15. Pria dari Masa Lalu

1343 Kata
Begitu mengenali sosok pria yang menempati tempat duduk tersebut, Serra berniat pergi saat itu juga. Namun Nikolas dengan segera menghentikannya. "Tunggu Serra jangan pergi, ada banyak hal yang ingin aku katakan padamu." Serra diam tidak bicara, tapi tatapannya terlihat menyimpan sesuatu. "Aku minta maaf," lirih Nikolas. Wajah tampannya memperlihatkan rasa bersalah yang besar. "Kau tidak salah, jadi untuk apa meminta maaf?" Nikolas menggelengkan kepala. "Tidak Serra, andai aku tidak memutuskan pergi sepuluh tahun yang lalu. Aku bisa menemanimu dalam masa-masa sulit." Serra tersenyum kecut. Dia tak mengatakan apapun tentang kalimat Nikolas. Mereka dahulu sempat memiliki hubungan yang akrab. Bahkan kedua keluarga juga sangat dekat. Namun karena Nikolas ingin menjadi penulis terkenal yang menerbitkan banyak buku, dia pindah ke luar negeri sembari melanjutkan pendidikannya bersama kedua orang tuanya. Serra tentu saja sangat sedih karena Nikolas adalah teman sekaligus kakak yang selalu menemaninya dan juga Reina. Sempat juga terbesit pikiran untuk menyusulnya ke luar negeri tapi tiga bulan kemudian terjadi kecelakaan maut itu yang mengubah hidupnya. "Serra, kau tahu, sepuluh tahun ini aku selalu mencarimu. Datang ke cafe ini berharap kau datang. Aku berpikir tidak akan pernah bertemu denganmu, tapi setelah sepuluh tahun enam bulan, akhirnya aku menemukanmu." Serra kembali tak bisa berkata-kata tentang hal ini. Setelah rumah disita dan perusahaan bangkrut, dia hidup kesusahan dengan Reina dan harus tinggal di rumah petakan kecil. Untuk makan saja mereka harus berhemat, jadi tidak ada pikiran untuk datang ke cafe seperti ini. Juga lebih tidak menyangka lagi jika Nikolas rela datang ke cafe hanya untuk menemukannya. "Serra, duduklah," pinta Nikolas sambil menarik kursi untuknya. Serra pun duduk di sana. Semula dia ingin menghindari Nikolas karena sempat berpikir Nikolas sudah lupa dengan dirinya karena keluarganya bangkrut. Namun setelah mendengar ceritanya, ternyata dia sudah berniat mencarinya sejak awal. "Mau minum apa?" tanya Nikolas. "Apa saja," "Bagaimana dengan lychee tea? Itu adalah minuman yang selalu kau pesan saat datang ke sini. Aku masih sangat mengingatnya," ucap Nikolas kemudian beranjak dari sana untuk mengambil minuman secara langsung. Serra memperhatikan punggungnya yang berjalan ke arah dapur. Nikolas, pria yang lebih tua tiga tahun darinya itu masih sangat luar biasa. Dia selalu bersikap lembut dan perhatian yang membuat siapapun akan cepat merasa nyaman di dekatnya. Tidak lama kemudian dia kembali dengan lychee tea dan kroket di atas nampan. "Kau belum makan siang kan? Aku pesan kroket isi ayam kesukaanmu." Serra ingin menolak, tapi perutnya saat ini tidak bisa diajak kerja sama. Menghirup aroma kentang dan tepung bumbu yang gurih membuat lambungnya menjerit. Terlebih makanan ini adalah kesukaannya, jadi mustahil untuk menolaknya. "Terima kasih," Serra memakannya. Nikolas hanya memperhatikan dengan tatapannya yang begitu dalam. Tiba-tiba dia berdiri dari tempat duduknya kemudian mengusap sudut bibirnya dengan selembar tisu. "Begitu lapar kah? Sampai makan pun masih belepotan." Serra meletakkan garpu dan pisaunya lalu mengambil tisu. "Maaf," ucapnya lirih. "Setidaknya makan dengan pelan-pelan. Aku tidak akan mengambilnya darimu," canda Nikolas lalu diikuti dengan suara tawa. "Oh ya, bagaimana kabar Reina? Dia baik-baik saja kan?" Seketika tubuh Serra menegang mendengar pertanyaan Nikolas. Perubahan ekspresi yang ditunjukkan Serra pun membuat Nikolas penasaran. "Reina kenapa? Dia baik-baik saja kan?" tanyanya lagi. Serra meletakkan kembali potongan terakhir yang sudah di depan mulutnya. Dia menghela nafas berat sebelum bicara, "Reina di rumah sakit." Nikolas mendadak termenung. Terlihat kebingungan di wajahnya. "Reina sakit?" "Reina didiagnosis ...." Serra menjelaskan bagaimana tentang kondisi Reina. Bagaimana awal mulai Reina didiagnosis sampai setahun ini berada di rumah sakit. Jelas saja Nikolas terkejut mendengar cerita Serra. Dia kembali merasa bersalah atas apa yang telah terjadi. "Sekarang Reina masih di rumah sakit? Di rumah sakit mana? Ayo kita ke sana." Serra berdiri dari kursinya. "Sepertinya tidak bisa sekarang. Aku masih harus ke kantor, mungkin lain kali." Nikolas terdiam sejenak sebelum mengangguk paham. "Oke, mari kita bertukar nomor telepon." Serra memberikan ponselnya agar Nikolas mengetik nomor teleponnya. Setelah itu menyerahkannya kembali pada Serra. "Eh! Bukanlah ini nomor yang lama?" Serra memandang Nikolas. Saat itu usianya empat belas tahun dan Nikolas tujuh belas tahun. Serra menggunakan telepon rumah untuk menghubunginya setiap kali ingin bertemu, ini adalah nomor yang sama, Nikolas sampai saat ini masih menggunakan nomor telepon yang sama. "Aku sengaja tidak mengganti nomor telepon berharap kau menghubungiku. Aku sungguh menunggumu sepuluh tahun ini." Serra tidak tahu harus bicara apa. Sekali lagi karena prasangka terhadap Nikolas membuatnya tak menghubunginya. Andai ia menghubungi Nikolas, mungkin dia dan Reina tidak akan hidup kesusahan. Penyakit Reina juga mungkin dapat dideteksi lebih awal karena Reina sebenarnya sudah menyadari penyakitnya tapi dia menyembunyikan hal ini darinya takut membebaninya. Namun apa yang mau disesali? Semua telah terjadi. Serra juga merasa beruntung karena Max datang dalam hidupnya. Atau lebih tepatnya, dia yang menyeret Max masuk ke dalam lingkaran hidupnya. Terlepas dari hal itu, Max telah membantunya membiayai biaya rumah sakit Reina. Tanpa kehadirannya, dapat dipastikan Reina tidak makan mendapat perawatan sebaik saat ini. "Aku sudah mengirim pesan, aku harus kembali bekerja." Serra pergi dari sana meninggalkan Nikolas yang masih duduk di kursinya. Dia memandang gadis kecil yang dulu sangat manja sekarang tumbuh menjadi wanita yang cantik dan berkharisma. Senyum di bibir tipisnya tercipta samar, kian mengembang dan tampak mempesona. "Serra, aku tidak akan melepaskan kamu untuk kedua kalinya." ... Serra kembali ke kantor. Setelah sampai dia langsung menuju ruangan Pak Denny untuk berdiskusi tentang perencanaan proses audit. Jikan client client biasa dia bisa melakukannya sendiri dan setelah selesai baru menunjukkannya pada Pak Denny. Tapi sekelas Blue Diamond, Serra tak mau mengambil resiko dan meminta saran pada yang lebih senior. Mereka berdiskusi lebih dari satu setengah jam. Itupun belum mendapatkan hasil yang pasti untuk memilih jenis audit yang akan digunakan. "Serra, gunakan saja jenis audit yang menurut kamu sesuai. Saya percaya kamu, nanti jika menemukan masalah baru diskusi lagi dengan saya." Serra meninggalkan ruangan Pak Denny. Dan karena Pak Denny sudah setuju dia akan mencoba menggunakan metode yang telah dipilih. Serra juga akan melanjutkannya saat pulang. Satu hari, dua hari, Serra benar-benar bekerja keras untuk menyelesaikan proyek ini. Bahkan hari ini adalah akhir pekan yang seharusnya dia libur, tapi karena menemukan masalah pada pekerjaannya memaksa dirinya tetap bekerja. Laporan keuangan yang diberikan tidak disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum. Meski tidak melulu hal seperti ini adalah kecurangan, bisa saja merupakan kesalahan, tapi sebagai seorang auditor Serra bertanggung jawab atas hal ini. "Nyonya, Anda inginkan dibuatkan teh?" tanya Bi Yuna yang berdiri di ambang pintu. Kamar yang biasanya sangat rapi sekarang disulap menjadi ruang kerja dan tampak sedikit berantakan. Serra mengangkat wajahnya untuk memberitahu Bi Yuna. "Boleh, tapi gulanya sedikit lebih banyak ya Bi." Kata orang glukosa merupakan salah satu karbohidrat yang sangat penting dan dibutuhkan sebagai sumber energi dan merupakan bahan bakar utama bagi otak dan sel darah merah. Itu akan membantu kondisinya saat ini. "Siap, Nyonya." Bi Yuna berlari turun ke dapur untuk membuat pesanan Serra. Tidak begitu lama dia datang dengan cangkir teh di tangannya. Setelah meletakkan teh itu di dekat Serra, Bi Yuna bersiap pergi, tapi langkah kakinya terhenti saat mengingat sesuatu. "Oh ya Nyonya, kata Stefan, Tuan tidak pulang malam ini." Tidak pulang? Serra ingin bertanya alasannya, tapi dia mengingat ini bukan pertama kali Max memberitahunya seperti ini. Jadi dia menelan kembali kalimat yang akan terlontar dari mulutnya dan mengatakan "Oke" pada Bi Yuna. Bi Yuna setelah itu keluar. Sampai di depan pintu dia mengeluarkan ponselnya untuk melaporkan hal ini pada Max. Sementara di tempat lain, Max yang sudah mendapatkan kabar dari Bi Yuna langsung meletakkan ponselnya dengan kasar. "Aku sudah tidak pulang tiga hari tapi dia masih begitu tenang?" Max bangkit dari kursi kebesarannya. Stefan yang melihat sontak ikut berdiri mengikuti tuannya. "Tuan akan pergi kemana?" "Pulang ke vila." Seketika keming Stefan mengerut mendengar jawaban Max. "Tapi Tuan, bagaimana dengan pertemuan jam delapan?" Max memicingkan mata. "Kau tidak dengar apa yang aku katakan? Apa kau ingin aku bekerja terus semalaman? Ini sudah malam, orang gila mana yang terus bekerja sampai semalam ini?" Setelah mengatakannya Max pergi meninggalkan Stefan yang mematung di tempat. Raut wajah sekretaris itu sungguh buruk dan tampak tak percaya. Tuan, bukankah kamu sendiri yang meminta pertemuan dilakukan jam delapan malam? Tapi kenapa sekarang seolah itu adalah kesalahan sekretarismu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN