PART-6
Aku mulai berpikir dalang di balik semua ini adalah Tian. Tian yang menghajar orang-orang suruhan Dewa. Tian yang membawaku kemari dan menelanjangiku. Apa? Menelanjangiku? Ya Tuhan? Apa ini? Bahkan tidak ada seorang pun yang pernah melihat keindahan tubuhku selain Kayla dan Dewa beberapa hari lalu. Sekarang, atau lebih tepatnya beberapa menit lalu Tian membuang kain yang membungkus tubuhku entah kemana.
Kurasakan kakiku mulai bergetar dan peluh bercucuran dari dahiku. Aku takut. Aku tidak tahu di mana posisiku saat ini. Aku mungkin mencintai Tian, tapi bukan ini yang kumau. Aku bahkan muak dengan sikapnya beberapa hari lalu. Sekarang dia membuatku tambah muak.
Aku melihat senyum indah yang tercipta dari wajah tampannya. Bahkan saat kuliah dulu banyak yang menggilai Tian. Aku memang beruntung memilikinya. Aku mengalahkan banyak sekali teman kampusku dan membuat mereka patah hati.
Bagiku, Tian adalah laki-laki paling sempurna yang pernah diciptakan Tuhan. Selain tampangnya yang menawan harus kuakui dia baik dan setia. Entah sudah berapa banyak wanita yang menggodanya, tapi dia kekeuh mempertahankan hubunganku dengannya.
Tian selalu bersamaku setiap harinya. Dia mengorbankan waktu dan rupiahnya untukku. Banyak sekali alasan kenapa aku mencintainya.
Tapi, kurasa alasan-alasan itu sekarang sudah menjadi abu yang sekarang sudah berterbangan entah kemana.
Yang ada saat ini adalah alasan untuk membencinya. Ya, aku membencinya. Terlebih sikapnya yang membuatku semakin muak dengan adanya dia disisiku.
Tian lalu mengayunkan kaki-kaki berototnya menuju ranjang tempatku duduk. Langkahnya pelan, tapi justru membuatku semakin takut dengan apa yang akan dilakukannya. Angan-angan liarku berterbangan di dalam kepalaku. Aku menatapnya intens. Ia membuka kaos yang membungkus tubuhnya lalu menyampirkannya di bahu.
Bola mataku bisa melihat ototnya tercetak dengan jelas di sana. Perutnya yang kotak-kotak dan terlihat sangat sexy. Aku memang tidak salah memilih pasangan. Tian memang sempurna.
Aku merutuki diriku sendiri, kenapa di saat seperti ini aku malah mengaguminya? Bukannya dia malah akan berbuat hal tidak senonoh terhadapku?
Dengan bersandar kepala ranjang, aku mulai duduk. Aku harus bersiap dengan kemungkinan terburuk nanti. Kalaupun malam ini hal itu akan terjadi mungkin memang aku harus menikah dengannya.
"Aku merindukanmu, Sayang." Bisik Tian saat dia sudah berada di ranjang bersamaku.
Tian melepaskan celana yang menutup kaki berototnya. Saat ini keadaannya sama sepertiku, dia hanya mengenakan celana dalam dan aku bisa melihat juniornya menyembul.
"Tian...kumohon...." pintaku.
"Tanpa kau memohon, aku akan melakukannya. Sayang.... Tenanglah..." katanya menggodaku.
"Kumohon jangan sentuh aku, Tian....."
"Ayolah.... jangan takut, Gadisku sayang.... Aku mencintaimu."
Tian belum sempat menyentuh sejengkal pun kulitku tapi aku sudah sangat ketakutan. Aku tidak ingin melakukannya dengan orang yang kubenci.
"Aku membencimu, Tian." Aku sengaja mengulur waktu dan berharap Dewa datang menyelamatkanku.
"Aku mencintaimu, Gadisku sayang. Ayolah... jangan mempersulit ini. Ayo kita lakukan dengan cinta." Tian mendekat ke arahku. Aku memundurkan tubuhku hingga posisiku berada di tepi ranjang dan hampir terjatuh. Tak lupa kutarik selimut yang kugunakan untuk melilit tubuhku. Aku mendengus kesal.
"Aku hanya ingin melakukannya kalau kita menikah!" Kataku tegas.
"Jadi kapan kita akan menikah?" Tanyanya.
"Aku tidak mau menikah denganmu!"
"Baiklah kalau begitu. Aku akan menghamilimu. Dan kita akan menikah dengan cara itu."
"Jangan lakukan itu, Tian. Kumohon. Aku belum siap." Pintaku. Tubuhku bergetar hebat karena Tian menyambar selimut yang kugunakan untuk melilit tubuh indahku.
"Aku akan melepaskanmu. Tapi berjanjilah kau akan menikah denganku." Katanya tegas. Aku tahu dia marah.
Aku menggeleng kuat. Aku tidak mau menikah dengannya. Apalagi dengan semua perlakuannya terhadapku. Aku muak dengannya.
"Baiklah, kita akan melakukannya dengan caraku. Kita akan menikah kalau kau sudah mengandung anakku. Kau yang akan memohon padaku untuk menikahimu. Empat tahun lamanya aku menunggumu. Kukorbankan semua yang kumiliki hanya untuk mencintaimu. Tidak cukup kah apa yang kuberikan padamu? Tidak cukup kuatkah cintaku untukmu? Sekarang! Seenaknya saja kau bersama sahabatku Dewa. Bukan, bukan kau tapi Dewa. Seenaknya saja dia merebutmu dariku. Aku muak melihatnya di sampingmu. Akan kubuat dia jijik padamu."
Ya Tuhan!!! Apa yang dia bicarakan? Apa yang harus kulakukan untuk pergi dari sini? Apa Dewa akan menyelamatkanku? Apa Dewa tahu di mana posisiku saat ini?
Aku mengamati seluruh ruangan. Tidak ada celah sedikit pun. Aku tidak mungkin bisa lari dari sini. Aku mengawasi Tian berjaga-jaga kalau dia siap menyantapku. Tian mendekat ke arahku. Aku turun dari ranjang dan berdiri bersandar tembok. Aku tidak peduli jika Tian melihat buah dadaku menggantung tanpa sehelai benang pun. Toh, dia sudah melihatnya tadi. Aku mencoba menutupinya dengan kedua tanganku yang kusilangkan di d**a.
"Gadis! Jangan buat aku marah!!!" Katanya geram.
Aku menggeleng kuat. Aku tidak mau melakukannya dengan Tian.
Tian semakin geram padaku. Dia mengajarku kemana pun aku lari. Berlari hanya di dalam kamar hotel mewah yang kini sudah seperti kapal pecah. Aku membuang apa pun ke arah Tian untuk menghindari kejarannya. Dia terus berteriak memanggil namaku. Aku semakin gencar menghindarinya.
Aku lelah. Aku lapar. Aku belum makan malam. Napasku terengah-engah. Tian masih dengan segenap tenaganya mengejarku. Bantal ,selimut, vas pecah, gelas, piring sudah berserakan di lantai.
Pasrah, hanya sedikit tenagaku yang tersisa. Aku tetap berlari meski tidak seperti tadi. Aku kehabisan napasku dan berhenti di salah satu sudut ruangan. Tian tersenyum miring ke arahku lalu berbalik menuju tasnya yang kulempar tadi. Dia mengambil sesuatu dari sana. Aku tidak bisa melihatnya karena tertutup tubuh besarnya.
Dia berbalik dan menyembunyikan satu tangan di belakang punggunya. Lalu dengnan gerakan super cepat Tian, menangkapku dan mengurungku dalam pelukannya.
Aku berontak. Berteriak dengan sisa tenagaku.
"Tian lepas!!!!" Aku menjerit sekeras mungkin.
"Tenang, Sayang, tidak ada yang bisa mendengarmu. Kamar ini kedap suara. Aku tidak mau ada yang mendengar desahanmu saat kita menikmatinya nanti." Kata Tian penuh percaya diri.
"Hanya aku yang boleh mendengar desahan sexymu. Aku akan membuatmu tak berdaya di bawahku. Dan kita akan menikamtinya."
Aku merasakan seperti ada yang sengaja menusukku. Sedikit tapi cukup membuatku nyeri.
"Aghht!!! Tian!!! Apa yang kau lakukan?"
"Bukan aku, Sayang. Ada semut yang menggigitmu tadi." Katanya.
Tian melepaskanku lalu membuang bekas suntikan yang ia gunakan untuk menyuntikku. Apa yang telah ia lakukan? Dia meninggalkanku lalu beranjak ke nakas di samping ranjang. Aku melihatnya meminum sesuatu.
Aku menggunakan kesempatan itu untuk menarik selimut yang tergrletak di lantai lalu kulilitkan ke tubuhku. Setidaknya Tian tidak bisa melihat tubuh telanjangku.
Bbrraaaaaakkkkkkkkk!!!!!!
Pintu kamar hotel terbuka dengan paksa. Beberapa orang berdiri di ambang pintu. Merekalah yang mendobrak pintu tersebut.
Dewa?!Jeritku halam hati.
Ya Dewa! Dia datang?
Tapi kenapa lama sekali?
Dewa berjongkok di hadapanku. Aku bisa melihat kesedihan dalam sorot matanya. Dewa mengangkat tubuhku yang sudah kulilit dengan selimut tebal. Lalu membawaku keluar dari hotel sialan itu.
Aku menoleh ke belakang melihat Tian dikeroyok oleh beberapa orang yang datang bersama Dewa. Tian ambruk di sisi ranjang. Darah mengalir dari sudut bibirnya. Kasihan Tian....
Aku mendongak untuk melihat wajah Dewa. Tatapannya begitu dingin. Dewa melangkahkan kakinya keluar hotel diikuti dua orang dibelakangnya. Tubuhku masih terbungkus selimut tapi cukup rapat.
Aku menenggelamkan wajahku di dadanya. Banyak pasang mata yang melihat ke arah kami. Aku malu. Dewa semakin memelukku erat.
Orang suruhan Dewa membuka pintu belakang mobil lalu Dewa membawaku dengan hati-hati masuk ke dalam mobil. Dua orang suruhan Dewa duduk di depan sementara aku dan Dewa di belakang. Tubuhku bergetar hebat. Aku masih shock dengan apa yang terjadi barusan.
"Maafkan aku." Kata Dewa sembari menciumi seluruh bagian wajahku.
"Aku bodoh!" Katanya lagi.
"Aku berjanji ini yang terakhir terjadi." Kali ini ia benar-benar terisak.
"Gadis, say something." pintanya.
Lidahku kelu. Hatiku nyeri. Napasku terengah-engah. Rasanya panas di sekujur tubuhku.
"Lebih cepat lagi!" Bentak Dewa pada supirnya.
Aku menggeleng kuat. Mencekeram jas Dewa yang masih rapih.
"Sayang.... sebentar lagi kita sampai. Sabar ya ...." bisiknya ditelingaku.
Jalanan memang sangat lengang. Malam ini, tepatnya tengah malam sebagian penghuni bumi telah terlelap. Mobil Dewa meluncur dengan kecepatan penuh. Ini bukan jalan menuju rumah kostku. Entah Dewa akan membawaku kemana.
Akhirnya mobil berhenti di sebuah rumah besar dan mewah. Aku hanya menoleh sekilas melihat rumah yang kami tuju. Dewa membopongku setengah berlari.
Aku melihat banyak sekali penjaga di sana. Beberapa membukakan pintu untuk Dewa. Ia menaiki tangga dengan hati-hati sambil terus membopong tubuhku. Panas kurasakan di sekujur tubuhku.
Dewa membaringkan tubuhku secara hati-hati di atas ranjang berukuran king size entah milik siapa. Lalu beranjak untuk menekan tombol di dinding ruangan itu. Ini kamar Dewa. Aku bisa melihat itu.
Dewa melepaskan jas yang ia kenakan lalu berbaring di sampingku. Tangannya mengelus rambut panjangku. Bibirnya menciumi seluruh bagian wajahku.
Tangannya beralih merengkuh pinggangku possesive. Tubuhku masih terlilit selimut. Apa karena selimut tebal ini aku jadi merasa sangat kepanasan?
"Sayang.... apa Tian melakukannya padamu?" Tanya Dewa dengan wajah sendunya.
Aku menggeleng kuat. TIDAK. Belum sempat tepatnya.
"Dewa aku haus." Kataku lirih.
Dewa beranjak lalu mengambil segelas air untukku. Dewa menyodorkan gelas itu ke bibirku. Aku beranjak duduk dari posisi berbaringku. Tangan yang tadinya kusembunyikan dalam selimut kini sudah keluar seutuhnya. Itu membuat selimutku terjun bebas menuju pahaku.
Aku menenggak seluruh isi gelas dengan sekali teguk. Masih terasa panas meski tubuhku tak terlilit apa pun dan aku juga sudah minum.
Dewa meletakkan gelas di atas nakas lalu kembali duduk di sebelahku.
"Aku mencintaimu. Maafkan aku, Sayang." Bisiknya di telingaku.
"Panas...." balasku
"Sudah kunyalakan ACnya, Sayang...." katanya
Aku mengangguk dan tersenyum.
"Terima kasih, Dewa..."
Dewa mencium bibirku lembut. Aku mengalungkan kedua tanganku di tengkuknya. Memasuki mulutnya dengan sedikit paksaan karena Dewa menolakku.
Aku menghisap bibir bawah Dewa lalu mencari lidahnya. Menautkan lidahnya dengan lidahku. Dewa membalasnya dengan lembut dan memelukku pinggul mulusku.
Ciuman kami semakin panas. Satu tanganku membelai lembur leher Dewa hingga turun ke dadanya yang masih terbungkus kemeja hitam. Aku tidak bisa mengendalikan otakku lagi.
Dewa menggeleng kuat dan melepaskan "JANGAN!”
Aku menarik kemaja Dewa dan membuatnya menabrakku. Aku tidak cukup kuat untuk menahan tubuhnya. Kami terjatuh di ranjang dengan Dewa berada di atasku.
Aku menyambar bibirnya menghisapnya dengan hasrat yang tak bisa kujelaskan. Tanganku dengan lincah membuka kancing kemeja Dewa satu persatu lalu melepaskan bibirku darinya. Aku mengecup leher Dewa dan menghisapnya penuh hasrat.
"Eeemmmmphhhhh!!!! Sayang, jangan!!!!" Desah Dewa.
Aku semakin bernafsu untuk menghisap lehernya. Berpindah dari satu sisi ke sisi yang lain. Tanganku mengelus punggung Dewa lalu menarik kemeja yang masih membungkus punggungnya.
Dewa masih terdiam tanpa memberi reaksi apa pun. Aku bisa merasakan miliknya menggesek area sensitifku.
"Eeeeuuumppmmh!" desahku. " Dewa!!"
Aku berhasil melepas seluruh kemejanya dan melihat tubuh sexynya dengan sangat jelas. Aku meraba putingnya sambil terus menghisap rahangnnya.
"Ahhhgghhhhtgggg!" desah Dewa.
Pertahanan Dewa runtuh. Tangannya menjalar ke dadaku. Meremasnya penuh gairah. Bibirnya menggigit kecil telingaku. Aku melepaskan bibirku dari rahangnya dan mencium bibirnya. Ciuman kali ini sangat panas karena Dewa akhirnya membalasku. Dewa melepaskan bibirnya lalu menyusuri rahangku.
"De.... wa.. aggghhhhttt." Desahku.
Bibirnya terus berjalan menuju gundukan daging yang tak terbungkus sehelai benang pun. Satu tangan Dewa menahan tubuhnya sendiri agar tidak jatuh menimpaku. Satu lagi bermain dengan putingku yang sudah sangat keras. Bibinya menyusuri putingku menggigitnya kecil, menjilatnya, menghisapnya hingga buah dadaku penuh dengan salivanya.
Aku menelusupkan jemariku ke rambutnya dan menariknya dengan perlahan. Bibir Dewa menyusuri perut rataku. Tanggannya melepaskan celana panjangnya yang sedari tadi sesak karena ulah junior nakalnya. Kini ia hanya memakai celana dalam sepertiku.
"Are you sure?" Tanyanya memastikan.
Aku mengangguk.
Kedua tangannya bermain dengan buah dadaku. Bibirnya menyusuri perutku lalu semakin turun lebih jauh. Satu tangannya membelai lembut area sensitifku lalu membuka penghalang terakhir, celana dalamku. Ia menghirup aroma khas bagian tubuhku.
"Kau sudah basah, Sayang." Godanya.
"Ahhhhhhbbttt!!!" Desahku.
Dewa menjilat area sensitifku, menghisapnya dengan rakus memainkan lidahnya di antara klitorisku.
"Ahhhhh, De-wa..."
Dewa membuka celana dalamnya lalu mendekatkan wajahnya ke arahku. Mencium bibirku lembut dan berkata..
"Ini akan sakit, Sayang. Maafkan aku.."
Lakukan sekarang Dewa. Batinku.
Dewa menyatukan tubuh kami. Perlahan tapi pasti. Aku merasakan ada yang mengoyak bagian sensitifku. Rasanya sakit. Perih! Aku tidak akan kuat.
"Ahhhh De----wa!!!!! Sakit." Aku berteriak sambil mencakar punggung Dewa.
"Sayang... maaf... maafkan aku. Aku mencintaimu, Gadis!!!!" Katanya sambil terus mendesakkan bagian tubuhnya ke dalam diriku..
"Aku belum sepenuhnya masuk, Sayang.. tahan, ya...." katanya lagi.
Aku menggeleng. Tidak!! Ini sangat sakit. Aku menyerah!
"Aku sudah sepenuhnya masuk, Sayang. Sempit sekali..." katanya terkekeh lalu mencium bibirku lembut.
Ada yang mengganjal di bagian sensitifku. Rasanya perih, sesak dan nikmat. Napasku kembali normal. Dewa membiarkanku menghirup banyak sekali udara saat dia mulai menjilati leherku dan menghisapnya.
"Ahhhhhhh, Dewa." Erangku.
"Kita lakukan sekarang,." Katanya.
Dewa memaju mundurkan pingggulnya perlahan, tangannya bermain di dadaku. Aku menghisap rahangnya kuat. Menahan desahanku dengan menyumbal mulutku dengan kulitnya.
"Ahhhh, Dewa...." erangku.
"Aku mencintaimu, Sayang!!!" Desah Dewa di sela-sela pompaannya.
"Ahhhh, Dewa. DEWA!!!!"
"Sayang.... kau membuatku menggilaimu."
"Ahhhhh, Dewa aku mau.... pipis."
Dewa tertawa lalu melahap bibirku.
"Lepash, De-----wa!!!! Aku mau PIPIS" Erangku. Aku serius mau pipis. Kalian pikir aku bercanda? Tidak!
"Tunggu sebentar, Sayang. .... aku juga hampir keluar." Dewa semakin cepat memompa. Meremas buah dadaku membuatku mendesah tak karuan. Aku sudah tidak tahan lagi.
"Ahhhhhghhhhhttt....." Lenguhan keras keluar dari mulut kami. Aku benar-benar sudah pipis sekarang. Lega sekali rasanya. Dewa ambruk di atas tubuhku. Napasnya terengah-engah.
"Aku keluar di dalam, Sayang. Bagaimana denganmu? Kau sudah keluar juga?" Tanyanya sambil tersenyum menggodaku.
Aku mengangguk.
"Dewa...berat turun dari atas tubuhku." Kataku kesal. Aku tidak kuat menahannya lebih lama?
"Baiklah.... " katanya bersungut-sungut.
Dewa ambruk disampingku lalu memeluk pinggangku possesive. Aku menarik selimut untuk menutup tubuhku. Aku malu Dewa melihatku bugil.
"Kenapa harus malu. Aku sudah melihat semuanya." Godanya.
Aku mencebik. Membalikkan badanku berniat memunggunginya. Terlambat. Dewa membalikkan tubuhku menindihnya dengan tubuh kekarnya lalu melahap bibirku. Melumatnya penuh hasrat, menautkan lidahnya dengan lidahku. Tangannya memutar putingku. Meremas kedua daging kenyal mulus milikku.
Bibirnya berpindah menyusuri rahangku lalu menjilat putingku. Menghisap buat dadaku kanan-kiri bergantian.
"Ahhhhh... Dewa!!!" Erangku.
"Let's do it again!" Katanya.
Dewa merangkak, wajahnya tepat berada di depan wajahku. Ia mencium bibirku intens- sangat lama baru kemudian ia melepaskan bibirku.
"Aku mencintaimu."
"Menikahlah denganku."
"Kita bisa melakukan ini setiap saat."
"Jangan pernah pergi meninggalkanku."
"Aku menggilaimu, Gadisku." Rancaunya.
Lalu, Dewa kembali menyatukan tubuh kami.