoran. Aku tak peduli. Mataku awas bagai elang di angkasa membubung, menajamkan, mencari makanannya. Di tumpukan tengah, kertas itu kutemukan. Kertas biru muda. Sedikit kotor, kuambil dengan hati-hati. Kuangkat tepat di depan wajahku. Kubuka pelan, otakku yang tadi merangkai kata, benar-benar penasaran ingin membuktikan daya analisanya. Sangat pelan, gemetaran tanganku dibuatnya. Huruf kelimanya adalah ’N’ selanjutnya ’G’. Berarti sudah lowong. Tak salah lagi. Kubukan sempurna dan di bawah sinar mentari yang sebentar lagi mendekati waktu ashar. Kawan, apakah kau juga ingin membacanya? Baiklah, aku juga sangat penasaran ketika seluruh kertas itu terbuka. LOWONGAN PEKERJAAN Di butuhkan tenaga pengajar, untuk mengajar di Sekolah Dasar di desa Cahaya. Minimal lulusan SMA dan sederajat, Sarjana diutamakan, jurusan apa saja. Kriteria; mampu bertahan hidup di pedesaan, punya keteguhan jiwa seorang guru sejati! Tertanda, Kepala Sekolah Danu Ramajasa. Ada perasaan aneh yang melingkupiku, hatiku tenang dan damai. Sungguh. Seolah aku telah menemukan apa yang kucari. Dan aku mengulang kata, ’Cahaya!’ aku mencari cahaya, mimpi tentang cahaya, harapan tentang cahaya, semua tentang cahaya. Begitu meneduhkanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN