Karcis dan Gerbang Cahaya

2437 Kata
Ini dia. Saran yang kuambil dari temanku sesama pemulung. Namanya Ari Sihasale, mirip artis namanya. Dia dulu dari sebuah kampung terpencil di Kalimantan, berbekal sobekan koran yang tanpa sengaja didapatkannya kala membeli ikan asin di kecamatan. Koran pembungkus. Sebungkus koran itu baginya adalah harta, terpampang kondisi Jakarta dan harapan-harapan. Sebagai Ibukota, tentu banyak investasi baik internal maupun eksternal berada di sana. Kau tahu, Kawan, apa yang dilakukannya ketika nama Jakarta ada di sana, kebetulan di situ ditulis tentang pasar uang. Dia langsung pamitan kepada kedua orangtuanya merantau ke pulau seberang. Nekat, senekat-nekatnya. Koran pembawa petaka! Begitu katanya padaku, ketika bertemu dengannya di pedagang loakan. Setidaknya, nasibnya sama denganku walau aku merasa lebih baik darinya. Lebih baik karena aku pernah mencicipi nikmatnya sekolah, hingga kuliah, sedang dia sekolah dasar saja tidak mencicipinya. Saban hari, dia bekerja bersama pekerja pencari barang bekas. Satu hal yang kupelajari darinya, ’Hemat! Kumpulkan uang sebanyak-banyaknya jika kau gagal, kembalilah ke rumah dan jadilah pahlawan di sana daripada jadi pecundang di negeri yang besar.’ Sampai lupa, aku mengambil sarannya jika ingin murah ketika bepergian, maka naiklah kereta api. Aku menuju stasiun, terlihat kereta entah tahun berapa, sudah terlihat karatan dan buruk. Pemerintah masih saja memercayakan barang panjang besi ini untuk mengangkut manusia. Aku tak ambil pusing, aku ingin segera ke desa Cahaya yang melambai dalam anganku. Antrian di loket begitu padat. Aku baris di belakang. Satu-persatu, satu langkah ke depan, satu langkah lagi. Barisan baru terbentuk di belakangku, tepat di belakangku seorang lelaki tambun sedang menyeruput es krim. Seumur hidup aku baru sekali menyeruput es krim, hanya sekali. Catatan sejarah ini terjadi ketika aku mendapatkan ranking satu waktu kelas satu SD, setelah itu walau ranking satu terus, Kakek tak pernah membelikan es krim lagi. Kakek takut gigiku rusak, berlubang, dan akhirnya keropos. Di barisan belakang sangat ribut, kata-k********r keluar, menggerutui barisan depan yang katanya lelet! Telingaku paling tidak betah jika ada kata makian, kasar, hinaan, ejekan. Dokter Masaru Emoto yang memperkenalkan bahwa air itu hidup dan merespon ucapan pasti sepakat dengan pendapatku bahwa tubuh manusia yang 75% lebih terdiri dari air tidak betah mendengar kata-k********r. Tinggal sepuluh orang di depanku, perasaanku terasa bungah. Di belakang masih saja ribut, kulihat sejenak ke belakang. Mereka demikian berdesak-desakkan. Aku kembali melihat ke depan. Tinggal sembilan, delapan, tujuh... Kuhitung terus. Antusias. Empat, tiga, dua..., Senyumku semakin tak bisa kututupi. Bahagia sekali hatiku, belum pernah aku sebahagia ini selama setahun di kota Jakarta. Kamu tahu, Kawan, aku sangat b*******h, bersemangat, antusias. Karena orang yang tidak punya antusiasme dan memilih mengalah pada keadaan seperti kata Andrew Matthews, ’Kita punya pilihan, yaitu antara benar-benar hidup, atau semata-mata hidup.’ Satu orang di depanku masih membeli tiket, suasana gerah, baju satu-satunya yang melekat di tubuhku telah basah dengan keringat, apalagi ditambah beban tas di punggungku. Lunas. Giliranku. Aku tersenyum. Namun, senyumku hilang kala petugas di hadapanku itu menatapku terdiam, mulutnya hendak terbuka tapi seolah ragu, apa penampilanku terlihat aneh? ”Benar-benar habis ya, Pak, tiketnya?” Petugas yang terlihat kurus itu mengangguk, ”Iya, Mas,” kali ini dia tersenyum kepadaku, dan kepada beberapa orang yang menunggu di belakangku tadi. Semua orang yang mengantri tiket bubar. Tubuhku lemas, kala pembeli tiket bubar. Aku berjalan lunglai, mendekati beton tegak kokoh di dekat tempat tunggu. Kulorotkan tubuhku, punggungku beradu dengan beton, aku terduduk jongkok lesu di pinggir rel kereta. Aku akan menunggu kereta selanjutnya, biarlah di sini saja. Aku tidak punya tempat, dunia tahu itu. Peluit keras pertama terdengar, berarti kereta hendak berangkat. Ramai nian suara pedagang yang berhamburan menyingkir dari kereta api yang hendak berangkat, namun masih ada yang ngeyel, menjejalkan dirinya di pintu masuk. Aku menatap kokoh besi panjang yang masih terdiam itu, sebentar lagi dia pasti berangkat. ”Mas...” Aku terperanjat. Seseorang memanggilku, aku menoleh ke kiri. Seorang petugas, aku cermati, dia tadi yang menjual tiket. Aku heran kenapa dia menghampiriku, tetapi ketika hendak bicara, dia menyodorkan sebuah kertas padaku. Kertas yang teramat kecil. ”Aku...,” ”Cepatlah masuk ke kereta, sebentar lagi berangkat,” wajahnya tersenyum padaku. ”Aku...,” ”Tadi aku menyimpan satu, kukira saudaraku akan berangkat hari ini. Ternyata dia akan pergi besok. Ini ambilah dan gratis untukmu, aku melihatmu sangat membutuhkan tiket ini. Kuambil karcis satu lembar itu dari tangannya. Tak lupa kuucapkan terima kasih dan senyuman setulus-tulusnya yang kumiliki. Aku bergegas menuju pintu kereta api. Saat masuk pintu itu kulihat petugas itu melambaikan tangannya padaku. Senyum kami beradu. Terima kasih! Aku patut juga berterima kasih pada Ari Sihasale. Kenapa Ari? Karena pelajaran darinya sangat ampuh, ”Jika ingin murah ketika bepergian, maka naiklah kereta api.” Terbukti bukan? Hari ini aku gratis menaiki kereta api. Terima kasih Tuhan, Kau memang telah menyediakan satu karcis untukku. *** Tak sepenuhnya ucapan Ari Sihasale benar, memang naik kereta api lebih murah, gratis bahkan. Tapi ada susahnya, Kawan. Masih mending naik bus ekonomi, penuh pun masih lebih baik. Di kereta, tidak hanya penuh lagi, sangat penuh. Saling desak, dan pandangan mata terlihat tajam-tajam. Tidak sepenuhnya benar pendapatku ini, tapi kadang sedikit sample sudah cukup mewakili populasi yang ada. Ah! Aku teringat mata kuliah statistik jadinya. Seorang wanita tua tampak kelelahan di dekat pintu, terduduk paksa di bawah, terhimpit. Aku duduk berjarak dua manusia dengannya. Apa yang bisa kulakukan untuknya? Aku sendiri saja kepayahan. Wajah wanita tua semakin terlihat pias dan pucat, seolah wajah itu semakin sengsara, sedang perjalanan ini pastilah masih sangat jauh. Peta di brosur desa Cahaya menunjukkan bahwa perjalananku ke sana bisa sampai dua hari. Beberapa jam dalam perjalanan, para penumpang mulai ribut dan saling desak. Hingga untuk bergerak sedikit saja pastilah di bagian sebelahnya akan ikut tergeser, dan akhirnya menggeser dan terus menggeser.Aku terombang-ambing kian kemari, sebentar-sebentar geser karena tangan wanita di sebelah kiriku bergerak-gerak, mengambil sesuatu dalam tas yang dibawanya. Sebuah roti menyembul, dan dia makan dengan anaknya yang kecil dengan lahap. Sebentar kemudian aku geser lagi ke kanan, ternyata sebagian besar penumpang mulai merasakan lapar. Suasana panas, gerah, semakin berhimpit. Dan kulihat wanita tua yang kuceritakan kepayahan tadi semakin menderita. Terdesak ke kiri, ke kanan, ke belakang, ke depan. Wajahnya bertambah pucat. Jika kau melihatnya, Kawan, apa yang akan kau lakukan? Sedang kau sendiri sedang terombang-ambing seperti di tengah lautan samudera hanya berpegang pada kelapa yang terapung. Tas yang kupangku kubuka restletingnya. Agak susah untuk bergerak. Gerakan membuka restleting membuat siku tanganku menyenggol siku orang di kananku. Aku meminta maaf padanya, tapi diacuhkan, dia sedang makan. Terlalu nikmatkah hingga siku kuatku yang menyenggolnya tak terasa? Ada sedikit makanan dalam tas. Kuambil dua roti dalam satu pak roti itu, berisi sepuluh roti, yang lain untuk persediaan selanjutnya. Kubuka pelan bungkus roti itu, air liurku seolah hampir mengalir duluan, aku sangat lapar. Saat roti mulai satu gigitan, aku teringat Teguh. Kali ini, pasti dia sedang tidur karena kelelahan habis berjaga. Terima kasih Teguh. Satu gigitan roti, aku kunyah dengan nikmat. Tapi, mataku tertuju pada wanita tua yang kuceritakan menderita tadi, dia melihatku mengunyah satu kunyahan. Aku berhenti mengunyah, kulihat bagian leher wanita tua itu naik turun. Bibirnya bergerak, dia melihatku saksama. Tanganku bergerak pelan, mengambil satu roti yang masih dalam bungkusnya. Kuulurkan padanya dengan kesusahan, karena semua penumpang bergerak-gerak, menikmati makanannya sendiri-sendiri. Semoga yang kulakukan tidak salah, semoga persepsiku tidak salah, semoga pendapatku tidak salah. Bahwa, wanita tua itu kelaparan. Saat roti berada dekat dengannya, kepalaku mengangguk padanya. Aku penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya. Wanita tua itu, menggigit salah satu sisi bungkus roti dan merobek dengan giginya yang telah banyak tanggal. Dia menyeringai melihat roti itu keluar, dipegangnya, dimakannya dengan lahap. Tak melihat ke arahku sama sekali, dia melihat ke bawah, sangat menikmati makanan itu. Aku heran, dalam dalam waktu yang relatif cepat, makanan itu telah sempurna hilang ke dalam mulutnya. Seperti orang yang seminggu tidak makan saja. Mungkin saja persepsiku kali ini salah. Tapi, setidaknya itulah gambaranku ketika melihatnya makan dengan cepat. Setelah habis, wanita itu melihatku lagi, besar harapan terlihat dari sorot matanya yang tertutupi keriput. Aku melihat wajah itu, belum pernah selama hidupku melihat sorot mata penuh pengharapan seperti itu. Jika ada sorot mata seperti itu dari seorang lelaki saat melamar seorang wanita, maka wanita manapun tak akan sanggup menolaknya. Jika sorot mata itu digunakan seorang pelamar kerja, maka pemilik usaha tak akan mungkin menolaknya, jika sorot mata itu dari seorang pengemis maka siapa pun tak akan melewatkannya tanpa memberi. Dan, aku terpukau oleh sorot mata itu. Aku mengambil roti dalam bungkus, langsung empat bungkus karena itu yang bisa kuraup dengan tanganku. Jika bisa semuanya maka mungkin aku akan raup semuanya. Aku benar-benar tersihir, Kawan, sorot mata adalah kekuatan yang benar-benar bisa melumerkan segala perasaan. Ini dia pelajaran yang bisa kuambil dari wanita tua itu, ’Jangan memerhatikan mata orang lain secara dalam, kau akan tersihir. Maka jauhilah terlalu banyak melihat mata orang, karena bisa jadi kau akan tersihir oleh pandangannya.’ Kereta api berhenti, penumpang berjubelan turun. Wanita tua itu, ya, dia terjepit. Aku memaksakan tubuhku menyelinap, walau aku beberapa kali kena sikut, samping mataku akhirnya memar. Aku menggapai wanita tua itu, kulindungi dengan tubuhku. Jadilah tamparan, tendangan, dengkul nyasar menghantam punggungku bahkan samping tubuhku. Akhirnya semuanya selesai. Tubuhku sakit-sakit, wanita tua itu masih terlihat kelelahan. Aku menuntunnya hingga turun, sungguh di kereta tidak ada lagi manusia kecuali petugas. Kami turun perlahan, tubuhku sakit-sakit. ”Terima kasih ya, Nak,” wanita tua itu memegangi punggungnya, jalannya telah kepayahan. ”Nenek tidak apa-apa?” ”Hanya sedikit sakit, maklum Nenek kan sudah tua.” ”Nenek sendirian?” ”Iya.” ”Rumah Nenek di mana?” ”Itu! Di blok belakang sana,” wanita itu menunjuk barisan rumah kecil di dekat stasiun, ”nenek baru pulang dari kota Jakarta. Tapi, ternyata keluargaku satu-satunya, anakku satu-satunya, dia mengusirku dan tak mengakuiku sebagai ibunya. Sebenarnya aku hanya ingin bertemu cucu-cucuku, tapi dia tak mengizinkan. Aku diusirnya,” wanita tua itu menangis. ”Kuantar sampai rumah ya, Nek?” Kini aku tersihir bukan karena sorot matanya, tapi karena prihatin akan nasibnya. Aku mendapatkan pelajaran kehidupan lagi dari wanita tua itu, ’Jika kalian mendengarkan cerita orang lain, jangan didramatisir, kau juga pasti akan tersihir.’ ”Tidak usah, Nak!” Dia menolak tawaranku? ”Ini untukmu, gunakan sebaik-baiknya. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi,” wanita itu mengeluarkan dompet kecil dalam sakunya. Sebuah dompet yang teramat kecil, mungkin ukurannya 2x3 cm. Dia memaksaku menerimanya, dompet itu di masukkannya dalam genggaman tanganku. Aku tersihir, tak bisa menolaknya. ”Tapi..., aku antar ya, Nek?” ”Tidak usah! Cahaya itu sedang menunggumu anakku. Aku melihat sorot matamu yang telah merindukan cahaya, pergilah segera, cahaya itu menunggumu. Cepatlah,” wanita tua itu tersenyum sambil mendorong pelan kedua pundakku. Aku berbalik, dia agak kuat mendorong punggungku. Aku menengok sejenak, lantas tersenyum padanya. Dan kakiku melangkah, menuju arah tujuanku. Aku meneruskan perjalanan, naik bus ekonomi. Turun lagi, naik bus lagi dan hari telah gelap. Sampai di dermaga hari telah malam, aku naik kapal. Lagi-lagi kugunakan saran Ari Sihasale, ’Jika kau naik kapal dan tak punya uang, naiklah lewat naiknya mobil-mobil truk dan fuso. Masuk saja, kau tak usah bayar.’ Dan aku melakukannya, uangku habis, uang dari Teguh tinggal sedikit, kugunakan nanti untuk naik bus lagi. Menjelang pagi, kapal merapat. Aku turun, shalat subuh di mushala di pelabuhan. Sekalian mandi, menyegarkan diri sejenak. Aku istirahat dulu di mushala itu, tiduran sejenak, roti telah habis. Aku membuka bungkus hitam pemberian pak Rahmat, nasi lontong dan sayur tempe. Pastilah mereka tahu bahwa perjalananku panjang sehingga mereka memasakanku makanan yang awet. Alhamdulillaah, kusyukuri semua atas indahnya hidup yang Kau anugerahkan, ya Allah. Selesai makan, perutku terasa enak. Aku wudhu dan shalat, setelah itu akan kulanjutkan perjalanan kembali. Aku berjalan ke terminal, hari menjelang siang. Aku naik bus ekonomi lagi, kalian tahu kenapa aku dari kemarin selalu naik bus ekonomi? Itu karena aku waktu kuliah mengambil jurusan ekonomi, makanya aku suka bus ekonomi. Ah! Tak boleh bohong. Benar, Kawan, sebenarnya aku tak punya uang. Kernet-kernet berteriak, layaknya teriakan pedagang di pasar Tanah Abang. Seorang kernet menanyaiku, ketika kujawab dia memaksaku dan ingin merebut tas yang kubawa. ”Biar aku bawa sendiri! Tunjukkan saja busnya!” aku tegas, sungguh kernet itu diam dan menunjukkan bus yang ditumpanginya. Kawan, kadang sesekali ketegasan dan memasang wajah sangar tak bersahabat itu penting. Kalau tidak, harga diri kita akan diinjak-injak dan diremehkan. Kali ini kau pasti setuju bukan? Aku naik bus, dan ini adalah bus terakhir yang akan kutumpangi untuk sampai di desa Cahaya. Setelah penumpang terasa penuh, bus melaju, menderukan knalpot yang terdengar seperti bisingnya gergaji mesin. Aku teringat dompet kecil pemberian nenek tua itu, aku mengambilnya dari kantong celanaku. Kubuka resletingnya. Isinya kertas. Kubuka lipatannya, ada sebuah cincin berwarna kuning dan bukan itu yang membuatku terbelalak, mataku terpukau. Cincin itu, di tengahnya membentuk matahari dengan sinar mengelilinginya, seperti gerigi, simbol cahaya. Kertas itu, lebih mengagetkanku. Di sana tertulis nama sebuah toko emas, dan tertulis bahwa cincin itu adalah emas, masya Allah, cincin itu 50 gram. Ternyata semua pendapat, persepsi, sangkaan, prejudice salah semua. Tentang sorot mata menyihir, tentang cerita yang didramatisir, ah! Kawan, aku ralat semua pelajaran awal yang kuberikan padamu. Kuakui aku salah. Bahwa menolong orang harus tanpa pamrih. Dan kebanyakan prasangka adalah dosa, Kawan. Kawan, maafkanlah aku. Aku bergetar memegang cincin itu, teramat indah. Kenapa nenek itu memberikanku hadiah cincin ini? Suatu saat mungkin kutemukan jawabannya, dan pasti akan kucari jawabannya. Sore hari bus sampai di terminal, aku naik angkot. Uangku tinggal sedikit, masih cukup. Angkot berhenti di pinggir kota ujung, aku turun. Uangku tinggal lima ribu rupiah, bagiku sudah banyak. Sebentar lagi aku sampai. Ba’da ‘ashar, aku berjalan di jalanan batu terjal. Seorang tukang ojek menawariku, kusebutkan desa Cahaya, biayanya berapa. Jaraknya dengan desa Cahaya adalah sepuluh kilo, jadi dua puluh ribu. Aku mengucapkan terima kasih padanya, aku memutuskan jalan kaki. Kususuri jalanan batu terjal itu, melewati desa, perkebunan, beberapa sungai. Aku sering bertanya pada orang yang kutemui. Desa Cahaya sebentar lagi aku datang. Aku membayangkan gerbangnya begitu indah, gerbang cahaya. Melengkung seperti janur kuning saat pernikahan, sambutan para warganya antusias karena pahlawan yang mereka tunggu telah tiba. Aku tersenyum sambil terus berjalan. Lelahku hilang, Terganti rasa terang indah nian Dua jam tepat kira-kira, ketika aku bertanya pada orang di ladang bahwa desa Cahaya akan kutemui satu belokan di depanku. Tinggal seratus meter lagi. Aku berlari, gembira seolah menggiring bola ke gawang, gawangnya adalah gerbang desa. Sebentar lagi, tunggu aku desa Cahaya. Sudah seratus meter. Aku berdiri terdiam, berdiri setegak-tegaknya. Mana gerbang desanya? Aku menengok ke kanan dan kiri, tak ada. Ada jalan lurus ke depan, rumah-rumah berjarak agak jauh terlihat. Itukah desa Cahaya, Kawan? Tapi mana gerbangnya? Dan, mataku terpaku pada patok semen setinggi seperempat meter. Aku memiringkan kepalaku pelan ke kiri. Bibirku nyenggir, dalam patok itu tertulis; ”GERBANG CAHAYA”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN