laksa 3

1460 Kata
Lika 3   Hujan masih mengguyur, membasahi dengan rintik kecil yang dihindari banyak orang karena takut basah, tapi tidak dengan Lika, dia bersyukur karena dengan adanya hujan maka dirinya tidak perlu lagi menyembunyikan air mata yang sedari tadi luruh tanpa henti. Dia terisak dalam titik hujan, melangkah kaki tanpa tentu arah.   Dia hanya ini pergi dan menjauh, hilang dan tenggelam. Tidak ada lagi yang peduli kepadanya, itu yang dia yakini. Semua terjadi karena kebodohannya sendiri. Jika saja dia tidak dengan mudahnya memberikan apa yang begitu berharga pada orang yang jelas-jelas tidak memperdulikan dirinya, mungkin dia tidak akan mengalami hal buruk seperti sekarang ini.   Berjalan tanpa tau akan kemana, menyusuri jalanan dengan kaki lemah yang sedari tadi dia paksa untuk kuat, tidak ada lagi yang menganggapnya sekarang, bahkan kedua orang tuanya sendiri. Mereka mengusirnya setelah tahu akan kenyataan jika dirinya hamil. Tidak ada yang salah, hanya saja setatusnya yang masih sendiri menjadi momok yang bisa saja menghancurkan kehormatan keluarga mereka.   Lika tahu, semua karena dia terlalu mempercayai pria seperti Deon, sosok yang dia anggap sebagai segalanya, di saat kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaan mereka, hanya Deon lah yang menjadi tempat pelarian Lika. Perhatian dari pria itu tentu saja menjadi candu bagi dirinya. Lika tak bisa jauh dari Deon itu faktanya, alasan kenapa dia rela menyerahkan dirinya kepada pria yang nyatanya hanya menganggap dia sebagai mainan belaka. Semua sudah terlambat untuk menyesal.   Lika menengadahkan kepalanya, membiarkan rintik menerjang wajah halusnya, merasakan sedikit perih di sana untuk meluruhkan perasaan sedihnya. Dia berterima kasih dengan hujan, andai  mereka tidak ada mungkin sekarang Lika tidak tahu harus bagaimana memasang topeng untuk menutupi semua masalahnya. Tidak peduli dengan baju yang sudah kuyup, Lika menikmati kesedihannya. Menertawakan kebodohannya dan memaki nasibnya.   Sekarang dia tidak tahu harus berbuat apa. Hanya kata andai yang terngiang di kepalanya. Andai semua tidak terjadi. Andai dia tidak dengan mudahnya mempercayai Deon, andai pria itu tidak hadir dan menawarkan sebuah kenyamanan, mungkin sekarang dirinya tidak akan merasakan sebuah perasaan bersalah seperti sekarang ini. Namun sekali lagi, nasi sudah menjadi bubur, kata andai sudah berubah menjadi terlanjur, dan kini Lika harus kuat menghadapi ini.   "Lika!"   Lika terperanjat di tempatnya, suara itu dia sangat mengenalnya, Lika menoleh perlahan hingga sepasang netranya menemukan sosok yang tengah berdiri tidak jauh darinya, dengan sebuah payung hitam di tangan yang menjadi pelindung dari derasnya hujan sore itu.   "Lo ngapain?" Langkahnya mendekat, mengikis jarak keduanya, lalu dengan payung itu dia mencoba melindungi tubuh Lika yang sudah basah karena hujan. "Udah kayak bocah aja! Main hujan gini!" Sentak wanita itu dengan tatapan kesal.   Lika menunduk, dia tidak ingin wanita itu melihat dirinya dalam kondisi seperti ini. Lika yakin, wajahnya dan mata merah karena tangis bisa dengan mudah dilihat oleh wanita itu, dan sekarang belum saatnya Lika menceritakan semua masalahnya, dia belum siap.   "Lika?" Tanya wanita itu lagi menunggu Lika untuk menatap kearahnya.   "Elah, lo ngapa sih! Balik deh yuk!"   Lika menggeleng pelan, dia tidak ingin pulang, bahkan kata pulang sepertinya sudah tidak pantas untuk dirinya setelah kejadian ini. Bahkan tujuan pulang pun sudah tidak dia miliki lagi.   "Woi! Makin deres nih, buru lah!" Sentak wanita itu yang tak lain adalah Fira sahabatnya yang sudah menemani dirinya sejak bangku SMA hingga sekarang, Fira menarik tangan sahabatnya dan membawanya berlalu. Lika hanya terdiam mengikuti kemana sahabatnya itu membawa dirinya, dia tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya pasrah kemana Fira akan membawa dirinya.   Hingga tak lama setelahnya, Airin sadar jika sahabatnya itu membawa dia ke sebuah kontrakan yang ditinggali oleh Fira, wanita itu membawa Lika masuk setelah membuka pintu rumahnya.   "Tunggu di sini!" Ujar Fira lalu beranjak kedalam kamar meninggalkan Lika yang dengan patuh berdiri di tempatnya dengan kepala menunduk menatap ubin yang basah terkena tetesan air dari tubuhnya.   "Lap dulu nih, basah semua nanti rumah gue!"   Sebuah handuk tersampir di pundaknya, tapi Lika masih enggan untuk bergerak, dia memilih diam, kelakuan yang sukses membuat Fira berdecak kesal. "Terserah Lo deh!" Ujarnya sebelum berlalu meninggalkan sahabatnya yang masih saja diam, Fira seolah paham dengan kelakuan sahabatnya itu, hanya saja diamnya Lika terkadang membuat dirinya kesal sendiri. Hingga beberapa saat berselang Lika masih aja berdiri di tempatnya dengan wajah menunduk, aesuatu yang membuat Fira semakin jengah, ditariknya Lika dan mendudukkan tubuh sahabatnya itu di kursi kayu yang ada di ruang tamu.   Dengan telaten Fira membantu Lika mengeringkan rambut panjang dan tubuhnya, lalu setelahnya dia berjalan menuju kamarnya dan keluar membawa sepasang baju yang dia berikan untuk Lika.   "Gue tau Lo ada masalah, tapi nggak usah bodoh juga! Buru ganti, masuk angin nanti Lo!" Sentak Fira lagi, menarik tubuh sahabatnya dan mendorongnya masuk kedalam kamar. Lika memang selalu merepotkan jika memiliki masalah, Fira seolah paham dengan diam nya Lika, sahabatnya itu selalu memilih diam dan menangis tiap kali ada masalah, dan itu selalu membuat dirinya kesal.   "Gue tunggu! Nggak pake lama, dan jangan Sampek bunuh diri! Ngerepotin gue nanti!"   Lika berjalan dengan gontai menuju kamar, bahkan di dalam kamar pun dia terdiam sesaat sebelum membuka bajunya dan mengganti dengan pakaian yang diberikan Fira, semua terjadi dengan tatapan kosong yang Lika berikan. Setelahnya dia memilih untuk duduk di sudut ruangan dan menyembunyikan wajahnya di kedua lutut dan lengannya, merenungi nasibnya yang entah akan seperti apa. Seperti inilah takdir, dia tidak akan menyangka jika dirinya akan berakhir seperti ini. Hancur sudah harapannya, ke negara hanya tinggal dirinya dan sesosok janin yang ada di dalam perutnya.   Lagi, Lika menangis, dadanya sesak untuk kesekian kalinya, rintihan pilu memenuhi ruangan kamar berukuran empat kali empat meter yang terlihat sempit hingga suaranya menggema di dalam sana. Dia tidak peduli dengan rintihannya, dadanya terlampau sesak dan dia tidak tahu harus berbuat apa, pikirannya kosong, hanya ada kesakitan yang dia bayangkan.   Tangannya merambah pelan, mengelus perut dengan tangis yang semakin deras. Mulai dari sekarang, Lika harus memutuskan, jika dia ingin mempertahankan kandungannya maka dia harus kuat dan berjuang untuk kesehatan kandungannya. Namun dia tidak tahu, apakah dia mampu menjalani hari dengan kondisinya yang seperti sekarang ini.   Terlalu lama menangis membuat Lika lelah, perlahan kantuk mulai menghampiri Lika. Dia terpejam dengan Isak yang masih terdengar lirih. Napasnya berangsur pelan menandakan Lika terlelap dalam tidurnya.   Di luar ruangan Fira hanya bisa mendengar tangis sahabatnya itu tanpa berani untuk masuk, dia membiarkan Lika dengan kesedihannya. Baru pertama kali ini dia melihat bagaimana sahabatnya itu menangis begitu pilu. Fira bersandar, memejamkan matanya mendengar kesedihan sahabatnya. Dia tidak tahu apa masalah yang tengah di hadapi sahabatnya itu. Namun. Melihat bagaimana hancurnya sahabatnya, Fira yakin masalah Lika tak semudah apa yang dia bayangkan. Gadis itu memilih beranjak, meninggalkan Lika dengan kesendiriannya untuk malam ini, dia cukup paham dengan kemauan sahabatnya itu tiap kali ada masalah.   Lika lebih memilih memendam sendiri hingga dia tidak sanggup menahannya dan akan mencari Fira untuk menceritakan semuanya.       °°°Laksa untuk Lika....   Laksa menatap rumah kontrakan kecil yang ada di sebrang jalan dengan nanar. Hujan masih mengguyur kota itu, kota di mana tempat dirinya tumbuh besar, lalu perlahan rintik kecil itu berubah menjadi hujan lebat, hingga jarak pandang matanya menipis, dia mengerut kening untuk memperhatikan rumah kecil yang sejak tadi dia perhatikan.   Rumah dimana Lika berada saat ini. Diam-diam Laksa mengikuti Lika saat perempuan itu keluar dari rumahnya, mengabaikan Deon yang memilih bungkam dan membiarkan Lika pergi seorang diri. Laksa merasa dia harus mengejar dan meminta maaf secara langsung kepada wanita itu setelah apa yang terjadi pada dirinya. Dan adiknya lah yang melakukan semua itu. Atas nama keluarga Laksa merasa harus bertanggung jawab atas apa yang sudah adiknya lakukan, terlebih Lika adalah sosok yang baik dan periang, wanita yang secara diam-diam menarik perhatian Laksa.   Sudah hampir 4 jam Lika berada di rumah itu tanpa ada pergerakan sedikitpun, wanita itu tidak keluar rumah atau sekedar berdiri di teras agar Laksa bisa menemuinya langsung. Jam sudah menunjukan pukul 10 malam, dan sepertinya Laksa harus kecewa karena tidak bisa mendapatkan maaf dari wanita itu. Mungkin esok atau lusa, tapi Laksa merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya jika dia belum mengutarakan maksud dan rasa sesal uang ada di sana. Haruskah dia menunggu di sana hingga Lika keluar? Atau datang lagi esok hari saat kondisi sudah memungkinkan?   Entahlah, Laksa bingung hanya memikirkan nya saja, terlebih Laksa takut saat dia pergi dari sana dan saat dirinya kembali, Lika sudah tidak lagi ada di rumah itu, Laksa tidak ingin sampai kehilangan jejak dari Lika, sebisa mungkin dia harus bertemu langsung dengan Lika, tapi sepertinya tidak mungkin sekarang, keadaan tentu saja tidak mendukung untuk itu, terlebih kemungkinan besar Lika akan menolak kehadirannya untuk sekarang.   Laksa memilih diam, menunggu dengan perasaan cemas, mungkin dia harus menunggu lebih lama lagi, atau lebih baik dia menginap? Mungkin itu lebih baik, dan berharap esok dia akan menemui wanita itu, wanita yang kini tengah menanggung beban yang begitu berat di pundaknya, dan Laksa berharap, dia mampu menjadi sosok yang mampu memikul beban itu bersama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN