Karena ini adalah ciuman kedua Sissy dimana dia masih belum memiliki pengalaman, dia bahkan hanya mengecup bibir Garry sebentar.
Sissy kembali membuka matanya yang kemudian bertatapan dengan mata abu yang selalu berada di angannya setiap malam selama berbulan-bulan.
“Itu caramu berciuman?” tanya Garry yang sekarang matanya menatap lapar pada bibir Sissy.
Sissy mengerjap saat mendengar perkataan Garry. Dia ingat ciuman pertama mereka empat bulan yang lalu, tapi dia tidak berani mengulang dengan cara yang sama karena takut salah dan jadi malu. Namun kalau Garry bertanya seperti itu, bukankah berarti ada yang salah dengan ciumannya?
“Memang harusnya bagaimana? Kan ciuman itu …” perkataan Sissy terputus saat Garry menarik tengkuknya dan mulai menciumnya.
Sissy kembali menutup matanya dan mengikuti cara Garry menciumnya. Garry menciumnya seperti saat pertama pria itu menciumnya, perlahan dan lembut, bedanya kali ini dia membalas ciuman itu yang membuat ciuman itu berlangsung cukup lama.
Ketukan di pintu membuat Sissy kembali terlonjak dan melompat dari ranjang. Mereka menoleh dan mendapati Justin yang masuk kesana. Sissy bersyukur karena Rose tidak ikut suaminya, karena sahabatnya itu pasti tahu apa yang tengah terjadi.
“Sissy, Rose menunggumu di perpustakaan.” kata Justin mengabaikan reaksi mencurigakan Sissy yang seperti kancil ketahuan mencuri timun.
“Eh, tapi … nanti siapa yang membantu Garry makan?” tanya Sissy khawatir.
“Aku baru makan lima butir telur dan aku masih belum lapar,” jawab Garry.
“Begitukah? Kalau begitu aku ke perpustakaan dulu ya. Aku akan segera kembali nanti,” pamit Sissy. Namun wajahnya kembali merona karena perkataan Justin saat dia baru dua langkah berjalan melewati pria itu.
“Lebih baik kau mencuci wajahmu dulu jika tidak mau Rose menginterogasimu,” kata Justin yang sebenarnya bermaksud menyelamatkan Garry dari istrinya. Kondisi Garry sekarang tidak memungkinkan pria itu memberikan perlawanan jika Rose berniat menguliti pria itu hidup-hidup karena mengetahui apa yang barusan terjadi dan istrinya itu semenjak hamil menjadi haus darah.
Tidak sulit mengetahui kalau pasangan ini baru saja beremsraan, terutama karena reaksi Sissy dan wajah wanita itu yang merona. Dia tidak peduli dan berharap kedua orang itu memang bisa bersama. Tapi pemikiran istrinya berbeda, Rose tidak mau Sissy berada dalam bahaya karena bersama Garry dan dia mengerti maksud istrinya, teman-teman istrinya hanyalah wanita biasa yang dibesarkan secara normal, sedangkan hidup mereka selalu bersinggungan dengan maut.
“Eh, begitu ya? Baiklah nanti aku akan ke toilet dulu,” jawab Sissy yang buru-buru keluar dari kamar dan mencari toilet di luar. Dia malu karena sepertinya Diego mengetahui kalau dia baru saja berciuman dengan Garry.
Sissy menatap pantulan wajahnya di cermin setelah dia mencuci muka dengan air dingin. Dia berusaha membuat wajahnya tidak merah lagi agar Rose tidak curiga. Setelah menenangkan jantungnya dan merasa kalau wajahnya sudah tidak merona, Sissy keluar dari toilet dan berjalan ke perpustakaan untuk mencari Rose.
****
“Lain kali berhati-hatilah. Aku tidak bisa membantumu jika Rose marah,” kata Justin memperingati.
“Aku mengerti.” jawab Garry.
“Kurasa kau akan cepat kembali seperti semula jika Sissy yang mengurusmu,” lanjut Justin sambil tersenyum, dia mengambil kursi untuk dia duduki di depan ranjang perawatan Garry.
“Lebih baik Anda segera mengembalikannya ke Indonesia,” tolak Garry yang khawatir saat dirinya sehat nanti, dia tidak akan bisa menahan dirinya untuk tidak memiliki Sissy. Dan hal itu akan membuatnya terikat dengan wanita itu dan membawa wanita itu kepada kematian.
“Bukankah kau mencintainya? Seharusnya sekarang kau membuatnya menjadi milikmu.” tanya Justin dengan alis berkerut.
“Karena itulah dia harus segera pergi dari sini atau aku akan menghancurkannya.” jawab Garry. Justin menyandarkan tubuhnya di kursi dan menatap Garry dengan tatapan datar, dia menghela nafas karena tahu kalau Garry mundur lagi.
“Kau tahu kalau semua yang dekat denganku akan berakhir mengenaskan.” kata Garry saat melihat tatapan tidak suka Justin.
“Itu hanya pemikiranmu saja. Memang dunia kita ini keras, tapi bukan berarti kita tidak bisa bahagia. Lihatlah aku, aku bisa membuat Rose mencintaiku dan kami bahagia.”
“Istrimu berbeda dengan Sissy. Sissy tidak akan bisa bertahan di dunia kita, wanita itu selalu memandang semuanya dari sisi positif. Lagipula, kau tahu aku tidak berniat serius dengan wanita.”
“Kapan aku serius dengan wanita? Rose yang membuatku seperti itu. Sekarang aku tidak menginginkan wanita lain, Rose adalah segalanya untukku.”
“Jangan membujukku, Justin. Aku tak mau Sissy bernasib seperti Carol!” Garry menggertakkan giginya karena emosi, dia bahkan memanggil Justin hanya dengan namanya. Dia yakin maksud Justin adalah agar dia menikahi Sissy, walaupun dia sangat ingin tapi dia tidak mau lagi menjadi egois, cukup Carol saja yang menjadi korbannya.
Carol adalah calon istri Garry yang meninggal karena kecelakaan empat tahun lalu saat Garry memberitahu pekerjaannya yang sebenarnya. Carol tidak bisa menerima kenyataan itu dan langsung memutuskan hubungan mereka, dengan panik wanita itu lari ke jalan saat Garry mengejarnya, wanita itu tidak melihat mobil yang melaju kencang ke arahnya karena saat itu lampu lalu lintas berwarna hijau dan tabrakan tidak dapat dihindari. Carol meninggal di tempat setelah tubuhnya terpental dua meter.
Dia mencintai Carol. Wanita itu bisa membawanya keluar dari trauma akan kematian keluarganya dan memberinya kebahagiaan di dua tahun kebersamaan mereka. Kematian Carol bukan hanya membuatnya traumanya kembali, tapi menambahnya dengan membuatnya menganggap dirinya adalah pembawa petaka bagi orang terdekatnya. Setelah keluarganya, sekarang diapun membuat Carol meninggal!
Justin kembali menghela nafas, dia tahu dia sudah sampai di batas kesabaran Garry. Trauma Garry membuat pria itu tidak mau mengambil resiko membuka diri pada wanita manapun lagi setelah Carol meninggal. Entah bagaimana, tapi Sissy berhasil menyusup ke hati Garry disaat pria itu bahkan menggunakan perisai di hatinya.
Justin melirik Garry yang masih memasang wajah datar, dalam hati dia berharap Garry merubah keputusannya, kebahagiaan itu harus dikejar, seperti dia mengejar Rose saat dia menyadari kalau Rose adalah kebahagiaannya. Dia mensyukuri takdir yang membawanya pada Rose, yang membuatnya sekarang bisa merasakan kebahagiaan, sesuatu yang dulu dia anggap mustahil.
“Baiklah, terserah padamu. Lagipula Rose bercerita kalau Sissy sebentar lagi harus kembali ke Indonesia karena ayahnya sudah menjodohkannya.” kata Justin enteng. Dalam hati dia tersenyum saat tubuh Garry yang menegang karena perkataannya. Dia akan berusaha menyadarkan Garry sebelum pria itu kehilangan Sissy untuk selamanya.
****