• EMPAT BELAS *

1018 Kata
Louis Harrison's Mansion, Seattle. Kedua detektif muda itu kini beradu pandang. Ada keterkejutan yang tak terbantahkan di dalam sorot mata mereka berdua sebelum Smith akhirnya memilih bersuara lebih dahulu dalam situasi canggung di antara mereka. "Tapi, ada apa? Kenapa Louis ingin membatalkan pernikahannya dengan tiba-tiba begitu? Bukankah berita tentang pernikahannya dengan Nona Morran sudah tersebar luas dan surat undangan sudah sampai ke semua orang bahkan ke tangan awak media?" Ia lalu menatap Maria penuh selidik. "Apakah mungkin dia tengah menyembunyikan sesuatu atau semacam itu?" Maria menarik napas sejenak dan menggeleng tak tahu. "Setahuku, satu-satunya rahasia yang dimiliki oleh Tuan Muda adalah hatinya," tandasnya yang justru terkesan ambigu di telinga Noel maupun Smith. "Kita semua tidak benar-benar tahu, orang seperti apakah Tuan Muda ini dan siapakah sosok yang sebenarnya berhasil mengisi relung hatinya yang paling dalam." Bukannya menjadi paham, Noel dan Smith justru semakin merasa bahwa masalah yang tengah mereka hadapi adalah sesuatu yang pelik dan tidak mudah dipecahkan seperti kasus pada umumnya. Selain kasus kematiannya yang penuh misteri, Louis sendiri ternyata memiliki sebuah misteri. Seorang petinggi seperti keluarga Harrison juga menjadi sesuatu yang cukup menghambat penyelidikan karena latar belakang mereka yang dianggap sangat bersih dan dainggap tidak mungkin menjadi pendosa. Kening Noel tentu langsung berkerut dalam karena sama sekali tidak mengerti dengan maksud dari ucapan Maria barusan. "Apa maksudmu? Kami sungguh tidak mengerti." Ia mengangkat bahunya cepat. "Kenapa kau berkata seolah-olah Louis tidak sungguh-sungguh mencintai kekasihnya?" Maria menunduk beberapa saat sebelum akhirnya melihat Noel dan Smith bergantian. "Bisakah kalian berjanji untuk tidak mengatakan rahasia ini pada Nona Morran? Dia adalah wanita yang baik dan kurasa rumor ini akan menyinggung perasaannya." Smith mengangguk setuju dan berkata, "Kami tidak akan mengatakan apapun padanya." "Kudengar Tuan Muda memiliki wanita lain dan tidak benar-benar mematuhi keinginan Tuan besar selama ini," bisik Maria berhati-hati. Seolah Alexandra atau Tuan Harrison bisa muncul kapan saja dan mendengar semuanya jika ia tidak waspada. "Kurasa Nona Morran hanya dijadikan alat pendongkrak bagi citra Tuan Muda sejak awal." Ia lalu menggeleng cepat. "Tidak-tidak, ada yang lebih penting daripada sekadar hubungan mereka yang tidak jelas. Beberapa minggu terakhir ini, Tuan Muda selalu mengeluhkan kepalanya yang terasa sakit dan Tuan Muda juga sering meracau bahwa Tuan Besar mungkin berniat menghabisinya suatu hari nanti dalam tidurnya. Ia sungguh ketakutan setiap malam dan gelisah setiap kali sedang sendirian. Tuan Muda sepertinya sedang banyak pikiran." Smith mencebik. "Ini ... lebih rumit dari dugaanku." Lalu beralih pada Noel yang masih diam memerhatikan sang lawan bicara dengan saksama. "Omong-omong apa Louis mengidap suatu penyakit yang menyerang kepalanya? Kau bilang dia sering mengeluhkan kepalanya yang sakit belakangan ini, bukan?" Maria menggeleng dan menatap Smith cemas. "Aku tidak yakin. Tapi dia selalu memintaku membeli obat setiap tiga hari sekali." Ia lalu mengeluarkan secarik kertas dari saku celemek hitamnya. Sebuah resep dokter. "Dia bilang dia membutuhkan obat ini untuk membantu meredakan sakitnya. Kau bisa memeriksanya sendiri, Detektif." Noel dengan senang hati menerima kertas kecil dari Maria dan menyimpan benda yang mungkin bisa menjadi barang bukti itu ke dalam saku varsitynya. Ia lantas bertanya, "Apakah aku bisa bertemu dengan supir pribadi Louis sekarang?" "Permisi." Suara bariton seseorang menggema di sudut koridor tempat mereka berpijak sekarang. Noel berbalik dan mendapati pria bertubuh kurus tengah berdiri memandangnya. "Apa kalian mencariku, Detektif?" Dialah Paul, sang supir yang tengah dibicarakan oleh orang-orang ini. Ia lalu mendekat dan tersenyum simpul. "Mau minum kopi bersama?" *** Noel dan Smith duduk bersebelahan pada sebuah sofa panjang berwarna merah marun dengan dua bantal bermotif polkadot di kedua sudutnya. Smith lagi-lagi berdecak kagum. Pasalnya ia tak pernah memiliki dudukan senyaman tempat ia bersantai sekarang. Dengan dua cangkir kopi yang melambaikan uap-uap panas di atas meja dan kudapan ringan yang disajikan Maria beberapa menit yang lalu. Paul duduk di sebrang--pada sofa yang lain--sembari memperkenalkan dirinya dengan hangat. Tak banyak yang dapat Noel nilai dari pria berusia 40 tahunan itu selain wajahnya yang tampak lebih tua dari usianya dan tubuhnya yang kurus seperti hanya tulang dan kulitlah yang tersisa di tubuhnya. Jika diperhatikan lagi, Paul justru terlihat seperti orang yang sedang mengalami kekurangan gizi. Tapi melihat pekerjaannya yang pasti memberikan gaji yang cukup, Noel buru-buru menepis fantasi buruknya. "Kudengar kalian melakukan penyelidikan ini secara rahasia." Paul menyesap kopi yang sejak tadi berada di dalam genggamannya--dan mendesah puas. "Kedengarannya sulit. Tapi aku yakin Tuan Besar memiliki alasan yang kuat untuk melakukan hal ini." Noel mengangguk setuju. "Jika tak keberatan, kami ingin bertanya apakah ada sesuatu yang kau ketahui malam itu?" "Tidak banyak. Maria pasti telah menceritakan sebagian besarnya pada kalian." Paul meletakkan kopinya di dekat cangkir-cangkir lain--di atas meja. "Malam itu aku duduk bersama Wayne di dekat kolam air angsa dan melihat Tuan Muda pergi meninggalkan pesta." Noel ataupun Smith membungkam, tidak ingin menginterupsi sedikitpun ucapan Paul dan mendengarkannya dengan sabar. "Setelah memastikan dia benar-benar pergi, aku mengiriminya pesan." Noel memicing curiga. "Pesan? Pesan apa?" "Apa dia membalas pesanmu?" cecar Smith tak sabar. "Aku bertanya apakah aku harus menjemputnya atau sekadar menemaninya minum di club malam karena tampaknya situasinya sedang buruk. Ia biasanya memintaku menemaninya minum di bar atau sekadar menyesap kopi Amerika, tapi kali ini dia menolaknya dengan tegas," jawab Paul. Matanya memandangi kopi dan tak sedikitpun beralih pada lawan bicara meski Noel dan Smith kini memandanginya dengan serius. "Kurasa dia bersikap aneh dan dia juga berkata bahwa dia akan melembur saja di kantornya sampai suasana hatinya membaik. Aku tidak pernah melihat Tuan Muda menghabiskan waktu sendirian saat suasana hatinya sedang buruk, sangat jarang terjadi." "Jadi, kau membiarkannya saja pada akhirnya?" tanya Noel penasaran. Paul mendongak. Melihat wajah detektif muda itu putus asa. "Aku tidak bisa membantah apapun darinya. Jika melarang atau mencoba menasihatinya, dia akan memecatku atau membicarakan putriku yang kini berada di rumah sakit." "Putrimu?" Itu suara Noel. "Kenapa dia membicarakan putrimu ketika kalian ada masalah?" "Putriku mengidap kanker paru-paru dan Tuan Mudalah yang menanggung seluruh biayanya waktu itu," kata Paul memberi tahu. "Setelah beberapa waktu, dia berubah menjadi orang lain. Dia tidak pernah lagi mendengarkanku dan terus mengungkit-ungkit putriku yang malang. Dia membuatku sangat berhutang budi padanya karena telah menolong putriku." Noel mengernyitkan keningnya curiga. Dari gestur Paul yang ditangkap olehnya, pria berambut hitam itu justru terdengar seperti tengah memendam sakit hatinya pada Louis selama ini. "Apa kau ... sakit hati karenanya?" Paul kemudian menatap Noel lurus-lurus dan perlahan, sosoknya yang hangat terlihat menyiratkan rahasia besar yang tersimpan jauh di dalam seringaiannya yang misterius. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN