PART-5

2460 Kata
PART-5 Tubuhmu terlalu indah untuk sekedar di pandang- BASTIAN FERDIANSYAH Bastian menghilang di balik pintu setelah ia mengecup pipiku pelan. Aku bisa melihat Dewa marah melihat Tian melakukan itu. Dewa ingin mengejar Tian tapi aku menahannya. Aku memeluknya erat untuk meredam emosinya. "Jangan memeluk pria lain selain aku!" Kata Dewa lirih saat dia berada di pelukanku. "Aku tidak mau terjadi hal buruk padamu." "Pukulan Tian tidak akan sakit. Lebih menyakitkan saat aku melihatmu memeluk pria lain, Sayang." Dewa mengecup pucuk kepalaku. "Jangan lebay, Dewa." Kataku seraya mengurai pelukan. Dewa enggan melepaskanku. Aku tahu dia menikmatinya. Dia mengangkat daguku agar aku melihatnya. Tanpa bicara sepatah kata pun ia melahap bibirku lagi. Menghisap lembut bibirku. Aku masih menutup mulutku dan tidak membalas perlakuannya terhadapku. "Ayo, Sayang kita lakukan lagi." Dewa memohon. "Kau ketagihan dengan bibirku, hem?" Tanyaku. "Aku baru pertama kali melakukannya dan hanya kulakukan padamu. Aku tidak mau merasakan bibir lain selain milikmu, Sayang. Ayolah!" pinta Dewa. Aku memeluk Dewa sangat erat. Seakan dia milikku. Dewa mendekatkan wajahnya ke telingaku. "I'm yours, Baby and you're mine." Kata Dewa lirih. Aku menempelkan bibirku ke bibir ranum Dewa. Dewa memiliki bibir yang merah dan sexy. Aku juga selalu menginginkanya meski hubungan kami tidak jelas. Aku mengalungkan tanganku ke tengkuk Dewa. Dewa membuka mulutnya membiarkanku mengexpose apa pun yang ada di dalam mulutnya. Dewa hanya diam dan membiarkanku melakukan apa pun yang kumau. Aku merasakan tubuh Dewa semakin menghimpitku. Ia menautkan lidahnya dengan lidahku. Aku bisa merasakan betapa bergairahnya dia saat ini. Sesuatu mengeras di bawah sana. "Eeeeuummmmphhh!!!" Erangku. "De-wa le le -pashhh!!!!" Kataku disela ciuman Dewa. Akhirnya Dewa melepaskanku saat melihatku hampir kehabisan napas. "Jangan lakukan itu lagi!" Kataku kesal. "Aku mencintaimu, Gadis. Menikahlah denganku. Kumohon." Katanya memohon. "Apa kau hanya menginginkan tubuhku?" "Apa maksudmu?!" "Apa kau hanya menginginkan keindahan tubuhku? Bukannya aku terlalu percaya diri. Tapi banyak yang bilang tubuhku memang indah." "Kau salah. Bahkan bila tubuhmu tidak seindah itu aku akan tetap menginginkanmu. Aku mencintaimu." "Aku ragu Dewa." "Gadis! Aku bisa membeli ratusan atau bahkan ribuan wanita di bawah umur yang masih virgin untuk melayaniku. Apa kau lupa tentang kekayaanku, ha? Jangan kau lupakan itu. Aku bisa membeli model cantik dengan tubuh luar biasa indah jika aku mau! Tapi aku hanya menginginkanmu! Hanya dirimu! Jangan pernah berpikir aku tidak serius padamu!" Dewa begitu marah saat aku meragukannya. Namun dia masih memelukku erat. Dia marah padaku tapi masih memelukku. Dan sepertinya bibirnya siap menerkamku. Dasar Dewa m***m! "Aku m***m saat bersamamu, Sayang. Jangan ragukan aku lagi. Jangan tinggalkan aku. Aku mencintaimu. Aku tidak akan memaksamu menikah denganku  sekarang. Kita bisa jalani pelan-pelan. Percayalah aku hanya mencintaimu." Aku melihat ketulusan di mata Dewa saat ia mengatakan hal itu. Aku bisa merasakan betapa dia sangat sedih saat aku meragukannya. Tapi aku masih tidak yakin dengan diriku sendiri. "Bekerjalah. Nanti makan siang dan pulang denganku. Jangan menggodaku, sayang." Dewa berkata lirih di telingaku lalu mencium bibirku singkat. Hari ini berlalu begitu cepat. Seperti yang Dewa katakan aku makan siang dan pulang bersamanya. Di sela-sela hariku Tian menghampiriku untuk meminta maaf untuk kesekian kalinya. Tepat saat Tian datang Dewa sudah berdiri di ambang pintu ruanganku dan menyambutnya dengan seringaian mengejek. Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Pagi hari Dewa menjemputku lalu sarapan bersama. Siangnya kami makan bersama. Pulang kerja dia selalu mengantarku, lalu mengajakku ke tempat-tempat romantis seperti biasanya. Dan masih seperti biasa, Tian selalu melakukan peneroran terhadapku. Datang ke ruanganku, ke kostku atau di mana pun ada aku dia akan menghampiriku. Dan Dewa selalu menghalangi Tian untuk bertemu dengaku. Namun berbeda dengan dua hari terakhir ini. Aku mulai berpikir mungkin dia lelah mengejarku. Lelah dengan kehadiran Dewa di sampingku. Jengah melihat sikap Dewa yang possesive padaku. Aku masih berkutat dengan layar laptopku. Dewa menyuruhku menyelesaikan laporan presentasi karena besok dia akan bertemu klien penting. Hari ini juga harus selesai. Meskipun Dewa menggilaiku, dia tetaplah bosku. Aku juga harus bekerja secara profesional dengannya. "Sayang...." Dewa masuk keruanganku tanpa mengetuk pintu atau bahkan permisi. "Apa laporannya sudah selesai, Sayang ?" Tanyanya manja seraya menghampiriku lalu menciumi rambutku. "Hampir selesai,Dewa. Berhenti menciumiku, kau membuatku geli saja." "Aku menyukainya." Katanya terkekeh. Dewa mengangkatku dari kursi yang kududuki. Ia lalu mendaratkan bokongnya di kursiku sambil masih membopongku. Aku otomatis merangkulnya karena Dewa menjatuhkan tubuhku di atas pangkuannya. "Jangan lakukan itu, Dewa. Kau selalu melakukannya sesukamu tanpa pernah meminta ijin dariku." Kataku kesal. "Kau menyukainya, Sayang. Aku tidak peduli siapa pun melihat kita. Aku selalu menginginkanmu di mana pun." Dewa melumat bibirku tanpa ampun. Memaksaku membuka mulutku agar dia leluasa mengabsen apa pun yang berada di sana. Aku bisa merasakan miliknya semakin keras di atas bokongku. Aku mulai risih dengan itu. Aku melepaskan bibirku dari bibir Dewa. Aneh, tidak biasanya Dewa membiarkanku melepaskannya saat dia baru sebentar menikmati bibirku. Bibir Dewa menyusuri leherku lalu mencecapnya perlahan. Aku merasakan bulu kudukku meremang. Aku masih bingung dengan sensani yang kurasakan. "Emmphhh!! DEWA!!!" Erangku lolos begitu saja saat Dewa semakin rakus menyesap leherku. Aneh rasanya, nikmat sekali. Aku menjambak rambut Dewa pelan karena tubuhku semakin menikmati perbuatan Dewa. "Emmbbhhhh! Dewa.!!!" Erangku lagi. "Lepas, Dewa! Kau membuatku geli." "Emmppphhht!!!!" "Dewa, i want you." Kata-kata itu lolos begitu saja dari mulutku. Dewa melepaskan bibirnya dari leherku. Aku tidak menyadari kalau bibir Dewa hampir mencapai buah dadaku. Aku memakai kemeja dengan warna peach yang tadinya rapi sekarang sudah tidak karuan. Kancing kemejaku sudah terlepas tiga. Aku bisa melihat bra warna hitam yang kupakai dan menyembulkan gundukan daging di sana. Dewa mengangkatku lalu membawaku ke ruangannya sambil mengunci bibirku dengan bibir sexy miliknya. Kedua tanganku masih mengalung di tengkuknya. Kurasa Dewa terlalu keras memainkan lidahku hingga menimbulkan suara seperti gemercik air. Aku merasakan tubuhku sudah berasa di sebuah tempat tidur yang empuk. Ya, bed dengan ukuran king size yang berada di ruangan Dewa. Dewa mulai melanjutkan aksinya dengan membuka seluruh kancing kemejaku. Aku melihatnya tersenyum jumawa saat melihat tubuh bagian atasku tanpa alas. Hanya bra hitamku yang masih sempurna menutupi payudaraku. Dewa kembali menyesap bibirku dengan rakus. Melumatnya tanpa ampun. Memainkan lidahku dengan lidahnya. Aku bisa merasakan miliknya menggesek milikku. Tangannya membelai perut rataku. Kemudian beralih ke payudaraku. Satu tangannya menopang tubuhnya sendiri agar ia tidak menindihku karena posisinya tepat di atasku. Aku menikmati perlakuan yang ia berikan. Aku kehilangan bibir Dewa dan belaian lembut yang kurasakan. Aku melihat Dewa ambruk di sampingku. Napasnya terengah-engah. Peluh bercucuran di dahinya. "Maafkan aku, Sayang." Katanya sembari menutup tubuhku dengan selimut tebal di sampinya lalu memelukku. Aku mendengarnya terisak. Apa dia menangis. "Aku memang b******k!!! Kumohon maafkan aku." Suara Dewa semakin parau. "Jangan lakukan lagi." Kataku. "Kau memaafkanku?" "Iya. Aku takut, Dewa. Aku tidak pernah sejauh ini sebelumnya." "Jangan takut. Aku mencintaimu, Sayang. Menikahlah denganku dan kita bisa melakukan lebih dari ini." "Tidak secepat itu, Dewa." "Baiklah aku mengerti. Sayang, besok aku ada meeting mungkin sampai malam. Aku tidak bisa mengantarmu pulang. Aku akan menyuruh supir mengantarmu. Aku akan mengirim makan malam. Supirku akan berjaga di rumah kostmu sampai pagi. Sampai aku menjemputmu lagi. Aku tidak mau Tian menghampirimu saat aku tidak di sampingmu. Jangan macam-macam saat aku tidak ada." Jelas Dewa panjang lebar. "Apa-apaan kau, Dewa. Kau berlebihan. Aku bukan tahanan. Dan aku juga bukan wanita special yang harus kau jaga seperti itu." "Kau segalanya. Aku hanya mengantisipasi, Sayang." "Baiklah kalau itu maumu." Aku masih mencoba mengancingkan bajuku karena ulah Dewa tadi. Dewa melihat gerakanku di bawah selimut dan berkata "Biar aku saja. Itu perbuatanku." "Tidak. Kau akan lebih ganas saat melihatnya untuk kedua kalinya." "Sayang... kau bisa saja." kekehan lembut keluar dari mulutnya. "Itu fakta, Dewa." "Baiklah kau menang." Esok harinya, Dewa benar-benar meninggalkanku. Setelah menjemputku dan sarapan bersama. Aku bisa melihatnya begitu sedih saat menghampiriku di ruanganku. "Sayang, aku akan merindukanmu." Katanya sambil bergelayut manja dipelukanku. "Dewa, kau bukan anak kecil lagi. Pergilah." Kataku. "Aku akan kembali besok pagi. Besok weekend dan kita jalan-jalan ya, Sayang? Mungkin nanti aku pulang malam." "Iya, Dewa. Menangkan tender besar ini dan perusahaanmu akan semakin besar. Aku akan sangat bangga melihatmu menjadi orang nomor satu di negeri ini." "Pasti! Akan kulakukan apapaun demi keluarga kita kelak. Aku mencintaimu, Sayang.'' Dewa mulai melumat bibirku tanpa ampun. Aku membiarkannya melakukan apapun yang dia mau. Entah sudah berapa lama dia melakukannya. Aku mulai sesak napas dibuatnya. "Kau hampir membuatku mati, Dewa." "Mati kenikmatan. Jangan bicara seperti itu, Sayang. Aku akan sangat merindukanmu. Jangan macam-macam!" "Iya, iya, Bos." Dewa mendaratkan bibirnya lagi sekilas. Lalu memelukku erat. Aku bisa merasakan dia begitu frustasi karena meninggalkanku. Aku mengantar Dewa hingga depan kantor. Kali ini dia memakai supir. Aku melambaikan tanganku ke arhanya saat dia melambaikan tangannya. Aku beranjak dari depan kantor Dewa dan melihat beberapa karyawan membicarakan tentangku. Ada yang sengaja mengeraskan suaranya agar aku mendengar apa yang mereka bicarakan. "Hay," sapa Tian saat dia menghampiriku. "Apa kabar, Gadis?" "Baik." Jawabku singkat. "Kemana Dewa?" "Dewa meeting di luar." "Kapan kembali?" "Lusa." "Kau pulang sendiri, Gadis?" "Tidak. Dewa mengutus supir untuk mengantarku." "Baiklah. Kalau butuh apa-apa, hubungi saja aku." "Thanks, Tian." "Aku akan mengantarmu sampai ke ruanganmu." "Aku bisa sendiri, Tian." "Tidak. Kali ini saja, Gadis. Kumohon." "Baiklah." "Apa Dewa memaksamu memberikan bibir indahmu itu?" "Tian...." aku tahu arah pembicaraannya. Dia akan menghinaku lagi dan lagi. "Aku tahu, kau bukan w************n yang mudah memberikan milikmu pada orang lain. Aku tahu dia memaksamu ,Gadis. Aku tahu kau mencintaiku. Aku pergi dulu ,Gadis. Sudah sampai di ruanganmu." Aku melihat Tian pergi meninggalkanku saat kami sudah sampai di ruang kerjaku. Aku masuk lalu mendaratkan bokongku di kursi. Ponselku berteriak saat ada panggilan masuk. Aku mengusap gambar telepon berwana hijau lalu menempelkan di telingaku. "Apa Tian mengganggumu?" Tanya seseorang di seberang sana. "Tidak. Hanya bertanya kabarku dan mengantarku hingga ke ruanganku. Kau tahu dari mana?" "Bukankah anda bekerja di perusahaan saya, Nona?" "Iya, Bapak Dewa." "Di sana banyak mata-mata jadi jangan coba-coba, ya." Aku memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Apa-apaan dia menuduhku macam-macam dengan Tian? Ponselku kembali berteriak sangan keras. Aku mendengus kesal. Kalau tidak kuangkat pasti akan lebih menyedihkan lagi akibatnya. "Sayang...jangan membuatku tidak fokus dengan meeting nanti. Aku bisa melihat wajah kesalmu dari sini." Kata seseorang di seberang sana. "Kau membuatku kesal. Apa aku terlihat bahagia saat bersama Tian?" "Maafkan aku. Jangan ngambek lagi, ya?" "Iya. Di mana kau?" "Hampir sampai tempat meeting, sayang," "Ya sudah. Selesaikan urusanmu. Tetap fokus. Aku tidak akan macam-macam di sini. Kita bertemu besok." "Iya, Sayang. Aku tahu kau bisa jaga diri. Aku mencintaimu." Tut... tutt tuttt Aku melanjutkan pekerjaanku. Aku mulai berpikir apa yang Dewa lakukan saat ini? Ah, mungkin dia masih sibuk dengan pekerjaannya. Hampir waktunya makan siang. Aku mengirim pesan singkat kepadanya. Dewa, jangan lupa makan. Beberapa menit kemudian seseorang mengetuk pintu ruang kerjaku. Tok tok tok "Masuk." Perintahku. "Maaf Bu, ini makan siang anda. Pak Dewa yang mengirimnya." "Terima kasih." Kataku sambil tersenyum. Aku tahu dia salah satu office boy yang bekerja di perusahaan ini juga. Ponselku bergetar tanda ada pesan masuk. Iya, sayang. Terima kasih perhatiannya. Apa makananmu sudah sampai? Aku tersenyum membaca pesan dari Dewa. Walau sekarang dia tidak di sampingku tapi perhatiannya tidak pernah pergi dariku. Sudah. Apa kau sudah makan? Aku membuka kotak makan yang Dewa kirim. Ini seperti masakan rumahan. Nasi dengan sayur mayur dan seafood kesukaaanku. Aku melahapnya hingga tandas. Aku juga sudah makan, Sayang. Aku akan kembali bekerja. Aku mencintaimu-Dewa Aku tidak membalas pesan dari Dewa. Mungkin sekarang Dewa sudah memulai pekerjaannya lagi. Pukul 17.00 Wib. Seseorang mengetuk pintu ruanganku. "Maaf, Nona, mobil anda sudah siap." Kata lelaki paruh baya yang sekarang berdiri di ambang pintu ruanganku. "Iya, Pak. Bapak tunggu di bawah saja." Kataku. "Baik, Non." Lelaki paruh baya itu adalah supir keluarga Dewa. Sesampainya dibawah aku langsung menuju mobil yang di maksud supir tadi. Perjalanan lumayan macet seperti biasa. Sore ini aku akan mencuci semua pakaian kotorku lalu tidur. "Terima kasih, Pak." Kataku pada Bapak supir yang barusan mengantarku. "Sama-sama, Nona. Saya boleh duduk di sini?" Tanya supir tadi. "Emm, Bapak tidak pulang?" Tanyaku "Tidak, Nona. Saya pulang kalau bodyguard Nona sudah sampai." Kata Pak supir. "Bodyguard, Pak?" Tanyaku bingung. "Iya, Non. Pak Dewa akan mengirim bodyguard untuk nona dan sementara menunggu mereka saya akan berjaga di sini." Kata pak supir menjelaskan. "Bapak bisa pulang sekarang. Saya tidak apa-apa." Kataku sopan. "Tidak, Nona. Saya akan tetap di sini sampai bodyguard nona sampai." Kekeh pak supir. "Baiklah. Bapak boleh duduk di sini." Kataku menunjuk kursi yang tersedia di bangku depan kamarku. Aku menanggalkan pakaianku lalu mencuci semua baju kotor milikku. Setelah mandi aku beranjak untuk memakai dress rumahan dengan taburan bunga di seluruh bagiannya. Tok tok tok "Non ini makan malamnya." Kata seorang berbadan besar seperti atlet angkat besi. Aku baru menyadari ternyata supir yang tadi mengantarku sudah pergi dan digantikan dua atlet angkat besi. "Ohh, iya, terima kasih." Kataku. "Sama-sama." "Bapak mau makan sekalian?" Tanyaku. "Kami sudah makan, Nona. Terima kasih." Jawab mereka ramah. "Saya mau keluar beli tissue dulu, Pak, Bapak berdua bisa tunggu di sini saja." "Kami antar non." Kata salah satu di antara mereka. "Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri. Lagipula, tempatnya dekat dari sini." "Sesuai prosedur, kami akan tetap mengantar Nona." Kata salah satu dari mereka. "Baiklah. Tunggu saya ambil dompet sama handphone dulu." Aku melangkah menuju warung diikuti dua bodyguard suruhan Dewa. Ponselku bergetar, tanda ada panggilan masuk. Aku melihat nama yang tertera disana-Dewa. Aku memakai headset untuk mendengarkan musik tadinya. Kuangkat telepon dari Dewa dengan masih menggunakan Headsetku. Lalu kumasukkan lagi ponselku ke dalam saku dressku. "Sayang, di mana kau? Apa kau sudah makan?" Suara Dewa dari seberang. "Belum." "Apa makanannya belum sampai?" "Sudah. Ini aku masih di jalan, mau ke warung beli tissue." "Di antar bodyguard,'kan?" "Iya. Dewa kau berlebihan. Aku baik-baik saja. Tidak perlu di perlakukan seperti itu juga." "Aku tidak mau terjdi apa-apa padamu." "Dewa, apa kau sudah pulang?" "Aku masih di jalan, Sayang. Kau merindukanku?" "Tidak." "Bohong!" Bukkkkk!!!! Bukkkkk!!!!! Buuukkkk!!!!! Aku melihat ke belakang, tak percaya dengan penglihatanku. Dua orang suruhan Dewa di hajar habis-habisan oleh sekelompok orang tak dikenal. Mereka sekarang ambruk terkapar tak berdaya. "Aghhhhhhhhhht! Dewa!!!!!" Aku berteriak sangat keras berharap Dewa menolongku. Tapi tidak mungkin. Dia terlalu jauh dari lokasiku sekarang. "Emmmppphhht!!!!!" Aku berontak saat seseorang mencekal tanganku lalu menutup mulutku dengan kain hitam. Gelap. Gelap. Gelap. ** Aku mengerjapkan mataku mencoba beradaptasi dengan lampu di sekitarku. Aku mendapati diriku berada diatas tempat tidur dengan ukuran king size. Aku berada di sebuah kamar hotel berbintang. Ya, di situlah aku. Hanya memakai celana dalam dan tanpa alas sedikit pun pada bagian atas tubuhku. Aku bisa melihat banyak sekali lampu dari jendela kamar dengan tirai yang sengaja di buka. Aku berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi. Tiba-tiba seseorang datang menghampiriku. Aku reflek menarik selimut untuk menutupi tubuhku. "Tubuhmu terlalu indah untuk sekedar di pandang, Sayang." Aku kenal suara itu.. suara yang tak asing bagiku. Tian ?                                                      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN