Bridesmaid - 08

1999 Kata
Setelah drama cukup panjang hanya untuk mandi, akhirnya kini Clara dan Leon sudah kembali ke mobil. Mereka kini berada dalam perjalanan menuju butik, sesuai permintaan Simon. Clara masih terdiam sejak insiden memalukan sebelumnya. Ia berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Meskipun dari tadi ia hanya men-scroll grup chat dengan teman-teman di kantornya dulu. Ting Ada notif pesan yang masuk, berasal dari luar grup percakapan. Ada satu nama samar juga yang menghilang sebelum Clara sempat membacanya. Clara pun segera keluar dari ruang obrolan itu untuk mengecek pesan masuk yang ada. 'Panca?' pikirnya. Tumben-tumbenan sekali rekan kerjanya satu itu mengirim pesan. Clara segera membuka chatnya. 'Cla, kok cuma jadi sider? Nimbrung dong! Kangen nih!' Kira-kira begitulah isi chat Panca. Padahal Panca sendiri hanya muncul beberapa kali dalam percakapan grup itu. 'Tumben nge-chat? Kayaknya dua tahun kita kerja bareng, bisa dihitung jari kamu nge-chat aku,' balas Clara. 'Ya kan dulu sebelahan meja kita, Cla. Mau ngomong tinggal ngomong aja. Sekarang kangennn.' Setengah mati Clara menahan agar tawanya tidak pecah. Ia tidah tahu kalau orang seperti Panca bisa seblak-blakan itu. 'Ini beneran Panca? Atau HP-nya dibajak?' balasnya lagi. 'Ya elah, Cla. Meet up deh yok! Biar jelas semuanya. Masa kamu nggak kangen juga sama aku?' Tawa Clara mulai pecah. Setelah itu, mereka mulai chat-chatan dengan normal. Mulai dari menanyakan kabar satu sampai lain, hingga Clara yang menjelaskan jika posisinya kini sedang berada di Bali. Mereka juga janjian untuk bertemu sepulangnya Clara dari Bali nanti. Panca minta oleh-oleh, katanya. "Cla!" Clara menoleh cepat ke arah pria di sampingnya. "Apa sih? Nggak biasa banget manggilnya," kesal Clara. "Kamu ngapain sih dari tadi sibuk sama HP? Kita udah sampai aja kamu nggak sadar-sadar," tegur Leon. "Oh, sori. Grup lagi rame ghibah soalnya. Mana bisa aku absen?" balas Clara. Leon menyerit. Membuat Clara mulai merasa tidak nyaman. Mau apa sih laki-laki ini? "Udah sampai, kan? Ya udah kalau gitu, ayo tur- eh, HP aku!" Clara tersentak saat Leon merebut ponselnya. Namun, Clara bernapas lega saat melihat Leon yang kesulitan membuka kode sandinya. Untung saja ponsel jaman sekarang sudah memiliki keamanan canggih semacam itu. Ting "Loh, kok-" "Cewek kayak kamu tuh mudah ditebak. Kamu jomlo. Ya pasti lah passwordnya tanggal lahir kamu," potong Leon. Ia merasa menang saat telah berhasil mengetahui password Clara. Dan laki-laki itu langsung menggeledah benda pipih milik kekasi -ralat, mantan kekasih yang akan segera kembali memjadi kekasihnya itu. Clara tak tinggal diam. Ia berusaha merebut kembali ponselnya. Namun, pergerakannya serba terbatas. Ia sudah berusaha keras menggapai ponselnya, tapi tangan Leon juga lebih panjang darinya. "Le, apaan sih? Balikin nggak?!" "Panca? Siapa Panca?" Bukannya melakukan apa yang Clara minta, Leon malah sibuk meng-scrolling percakapan Clara dan Pandu. "Akrab banget," dumelnya. "Ish. Dia teman kerjaku dulu. Kembaliin!" pinta Clara. "Kalian mau ketemuan?" "Leon, dengerin aku ngomong nggak sih?!" Clara benar-benar sudah kehilangan kesabarannya. Ditambah lagi, saat ia melihat Leon mengantongi ponselnya. What the- "Leon?! Mau kamu ap-" 'Sssrrttt....' Clara tersentak saat tubuhnya terseret, bahkan hingga setengah melayang karena Leon yang menariknya telalu keras. Membuat Clara berada di pangkuan laki-laki itu saat ini. Clara membeku. Lagi, ia tidak bisa mengendalikan detak jantungnya sendiri. Keadaan seperti ini benar-benar tidak baik untuk kesehatan jiwanya. "Leon, kamu-" Clara kehabisan kata-kata. Setelah beberapa detik, ia berusaha bangkit dan kembali ke bangkunya. Tapi dengan sigap Leon kembali menekan pinggangnya agar tetap pada posisi itu. Posisi Clara benar-benar terkunci saat ini. Ia berusaha mengelak, tapi Leon terlalu erat menjeratnya. "Diamlah, Clara! Semakin banyak kamu bergerak, maka keadaannya akan menjadi semakin rumit!" tegur Leon. "Mau kamu apa, sih? Biarkan aku duduk di kursiku dulu kalau kamu mau bicara!" kesal Clara. "Tidak mau!" tolak Leon. "Ish. Aku nggak nyaman. Lagi pula gimana kalau ada yang melihat?" bingung Clara mulai melirik ke sekitar. "Ya sudah. Biarkan saja orang-orang dengan pemikirannya sendiri. Kita fokus saja pada masalah kita!" ujar Leon. Clara mendongak, menatap tajam pria di hadapannya itu. "Gila kamu!" umpatnya. "Clara, dengarkan aku!" ucap Leon. "Kamu tidak boleh berhubungan lagi dengan pria manapun selain aku. Karena kamu adalah milikku!" tegas Leon. Clara melongo. Milik? Sejak kapan ia menjadi milik Leon? "Kamu ngomong apa, sih? Perlu kamu ingat, di antara kita, tidak ada hubungan apa-apa lagi selain mantan kekasih!" balas Clara tak kalah tegas. Tampak Leon tersenyum sinis. Tangannya bergerak untuk merapikan anak ramput Clara yang nakal. "Kamu hanya perlu menunggu. Dan dengan sendirinya, kamu akan segera kembali padaku," ujar Leon santai. Gil*! Apakah Leon benar-benar seorang psikopat? Dia tampak begitu berbahaya untuk Clara. Clara sampai dibuat bergedik ngeri olehnya. Kegiatan manis mereka terpaksa terhenti ketika ponsel Leon berdering. Tertera nama Simon di sama. "Mereka sudah menunggu. Ayo!" ajak Leon. Clara pun segera menatik diri dari pangkuan Leon. Setelah menyabet tasnya, ia cepat-cepat keluar dari mobil yang telah membawanya ke mari itu. Clara berjalan cepat dengan perasaan membuncah, meninggalkan pria yang telah membuat jantungnya menjadi tidak sehat itu. "Ya ampun, Cla. Lama banget, sih? Tadi ngapain dulu emangnya?" Terdengar suara Natlyn menyambut kehadiran Clara. "Apaan sih. Kan aku juga perlu mandi," jawab Clara yang masih merasa sebal. Leon menyusul. Dan langsung saja, Simon menghampirinya. "Kenapa lama? Ngapain dulu memangnya tadi?" selidik Simon. Sedangkan Leon hanya menghela napas panjang kemudian melewati sahabatnya itu begitu saja. "Oh iya, Leon. Itu jas kamu sekalian dicoba aja! Kalau ada yang nggak pas, langsung bilang aja ke mbak-mbaknya!" ujar Natlyn ramah, seperti biasa. "Oke," sahut Leon singkat. "Ayo aku antar ke baju kamu!" ajak Natlyn sembari setengah menyeret Clara dengan tidak sabaran. "Kamu nggak nyobain gaunmu?" tanya Clara. "Nanti habis ini. Tadi sih udah, cuma bagian bahu ada yang kurang nyaman jadi lagi dibenerin lagi dulu," terang Natlyn. Clara mengangguk paham. Gadis itu menerima sebuah hanger yang Natlyn berikan. "Itu baju kamu. Kalau ada yang kurang sreg, langsung bilang aja, ya! Tinggal satu minggu lagi soalnya acaranya," ucap Natlyn. Clara mengangguk, lalu bergegas masuk ke ruang ganti untuk mencoba dress yang telah sepupunya pesankan itu. Setelah sekitar tiga menit, ia hendak membuka kembali gaun itu. Tapi ia mengurungkan niatnya ketika ia ingat jika Leon pasti sudah berada di luar juga. Akhirnya ia melepas baju itu begitu saja. "Giman- loh, kok belum kamu pakai sih, Cla?" tegur Natlyn tampak kecewa. Sementara Simon dan Leon melirik kedua gadis itu sembari menyerit. "Udah, kok. Hmm.. udah pas. Cuma bagian dadanya kecilin sekitar satu senti, deh," ujar Clara. "Ish. Pakai dulu biar dilihat mbaknya!" Clara menggeleng cepat. Entahlah. Ia merasa tidak percaya diri saja memakai gaun di hadapan Leon. "Miss Natlyn, ini gaun Anda. Silakan dicoba kembali!" ujar seorang pegawai sembari menyerahkan gaun berwarna putih gading ke arah Natlyn. Clara menghela napas lega. Akhirnya ia bisa lolos juga dari desakan Natlyn. "Ya udah kamu jelasin langsung aja sama mbaknya, mau apa yang diperbaiki. Aku masuk dulu, ya!" Lima menit kemudian, Clara duduk di sebuah sofa kosong di dekat ruang ganti setelah menjelaskan komentarnya tentang gaunnya ke pegawai butik. "Miss, kalau mau lihat-lihat, boleh loh!" ujar salah seorang pegawai ramah. "Iya, Mbak," jawab Clara sembari tersenyum. Ia pun mulai bangkit, lalu berjalan-jalan mengelilingi butik. Ia menuju ke bagian gaun-gaun pengantin berlengan panjang nan elegan. "Mau coba satu?" Clara menoleh ke arah sumber suara. Ia mendengus kesal. Sementara pria yang tak lain adalah Leon itu justru tersenyum dan ikut bergabung dengan kegiatan Clara. "Yang manis bagus. Kayaknya cocok untuk kamu," ucap Leon sembari menempelkan sebuah gaun berwarna putih, yang modelnya hampir sama dengan yang dikenakan Lady Kate Middelton saat pernikahannya. Clara melirik gaun itu. Dan tanpa sengaja, matanya melirik bandrol yang menempel di kain itu yang menunjukkan angka $12.670. Clara membulatkan matanya. Jika dirupiahkan, harganya bisa setara dengan gajinya selama hampir dua tahun. Bahkan Clara saja tidak tahu kalau di dunia ini ada gaun semahal itu. "Gil* kamu?!" umpat Clara sembari menatap sengit pria di hadapannya. "Coba saja! Semakin kamu menolak, maka semakin aku akan memaksa," ujar Leon. "Buat apa, sih? Kita kan-" "Clara, menurut kamu bagaimana?" Suara Natlyn berhasil menginterupsi ucapan Clara. Clara pun segera berjalan cepat ke arah sepupunya itu. Sekalian, ia jadi punya alasan untuk kabur dari Leon. "Wah, bagus, Nat. Sederhana tapi elegan," puji Clara. "Ini gaun yang akan aku kenakan saat resepsi di pinggir pantai sorenya. Kalau yang di hotel, beda lagi. Mau lihat?" tawar Natlyn. Clara menangguk cepat. Melihat seseorang mengenakan gaun pengantin cukup menimbulkan kebahagiaan untuk dirinya. Mungkin, suatu hari ia juga akan memiliki gaun pengantinnya sendiri. Sejujurnya, Clara cukup jatuh cinta dengan gaun yang Leon bawa tadi. Tapi, menghabiskan uang ratusan juta hanya untuk sepotong baju? Oh ayolah... bahkan tabungan Clara saat ini saja hanya seperlima dari harga gaun itu. 'Huh... mungkin next time aku bisa pesan yang seperti itu satu. Walau cuma yang KW. Gil* aja aku harus nabung bertahun-tahun cuma buat sehelai gaun,' batin Clara. Ia memang bukan berasal dari keluarga berada. Kedua orang tuanya adalah anak sulung yang sejak dulu selalu harus mengalah demi adik-adiknya. Sekolah semampunya, lalu bekerja sedapatnya. Bisa menyekolahkan Clara hingga jenjang sarjana pun sudah merupakan sebuah prestasi besar bagi mereka. Dan Clara cukup menyadari fakta itu. Ia juga tidak pernah menyalahkan keadaan meski hidup yang ia alami terasa berat. Terlebih, setelah ayahnya meninggal dan usaha kue ibunya mengalami menurunan. Ia harus jadi tulang punggung di tingginya biaya hidup di ibu kota. Dan terakhir, ia terpaksa resign, karena sungguh, ia sudah tidak betah dengan pekerjaannya yang begitu-begitu saja. Ia sering lembur, tapi tidak pernah dapat bonus yang sepadan. Naik pangkat? Bahkan sudah dua tahun dia di sana, ia juga tidak mendapat promosi apa-apa. Namun sekali lagi, Clara hanya bisa bersabar dan tak mau terlalu banyak mengeluh karena hal itu. "Leon, itu gaun siapa? Buat Clara?" Clara membulatkan matanya mendengar ucapan Natlyn. Ia pun segera menoleh ke belakang. Dan ia terlonjak kaget saat melihat Leon berdiri di belakangnya, sembari membawa gaun yang tadi ia tawarkan pada Clara untuk dicoba. "Iya. Aku mau dia nyobain gaun ini. Tapi dia-" "Aku nggak mau!" potong Clara. "Perasaan kamu dulu nggak bilang begitu, deh. Kan kamu cuma mengumpat terus pergi gitu aja. Ya aku kira kamu mau," balas Leon sok polos. Clara mendengus kesal. Dasar laki-laki tidak peka! "Udah, Cla, coba aja!" sambung Natlyn. "Ih buat apa coba?" "Ya siapa tahu aja kan jadi doa," ujar Natlyn. Clara seketika melirik ke arah Leon yang masih mempertahankan senyumnya. Laki-laki itu mengangguk sembari kembali menyodorkan gaun putih itu. Clara menelan salivanya kasar. Ia sangat suka dengan gaun itu. Benar-benar tipenya. Tapi, kalau ia menerimanya, bisa-bisa Leon salah mengartikannya lagi! "Udah, cobain aja! Sini, Leon gaunnya!" Natlyn mengambil alih gaun itu kemudian menyodorkannya pada Clara dan menyeret gadis itu ke ruang ganti. "Ish, Nat. Kan malu! Buat apa juga aku nyobain gaun ini? Lagian ini mahal, memang boleh dicoba-coba sembarang orang?" rengek Clara yang masih berkeras hati tak mau memakai gaun itu. "Ya boleh lah. Kalau Leon yang nyuruh ya siapa yang berani mau ngelarang?" ucap Natlyn. "Ya mbak-mbak pegawainya lah. Ini mahal, Nat," "Udah, coba aja buruan! Makin cepat kamu nyobain, makin cepat kelar urusannya. Ingat! Dipakai keluar! Kita mau lihat!" 'Braakkk' Clara mendengus kesal saat dengan seenaknya Natlyn menutup pintu ruang ganti dengan cukup keras. Meninggalkan Clara sendiri, hanya ditemani seonggok kain senilai belasan ribu dolar itu. "Sialan! Masa iya aku cobain? Nanti kalau suka beneran gimana? Kan nggak mampu belinya. Mau buat apa juga beli baju pengantin, orang calonnya aja nggak ada," gumam Clara. "Clara!!! Cepet!! Aku udah mau selesai nih!" Suara Natlyn kembali berhasil membuat Clara menghela napas panjang. Baiklah. Ia hanya ingin masalah ini cepat selesai. Semoga tak ada masalah baru yang akan membuatnya semakin dirugikan nantinya. *** Bersambung ... Oh iya, meski ada astaghfirullah, alhamdulillah, dll, jangan langsung menyimpulkan agama mereka islam, ya. Jangan berdasar namanya yang kebarat-baratan terus ngira mereka Nasrani, dan jangan karena mereka di Bali terus ngira mereka agamanya Hindu. Pokoknya, seperti biasa, ceritaku universal dan tidak akan bawa-bawa agama demi kenyamanan semua pihak :) Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa masukkan ke pustaka, biar nggak ketinggalan kelanjutannya :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN