Sang Jawara Desa

1398 Kata
Kawan, ini adalah desa Cahaya. Tak kuperi, tak kuperkirakan, tak ada dalam bayangan persepsi logikaku. Pohon-pohon menjulang gagah di pinggir-pinggir jalan. Aneka rupa pepohonannya dan aneka rupa beburung yang menggelantung, jungkir balik di balik dahan-dahan, berseliweran sekehendak hatinya. Aku masih berdiri, mematung, setegak-tegaknya. Menatap jalanan lurus di depanku, sempurna terheran. Lihatlah, bagaimana matamu akan terpukau. Jarak rumah antara satu dengan lainnya berkisar 20 sampai 25 meter. Dahsyat! Ini pertama yang kutangkap dalam persepsiku. Kakiku melangkah, satu langkah tepat. Satu langkah memasuki kawasan desa Cahaya. Tatapanku lurus ke depan, memantapkan diri. Aku melihat langit yang cerah tertutupi sedikit rindangnya pepohonan. Aku memejam sejenak, menghirup udara yang demikian segar, tidak kubayangkan bisa menghirup udara sesegar ini. Jika kau hidup di Jakarta atau di kota besar lain, sampai kiamat pun tak akan kau temukan udara sesegar ini, sungguh. Langkahku terayun kembali, pepohonan menjulang aneka jenis, aneka ragam beburung begitu banyak, aku tak tahu namanya; ada yang berkicau di dahan-dahan, ada yang jumpalitan, ada yang berseliweran berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya. Aku harus siap menghadapi setiap ujian dan cobaan dalam hidupku, bukankah sedari dulu begitulah hidupku? Seorang pemberani selalu mencari jalan menghadapi, sedangkan seorang pecundang selalu mencari-cari alasan untuk menghindar. Siapa yang menyalahkan keadaan maka dialah pengecut, situasi apa pun adalah tantangan. Kau tahu kenapa aku berkata seperti itu? Sebenarnya aku sedang menyemangati diriku sendiri agar tidak mundur selangkah pun. Lagi-lagi aku teringat sebuah cerita, jika saja aku berhadapan pada situasi dalam perjalanan hidupku, pasti akan teringat salah satu kisah yang serupa dengan keadaanku. Dulu, waktu mendengarnya aku belum paham arah cerita itu mengalun, tapi sekarang aku baru sadar akan makna cerita-cerita itu. Siapa lagi yang memberikan nasihat dengan cerita kecuali satu-satunya keluargaku. Bukan ibu atau ayah, tapi dia adalah Kakekku. Dia satu-satunya keluargaku. Kakekku pernah bercerita tentang dua orang tahanan yang terpenjara dalam ruangan tertutup, hanya celah jendela yang cukup tinggi. Jendela yang diterali besi. Suatu hari mereka mempunyai inisiatif, mereka ingin melihat dunia luar. Maka mereka bergantian junjung-menjunjung, untuk melihat alam luar melalui jendela tralis. Giliran pemuda pertama, dia naik ke pundak temannya yang jongkok di bawah. Lelaki pertama itu melihat ke bawah, tanah tandus, tembok yang menjulang tinggi, kawat berduri, dan petugas yang menjaga di gerbang begitu banyak, berpatroli kian kemari. Dia langsung turun. ‘Aku tak mau lagi, sudahlah! Kau tidak usah melihat dunia luar, memang takdir kita seperti ini!’ begitu katanya pada temannya saat turun. Pemuda kedua tetap nekat, akhirnya pemuda pertama jongkok. Lelaki kedua naik dan melihat melalui jendela terali itu, senyumnya mengembang. Bahkan, dia betah melihat dunia luar yang teramat indah itu, dia melihat bunga yang beraneka ragam indahnya, dia melihat matahari bersinar, awan bergumpal, dia melihat langit luas, dia melihat layang-layang yang meliuk-liuk terbang, dia melihat burung yang bernyanyi riang. Kau tahu, Kawan, pelajaran apa yang aku petik dari kisah itu? Jika kau masih bingung, akan kuberikan contoh tentang seorang pemuda yang datang kepada orang bijak dan berkeluh kesah tentang apa pun yang dihadapinya, beban hidup, segala kesusahan, seolah takdirnya selalu buruk. Si bijak tersenyum, memberinya satu gelas air dan menumpahkan satu genggam garam dan diaduk di gelas itu. Pemuda itu diminta meminumnya, pemuda itu muntah karena rasanya sangat asin. Si bijak mengajak pemuda ke danau, kemudian memasukkan beberapa genggam garam dan mengaduknya dengan tangannya. Si bijak mengambil air danau dengan gelas dan meminta pemuda meminumnya, rasanya segar. Kau pasti sudah tahu jawabannya kawan. Aku tak perlu menjelaskannya lagi. Pelajaran itu, hanya bagaimana kita merespon keadaan. Tapi, tidak cukup sampai disitu. Ini bonus, karena ini adalah langkah awalku. Memulai masa depanku di desa Cahaya yang keadaannya pun belum kuketahui. Maka aku akan kisahkan dua cerita lagi kepada otakku, agar pijakannya semakin kuat. Kisah dua orang pemuda yang bekerja di sebuah pabrik besi. Kedua orang pemuda adalah karyawan baru. Di pabrik itu, pemiliknya mengambil dua pelat besa dan dua martil untuk diberikan kepada mereka, masing-masing satu pelat besi dan sebuah martil. Mereka diminta untuk memukul pelat besi tersebut sampai pelat besi patah atau putus. Setelah itu, baru dia akan bersedia menerima mereka berdua, dan memosisikan mereka sesuai test tersebut. Kedua pemuda itu mengambil peralatan yang diberikan itu, masing-masing mencari tempat untuk memulai memukul besi. Setelah beberapa saat lamanya, pemuda pertama datang kepada pemilik pabrik dan mengatakan kepadanya, ‘Tidak bisa! Pelat besinya terlalu keras!’ pemilik pabrik hanya tersenyum. Selang beberapa lama, pemuda kedua datang kepadanya. Dengan muka penuh keyakinan dan semangat dia berkata, ‘Pak, saya ingin bertanya, apakah ada martil yang lebih kuat?’ wajahnya menandakan bahwa dia benar-benar ingin menyelesaikan pekerjaan tersebut. Semangatku membara, tapi masih kurang. Aku jadi teringat sebuah cerita dari pak Ratmono, dosen yang pernah mengajarkan Manajemen sewaktu kuliah. Kisah dua orang sales sepatu, ditugaskan di sebuah tempat. Satu orang sales berangkat, saat tiba di tempat yang dituju, alangkah kagetnya dia melihat tempat barunya untuk menjual sepatu. Seluruh orang di tempat itu tidak ada yang memakai sepatu, nyeker semuanya. Sales pertama langsung pulang, ke kantor dan menghadap bos, ‘Tidak bisa melakukan ekspansi di sana, Bos, sepatu kita tidak akan pernah laku!’ Sales kedua diterjunkan ke tempat semula, Bos merasa kurang puas dengan pendapat sales pertama, namun dia ingin sales kedua segera pulang untuk memberikan gambaran sebenarnya di tempat kejadian. Sales kedua melihat tempat yang dituju, dimana akan didirikan cabang, dia tersenyum. Dia kembali ke kantor dan menemui Bosnya, ‘Harapan besar! Momentum awal! Bravo! Semua orang belum memakai sepatu. Tidak ada saingan. Kita akan bisa menjual sebanyak-banyaknya sepatu kita!’ Dan, aku tersenyum. Langkahku semakin yakin, melangkah dan melangkah. Saat aku berada di depan rumah nomor tiga dari perbatasan, tiga motor menghadangku, suaranya bukan main pekak dan menderu-deru kuat. Mereka menuju ke arahku, seolah bersemangat ingin melumatku. Motor-motor itu mengitariku. Lima orang, dan salah satu motor hanya satu pengemudi. Deru-deru suara semakin membuatku bising! Tapi aku tetap tenang, hanya saja, kakiku telah siap jika harus adu nyawa. Tidak boleh jadi pengecut! Itu kata Kakekku! Motor-motor itu berhenti mengitariku. Seorang yang berewoknya lebat, kumisnya tebal pula turun, dia sendiri menaiki motornya. Pasti dia ketuanya. Dia memandangiku dari sepatu bututku hingga ke atas, turun lagi dan memelintir berewok awut-awutannya. “Hei! Kamu tahu siapa kami?” si Berewok menyalak, seperti anjing yang menggonggong. Wajahku mundur sedikit karena kaget, mereka terkekeh. Aku menggelengkan kepalaku. Mereka semakin terbahak-bahak. “Kami ‘Geng Sar!’ sekarang pasti kamu kenal bukan?” dia terus-menerus memelintir berewoknya. Aku menggeleng lagi. “Kurang ajar kau!” satu hentakan, tanpa kuperkirakan. Tangannya yang kekar telah mencengkeram kerah baju satu-satunya yang kupakai. Tubuhku bergoyang karena dia memaju-mundurkan cekalannya yang kuat. Aku kehabisan napas, kancing baju atasku lepas. Aku tercekik kuat, susah bernapas. Sayup-sayup kudengar empat orang yang masih berlagak di motor tertawa terbahak-bahak. Apa mereka pikir ini tontonan asyik! Kawan, apa yang akan kau lakukan jika dalam keadaanku sekarang ini? Aku tak tahu hendak berbuat apa. Celanaku terasa ada yang menggeledah, dan beralih ke dompetku di saku belakang. Tapi, sebelum dia dapat mengambil dompet itu… “Hentikan!” sebuah suara menggelegar dari pinggir jalan. Kelima orang gila itu melihat arah suara datang. Mataku kulirikkan sedikit, seorang lelaki kekar, berjenggot tipis sedang menuju arahku. Lelaki kekar yang mencekikku melepaskan cekalannya, mendorong tubuhku ke belakang. Aku terjerembab. s**l! Coba kalau aku tidak dalam keadaan lapar, pasti aku hajar semuanya! Beraninya waktu perutku melilit-lilit. Aku berdiri dan membersihkan bajuku yang terkena debu. Kelima orang itu menatap lelaki pahlawan yang menyelamatkanku. Mereka berpandangan lama, semuanya terdiam, aku sendiri bingung. Seolah aku sendiri yang bergerak, menoleh kian-kemari, kebingungan. Si berewok yang mencengkeram leherku memulai gerakan pertama, mengangkat dagunya sedikit ke atas dan menuju motornya. Empat orang lainnya mengikuti, dan deruman knalpot kasar dan memekakkan telinga kembali menggelegar. Mereka melaju meninggalkanku, asapnya benar-benar bau tak karuan. “Kau terluka?” Suaranya lembut, kukira orangnya kasar. Kulihat lelaki itu, Wajahnya tampan, mungkin umurnya sekitar 33 tahun. Sebuah golok bersarung terselip di ikat pinggangnya. Aku sedikit kaget melihatnya. “Jangan takut? Aku membawa golok ini untuk menakut-nakuti mereka. Mereka memang kurang ajar! Selalu mengganggu orang yang masuk wilayah ini. Bahkan, mereka selalu berbuat keonaran.” Aku manggut-manggut. “Kamu siapa, Nak?” Kelihatannya dia jujur. Pelajaran penting yang kudapat hari ini, ‘Cobalah untuk selalu berpikiran positif pada orang lain.’ “Nama saya Arif Maulana, Pak. Saya ingin menjadi guru sekolah di sini,” pantatku masih sedikit sakit, akibat didorong jatuh ke belakang tadi, “Bapak sendiri siapa? Dan Bapak di sini sebagai apa, Pak? “Saya jawara di desa Cahaya, namaku Mukhlis. Panggil saja, Kang Mukhlis!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN