Setelah kembali ke perusahaan Serra masih saja memikirkan tentang ajakan Max untuk keluar setelah pulang kerja. Namun sebanyak apa dia memikirkannya tetap tidak berhasil menebak apa yang ada dalam kepalanya.
"Kak Serra!" Seruan Cindy membuyarkan lamunan Serra. Gadis itu datang sambil memukul meja membuat Serra memelototkan mata padanya.
"Cindy, kau suka sekali membuat orang jantungan ya."
Alih-alih meminta maaf Cindy hanya tersenyum tak berdosa. "Salah sendiri, aku memanggil dari tadi tapi Kak Serra malah melamun tak jelas."
Serra memutar kursinya menatap Cindy. "Sekarang apa? Hal penting apa yang ingin kau sampaikan?"
"Aku ingin mengundang Kak Serra untuk datang ke rumah baruku."
Apa?
Serra sontak menyipitkan mata mendengar ucapan Cindy. Dia masih ingat kemarin gadis ini masih mengeluh tentang biaya cicilan yang membeludak, tapi sekarang sudah punya rumah baru?
Cindy yang menyadari tatapan aneh Serra pun segera menjelaskannya. "Kak Serra, aku adalah anak tunggal, jadi ayah dan mama tak tega melihatku luntang-lantung di kota ini sendirian. Meski aku tidak mau, mereka memaksa untuk membelikan rumah yang tak begitu jauh dari perusahaan."
"Kak Serra, kau akan datang bukan? Yang lain sudah setuju," tambah Cindy sambil menunjuk beberapa teman satu divisi termasuk Lilya yang kini mengangkat jempolnya dengan senyum konyol di wajahnya.
Serra tertawa lirih, tapi sayang dia harus menolaknya. "Aku tak bisa. Kalian saja yang pergi,"
Cindy yang bersemangat mendadak jadi lesu mendengarnya. "Ah Kak Serra, kenapa kau selalu sibuk. Setiap akhir pekan pun tidak bisa saat ku ajak pergi. Sekarang bukan akhir pekan pun tidak bisa."
Serra hanya bisa meminta maaf atas hal ini. Bukan karena tak ingin, tapi setiap akhir pekan ia harus di rumah untuk menunggu Max pulang. Jadi dia tidak munglin keluar rumah pada saat itu. Sedang untuk hari ini, dia benar-benar tidak menyangka Max akan mengajaknya pergi, jadi juga tidak mungkin menghadiri pesta rumah baru Cindy.
"Maaf ya, lain kali saja," sesal Serra sambil meminta maaf.
Cindy pun berdecak, mata hitamnya bergerak lalu perlahan mendekatkan mulutnya ke telinga Serra. "Kak Serra, ini pasti karena kau akan pergi dengan suamimu. Benar bukan?"
Serra hanya tersenyum untuk menjawab asumsi Cindy. Gadis itu langsung manggut-manggut di tempat sebelum berkata lagi, "Apa kalian akan berkancan? Dinner romantis berdua? Wah, aku bisa membayangkan suasana romantis seperti itu," ucapnya dengan mata berbinar.
Serra hampir tersedak mendengar ucapan Cindy.
Dinner, suasana romantis? Apa itu sungguh ada dalam hidup Max? Sepertinya kecuali pekerjaan tidak ada yang ia pedulikan. Jika benar-benar melakukan hal itu, maka dapat dipastikan dunia sedang tidak baik-baik saja.
"Baiklah, karena Kak Serra akan bersenang-senang dengan kakak ipar, aku tidak akan mengganggu."
"Oh ya, jangan lupa ambil fotonya agar aku dapat melihatnya. Aku tahu dari internet jika seorang pria terlihat lebih tampan saat sedang makan," ucap Cindy dengan berbisik sebelum kembali ke meja kerjanya.
Serra tidak bisa berkata-kata lagi, dia melihat jam tangannya lalu kembali fokus dengan pekerjaan.
...
Jam lima sore. Saat teman satu divisi sudah berkemas dan siap untuk pergi ke rumah Cindy, tidak halnya dengan Serra yang masih duduk sambil melihat layar ponselnya.
Karena Stefan bilang akan menjemputnya jadi Serra menunggu pesan darinya jika sudah sampai. Namun bukan Stefan yang memberinya kabar, melainkan Max.
Tentu saja Serra terkejut karena berpikir hanya Stefan yang datang menjemputnya. Tapi ternyata Max juga datang secara langsung.
"Masih di atas?" Begitu pesan singkatnya. Serra bingung hendak membalas apa, jadi dengan cepat mengetik sesuatu, "Aku akan turun sekarang,"
Setelah itu Serra mengamati sekilas mejanya yang sudah rapi, lalu mengambil tasnya dan pergi.
Lilya dan yang lain yang melihat Serra pergi pun mencoba bertanya, tapi keburu Serra jauh tanpa bisa mendengar panggilannya.
"Cindy, kau sudah mengundangnya kan untuk datang?" tanya Lilya heran.
Cindy pun menganggukkan kepala. "Sudah, tapi Kak Serra ada urusan jadi tidak bisa datang."
"Urusan apa yang begitu penting? Dia selalu tak bisa jika di ajak pergi," keluh Lilya terhadap sahabatnya itu. Mungkin waktu mereka pergi bersama saat bukan jam kerja selama satu tahun terakhir dapat dihitung dengan jari.
Cindy hanya mengedikkan bahu dengan gerutuan Lilya. Kemudian dia mengajak semua orang di ruangan ini untuk pergi ke rumah barunya dan berpesta.
Sementara di depan gedung perusahaan, Serra memastikan tidak ada orang di sekitarnya sebelum masuk ke mobil Max.
"Maaf agak lama," ucapnya sambil menatap Max yang tenang di sampingnya.
Max cukup berdehem, kemudian memberi tanda pada Stefan untuk melajukan mobil.
Dalam perjalanan Serra terus berharap harap cemas memikirkan kemana Max akan membawanya pergi. Apa itu dinner romantis seperti yang dikatakan Cindy? Tapi seperti tidak mungkin dengan karakter Max yang dingin seperti gunung es.
"Kita akan kemana?" Akhirnya setelah cukup lama memendamnya Serra menyerah untuk hanya menebak-nebak.
Namun bukannya menjawab pertanyaan itu Max memberi tanda lagi pada Stefan. "Mampir ke tempat Vini," katanya.
Serra yang mendengar nama ini seketika menjadi penasaran. Vinicius adalah teman Max dan satu dari dari sedikit orang yang tahu hubungan pernikahan mereka. Vinicius sendiri adalah desainer pakaian mewah yang namanya sudah terkenal secara nasional bahkan internasional.
Untuk apa mereka pergi ke tempat Vinicius? Apa mereka benar-benar akan berkencan? Dinner romantis?
Pada saat Serra semakin penasaran, mobil mereka baru saja memasuki kawasan butik milik Vinicius. Stefan langsung memarkirkannya dan Max keluar setelah dibukakan pintu oleh Stefan.
Mereka berjalan berdampingan terlihat seperti pasangan yang serasi. Pada saat itu Vinicius sedang serius menggambar sketsa untuk rancangan barunya. Sampai kedatangan salah satu asistennya memaksanya harus berhenti.
"Tuan Vinicius, Presdir Max ada di sini."
Vinicius spontan mengangkat wajahnya. "Pria itu, kenapa dia datang ke tempatku. Aneh sekali." Biasanya Max akan memanggilnya jika ada perlu. Sangat jarang datang ke tempatnya bahkan hampir tidak pernah. Tapi hari ini datang juga tanpa kabar, ini membuatnya penasaran.
Pria setengah bule dengan rambut coklat panjang itu langsung meninggalkan kursi dan turun menemui Max.
Saat sampai di lantai pertama Max sudah berada di ruang utama tempat ia menyimpan seluruh koleksi gaun mewahnya. Duduk di sofa sambil melipat tangan, tampak begitu mendominasi.
Vinicius memasang senyum yang cukup mengembang, lalu berjalan mendekat ke tempat Max.
"Apa yang kau lakukan di sini? Tumben sekali bisa menyempatkan waktu untuk datang ke gubuk sederhana ini."
Di waktu yang sama Serra keluar dari ruang ganti sudah mengenakan gaun hitam yang indah.
Melihat Serra juga di sini, Vinicius tidak bisa untuk tidak mendekat ke samping Max untuk menginterogasinya.
"Kau ingin mengajak kakak ipar kemana? Apa akhirnya kau menyadari perasaanmu dan ingin berkencan dengannya?"
Meski berbisik, tapi suara Vinicius cukup kencang hingga Serra dapat mendengarnya.
Hal itu membuat wajahnya bersemu merah dan menjadi canggung karena tatapan karyawan di sekitar.
Vinicius ingin mengatakan sesuatu, tapi tatapan Max membuatnya nyalinya menciut dan langsung mengunci rapat mulutnya.
"Dari pada kau bicara di sini, lebih baik keluarkan semua gaunmu yang bagus."
Vinicius menangguk dua kali. Dia segera melambaikan tangan pada asistennya dan beberapa karyawan untuk mengeluarkan koleksi terbaiknya.
"Keluarkan semua untuk kakak ipar. Kita tunjukkan kualitas kita yang nomor satu."
Max melirik jam tangannya sekilas, lalu berkata dengan serius, "Jika tidak ada yang bagus, lebih baik kau berhenti membuat gaun."
Meski cukup tenang, tapi membuat wajah Vinicius pucat dan punggungnya berkeringat.