First Apartment, Alexandra's place.
07:00 pm.
Alexandra baru saja pulang ke apartemennya setelah seharian sibuk menghabiskan waktunya untuk berbelanja. Ia menghabiskan hampir seluruh waktunya hari ini untuk berkeliling kota Seattle demi menghilangkan perasaan kesalnya pada sang ibu. Ia membeli banyak pakaian baru, sepatu baru, perhiasan, aksesoris, tas baru bahkan ia juga memborong seluruh kosmetik dari brand ternama yang diluncurkan pada hari ini.
Wanita itu sungguh tidak menduga, bagaimana bisa hidupnya tiba-tiba menjadi sangat menyedihkan hanya dalam beberapa hari saja?
Pertama, Louis meninggal dan pernikahan mereka dibatalkan secara mendadak dan sepihak. Kedua, ia mengetahui bahwa kekasih dan sahabatnya telah berselingkuh selama ini dan terakhir ia juga didepak dari pekan mode internasional yang selama ini menjadi salah satu impian terbesarnya hanya karena w************n seperti Stella. Alexandra bahkan ditendang keluar dari pekan mode yang digadang-gadang akan menjadi pekan mode termegah di kota Seattle oleh ibu kandungnya sendiri.
Alexandra ingin marah, tapi rasanya semua hal buruk yang terjadi kepadanya merupakan hukuman sekaligus hadiah dari Tuhan untuk dirinya. Selama ini Alexandra sibuk menyenangkan orang lain. Ia tampil sempurna untuk menyenangkan para client dan kolega bisnis yang menggunakan jasanya, ia juga selalu tampil mengesankan untuk menyenangkan kekasihnya dan bahkan di depan ibu kandungnya sendiri, Alexandra masih harus menyenangkannya dengan tampil berkelas dan sukses agar tetap menjadi kebanggaan keluarga.
Mungkin dengan adanya skandal dan tragedi ini, Tuhan ingin Alexandra beristirahat sejenak dari menyenangkan perasaan orang lain dan bisa lebih menyenangkan hatinya sendiri.
Wanita berambut brunette itu lalu menghela napas berat sebelum akhirnya keluar dari mobilnya yang berwarna putih. Mobil yang digunakan Alexandra malam itu adalah mobil pertama yang dapat ia beli berkat hasil kerja kerasnya menjadi seorang model. Sampai mati, Alexandra sudah bersumpah untuk tidak menjual atau menukar mobil tersebut dengan apapun.
Alexandra turun dari mobilnya sambil membawa semua kantung belanjaannya sendirian hingga kedua tangannya penuh dan keberatan. Namun ia berusaha menikmatinya. Lagipula semua barang-barang yang ada di dalam kantung belanjaan itu adalah semua yang disukai oleh Alexandra. Ia pun berjalan dengan santai menuju pintu apartemen mewahnya setelah memarkirkan mobilnya di dalam garasi yang terbuka.
"Alexandra," panggil seseorang dari arah belakang.
Membuat Alexandra yang merasa penasaran akan siapa tamu yang mengunjunginya semalam ini segera berbalik dan ia terperanjat seketika saat netra birunya yang gelap menemukan Noel tengah berdiri di hadapannya. Ia bahkan mundur beberapa langkah ke belakang dan menjatuhkan seluruh kantung belanjaannya karena terlalu terkejut. Bagaimana mungkin dari sekian banyak orang yang dikenal oleh wanita itu, justru Noel lah yang berani mendatanginya. "K-kau?" Matanya yang biru melihat ke kanan dan ke kiri dengan bingung. "Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa tahu rumahku? Kau pasti menguntit, bukan?"
Namun Noel hanya diam seperti biasa. Wajahnya tak berekspresi, tapi mata cokelat gelapnya tampak lebih sendu dan menyorotkan sesuatu yang lain. Jika biasanya Alexandra dapat melihat raut dingin yang sangat membencinya, kali ini wanita itu hanya menemukan pandangan yang justru tidak dapat dimengerti oleh dirinya sendiri.
Dua menit yang berlalu hanya digunakan Noel untuk diam dan melihat Alexandra. Membuat wanita itu merasa tidak nyaman dan buru-buru mengambil kantung belanjaannya yang jatuh tadi. "K-kalau kau hanya diam dan ingin menatapku dengan pandangan mengerikan itu, aku akan masuk sekarang. Jika ada sesuatu yang ingin kau katakan, aku akan datang ke kantor polisi besok," ucap Alexandra gugup.
"Sebentar," sergah Noel begitu model cantik itu hampir berbalik pergi. Membuat Alexandra memandangnya dengan waspada, khawatir kalau Noel yang ia pikir sangat membencinya tiba-tiba menyerangnya atau semacam itu. Namun Noel hanya melangkah maju beberapa langkah dari tempatnya berdiri tadi dan menyodorkan sekotak waffles dari tangannya.
"Apa ini?" tanya Alexandra bingung.
"Aku tidak tahu apakah kau boleh makan waffles atau tidak. Aku hanya bisa membelikan ini untukmu," kata Noel memberi tahu. Lalu Alexandra memindahkan beberapa kantung belanjaannya ke tangannya yang lain agar bisa menerima makanan yang diberikan oleh detektif muda itu. "Apa kau baik-baik saja sekarang, Alexandra?"
Butuh beberapa waktu hingga wanita bertubuh ramping itu tersadar dari lamunannya dan mendekap waffles pemberian Noel di dadanya. "Ya, tentu," jawabnya dengan hati-hati. "Aku menghabiskan uang dan waktuku untuk semua ini, kenapa aku harus tidak baik-baik saja?"
Noel mengangguk paham dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya.
"Omong-omong cuaca di luar mulai dingin. Aku alergi dengan dingin. Bagaimana jika kau masuk ke dalam?"
Setelah Noel mengangguk setuju, Alexandra kemudian mempersilakan detektif dengan brewok tipis yang memenuhi dagu dan rahangnya itu untuk masuk ke dalam apartemen mewahnya.
Noel diminta menunggu di halaman depan karena Alexandra harus menyimpan seluruh kantung belanjaan yang totalnya hampir ratusan ribu dollar Amerika. Detektif itu kemudian duduk di sebuah kursi panjang berbahan kayu (bench) yang menghadap langsung ke taman bunga milik Alexandra. Tidak seperti kebun pada rumah-rumah besar lainnya, ia hanya memiliki beberapa jenis tanaman pada halaman depan dan sisi lainnya untuk garasi.
"Aku melihatmu minum kopi caramel di kedai," kata Alexandra sembari menyodorkan secangkir kopi panas pada Noel. "Rasanya mungkin tidak persis sama, tapi akan membuatmu hangat di malam yang dingin seperti ini."
Mata mereka saling menatap untuk sepersekian detik sebelum tangan kokoh milik Noel menyambut kopi yang disuguhkan sang tuan rumah dan mencicipinya.
"Bagaimana?" Alexandra duduk di sebelah Noel dan memandangnya penasaran. "Enak, bukan?"
Noel mendesah puas dan meletakkan cangkir kopi itu di sampingnya. "Seperti katamu, rasanya cukup membuatku hangat di malam yang dingin ini." Alexandra mengulum senyum. "Omong-omong, bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Perasaanku?" Alexandra lalu tertawa. "Sejak kapan kau peduli pada perasaan seorang wanita manja yang selalu mengusik hidupmu, Detektif?"
Noel ikut terkekeh. "Aku bertanya-tanya, apakah wanita manja ini akan membakar rumah sahabatnya atau justru langsung memutilasinya setelah tahu apa yang terjadi selama ini di belakangnya," candanya. Keheningan terjadi beberapa detik, sebelum akhirnya Noel berkata, "Kau pasti sangat terluka sekarang."
Namun raut Alexandra justru berubah muram. Ia berpaling dan mendongak ke atas. Menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang. "Bintang di atas sana sangat indah, bukan?" Wanita itu tersenyum getir saat Noel ikut melihat ke arah yang sama dengannya. "Tapi pasti berat untuk tetap bertahan di atas sana sementara cuaca dingin dan kegelapan terus mengelilingimu."
Noel menoleh dan menatap wanita di sebelahnya dengan gusar.
"Aku selama ini hanya tidak sadar bahwa cuaca dingin dan kegelapan adalah satu-satunya yang kumiliki dari atas sini," katanya seraya menatap Noel. "Tapi bukankah aku seharusnya bangga, karena cahayaku tetap bersinar terang meski semuanya terus berusaha menarikku untuk jatuh?"
"Alexandra ...,"