• DUA PULUH EMPAT •

1025 Kata
First Apartement. Alexandra dan Noel menyaksikan bintang yang bertaburan di langit malam itu tanpa sedikitpun mengungkit permasalahan kasus yang tengah mereka hadapi bersama. Mereka berdua hanya duduk di bench dan menikmati kopi mereka masing-masing. Waktu di jam tangan Alexandra telah mengarah ke angka sembilan, yang artinya Noel dan Alexandra sudah duduk berdua selama satu jam di halaman belakang apartemen Alexandra. Sepi memang terkadang menjadi suasana terbaik bagi kedua orang yang saling tidak menyukai ini. "Omong-omong, terima kasih," kata Alexandra setelah ia meneguk habis sisa kopi di dalam cangkirnya yang bergambar kartun panda. "Kau berani datang di saat yang lain tidak." Noel mengangkat cangkirnya ke udara dan tersenyum miring. "Ternyata menyenangkan duduk bersama musuhmu." Alexandra mendesah kesal dan menyilang kedua tangannya di d**a. "Hey, kau ini benar-benar pria yang menyebalkan, ya," tutur wanita itu sebal. "Kau seharusnya senang karena bisa duduk di sini bersamaku. Kalau aku sudah sibuk dengan jadwal pemotretan, kau tidak akan sempat melihatku bahkan semenit pun asal kau tahu." Kali ini Noel dibuat tertawa. Memang hanya tawa pendek dan sesaat, tapi cukup berkesan untuk Alexandra. Ia bahkan tidak pernah melihat kekasihnya sendiri tertawa di depannya, seolah hubungan yang terjalin di antara mereka benar-benar hanya sebatas putih di atas kertas. Alexandra sangat menyukai Louis bahkan sejak awal pertemuan mereka. Alexandra bahkan sudah hapal dengan semua yang ada pada diri CEO Diamond Group itu. Bagaimana Louis memandang Alexandra, bagaimana Louis berjalan di samping Alexandra dan bagaimana Alexandra sangat menyukai waktu-waktu yang telah mereka habiskan bersama selama ini. Mungkin itulah alasan kenapa wanita itu tidak pernah menyadari hal-hal kecil yang ditunjukkan Louis untuk menunjukkan bahwa pria itu memang tidak sungguh-sungguh dengan hubungan mereka. Jika diingat lagi, ciuman pertama yang diberikan Louis untuk Alexandra terjadi ketika mereka baru menjalin hubungan beberapa minggu. Louis menyentuh bibir Alexandra dengan miliknya. Hangat tapi tidak b*******h. Namun karena dimabuk asrama dan Louis merupakan cinta pertamanya, ia hanya berusaha untuk menerima semuanya selama ini. "Apa rencanamu besok?" tanya Noel tiba-tiba. Yang membuat wanita itu teringat akan sesuatu. Ia pun meletakkan cangkirnya yang sudah kosong ke sisi dan ia menjentikkan jarinya di udara. "Ah, aku jadi ingat. Besok Shawn akan kembali ke Seattle," tukasnya antusias. Ia kemudian melebarkan senyumnya di depan Noel. "Terima kasih untuk mengingatkanku juga soal yang satu itu." Mendengar nama seseorang yang asing, kening Noel pun berkerut dalam. Selain karena Noel tidak mengetahui siapa yang akan ditemui oleh Alexandra, juga karena orang tersebut adalah seorang pria. Entah kenapa perasaan detektif dengan brewok tipis yang memenuhi sebagian rahangnya itu agak sensitif jika mendengar atau melihat Alexandra dekat dengan pria lain. "Shawn? Apakah dia temanmu?" Alexandra menggeleng cepat tanpa melepaskan senyum dari bibirnya yang dipoles lipstick merah muda. "Shawn adalah adik angkat Louis." "Tunggu," tahan Noel. "Bukankah Louis adalah putra tunggal keluarga Harrison?" "Selama ini Shawn tinggal di Inggris karena harus melanjutkan pendidikan, tapi kurasa berita kematian kakaknya akhirnya sampai kepadanya dan membuat ia ingin kembali." Ia lalu bersedekap. "Dahulu kami sangat dekat, kurasa sebelum perjodohan itu dilakukan. Aku bahkan lebih akrab dengan Shawn dibanding Louis jika dipikir-pikir lagi." "Maksudmu, kau dan Louis ... dijodohkan?" "Ya, ini agak konyol." Alexandra mengedikkan kedua bahunya cepat dan menggaruk tengkuk lehernya yang sebenarnya tidak gatal. "Aku berteman cukup lama dengan Shawn dan kupikir orang tuaku akan menjodohkanku dengan dia, tapi hari itu aku justru dipertemukan dengan Louis dan kami merasa cocok satu sama lain. Aku mengatakan bahwa aku menyukai Louis dan akhirnya kami dijodohkan. Semenjak itu, Shawn menjauh dan kami sempat tidak berkomunikasi dalam beberapa waktu." Noel lalu melipat kedua tangannya di d**a dan menaikkan satu alisnya penasaran. Shawn, tampaknya pria itu cukup berkesan bagi Alexandra. "Lalu bagaimana dengan Shawn setelahnya?" "Kebetulan dia pergi karena harus melanjutkan pendidikannya di luar negeri dan dia tadi pagi memberiku kabar bahwa dia akan kembali." Alexandra tersenyum simpul. Membuat Noel langsung risi hanya dengan melihatnya saja. "Aku akan menjemputnya di bandara. Kami sudah lama tidak bertemu dan jarang sekali bertukar kabar, akan sangat menyenangkan jika dia kembali di saat situasiku sedang begini." "Aku akan mengantarmu!" Kata-kata itu refleks terlontar dari mulut Noel sehingga  kedua pipinya merona seketika dan wajahnya berubah panik. Detektif muda itupun buru-buru mengoreksi penawarannya untuk Alexandra meski dengan suara yang jelas bergetar. "Maksudku, posisimu sedang sulit dan media terus membuat kegaduhan dengan berita-berita buruk tentangmu. Jika kalian tertangkap papparazi hanya berdua saja, aku yakin sekali mereka akan menjadikan 'Alexandra dan kekasih barunya' sebagai berita utama. Apa kau tidak khawatir dengan hal itu?" Mata biru Alexandra menatap tak percaya ke arah Noel. Ia lalu mendengus geli dan mengangkat sebelah alisnya. "Ada apa denganmu, Tuan tidak punya perasaan? Ini sungguh bukan gayamu omong-omong," godanya lagi. "Tapi kau tidak perlu terlalu cemas begitu. Aku akan baik-baik saja dengan Shawn, aku sudah menceritakan semuanya dan dia cukup memahami posisiku. Lagipula Shawn tidak akan mudah bergaul dengan orang asing, terutama orang asing dengan mata mengerikan sepertimu, Detektif." Namun Noel hanya mengembuskan napasnya dengan kesal dan tiba-tiba berdiri dari kursinya. Ia lalu menatap lurus ke arah Alexandra dengan pandangan yang lagi-lagi tidak dimengerti oleh Alexandra. "Jadi kau tidak mengizinkanku untuk mengantarmu ke bandara? Apa kau lebih suka berduaan dengan pria yang sudah lama tidak kau temui itu dibandingkan bersama denganku?" Alexandra terkesiap. Agaknya bingung dan tak mengerti dengan alasan Noel mengatakan sesuatu yang ambigu seperti barusan. "A-aku ... itu--" ucapannya tergantung di udara saat Noel melenggang pergi tanpa mengucapkan apapun kepadanya. Noel meninggalkan Alexandra yang masih keheranan dan bahkan wanita itu sampai tidak sadar bahwa mulutnya terbuka sembari menyaksikan kepergian Noel. Ia pun bangkit setelah tersadar dari lamunannya dan segera berkacak pinggang. "Hey! Aku belum selesai bicara!" seru Alexandra. "Dasar detektif gila! Jangan pernah datang ke apartemenku jika kau hanya mau melampiaskan emosimu!" Namun Noel tetap berjalan menjauh tanpa sedikitpun menggubris panggilan Alexandra di belakangnya. Noel lalu menghilang setelah keluar dari halaman apartemen Alexandra. "Hey! Dasar Noel sialan!" Alexandra berdecak kesal dan menatap kedua cangkir yang tadi mereka gunakan untuk minum kopi bersama. Ia benar-benar kesal dengan sikap Noel yang terkesan menarik ulur perasaannya. Atau setidaknya begitulah yang dirasakan Alexandra terhadap detektif muda itu. "Berani-beraninya kau datang dengan bersikap baik lalu kembali menjadi b******k! Sial kau Noel, aku akan membalasmu!" Ponsel Alexandra yang disimpan di dalam saku celananya tiba-tiba bergetar, membuat wanita itu terpaksa mengalihkan pandangannya dari jejak Noel yang menghilang bersama angin malam ke layar ponselnya. "Shawn? Kenapa dia sudah menelponku? Apa dia sudah sampai?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN