"Jadi, jika suatu perusahaan sedang mengalami penurunan saham. Yang harus kita lak..."
Penjelasan dosen berbadan gemuk di ruang kelas yang digeluti Nofal dan Ikbal harus terpotong ketika Rio memasuki ruang kelas tanpa permisi atau tanpa rasa bersalah karena sudah telat. Tindakan Rio kali ini sangatlah tidak mencerminkan teladan yang bagus untuk mahasiswa lainnya.
"Rio! Kamu sudah telat, masuk kelas tanpa permisi!" bentak dosen berbadan gemuk yang berdiri di depan sembari membenarkan letak kacamata plusnya.
Rio membalikkan tubuhnya menatap dosen yang berani menegurnya.
"Siapa anda berani menegur saya?" tanya Rio dengan senyuman remehnya.
Ikbal dan Nofal hanya tertawa sinis melihat dosen di depan tersulut amarah oleh ucapan Rio.
"Jaga ucapan kamu, Rio! Saya ini dosen!" bentak dosen itu mendekati Rio.
"Saya cucu pemilik kampus ini. Saya punya kewenangan untuk mengeluarkan anda saat ini juga." balas Rio disertai tawa miringnya.
Terlihat jelas wajah dosen berbadan gemuk tadi merah padam karena malu bercampur emosi. Tanpa satu patah kata lagi, dosen tadi langsung mengemasi barang-barangnya dan pergi meninggalkan ruang kelas.
"Heh... Dosen kemarin sore. Baru digituin sudah ngambek." Rio menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sorak sorai dari sebagian mahasiswa terdengar bahagia ketika menyaksikan secara langsung dosen tadi meninggalkan ruang kelas. Itu artinya mereka terbebas dari pelajaran hari ini. Tapi ada juga yang mendesah karena ulah Rio, dosen tadi marah.
"Itu mulut habis lo asah ya?" Ikbal menepuk bahu kanan Rio dari belakang.
"Iya, kayaknya habis diasah. Tajam bener, gila." sambung Nofal yang sudah berdiri di sebelah kiri Rio.
"Sudah, tidak usah banyak cing cong. Cabut yuk ke kantin. Lapar gue." ajak Rio berjalan mendahului Ikbal dan Nofal.
***
Ulfa merasa bosan berada di rumah milik Refi. Masih sangat terasa asing bagi Ulfa. Sekarang Ulfa sedang menikmati kamar barunya. Kali ini benar-benar kamar baru. Karena Ulfa sudah memindahkan barang-barangnya ke kamar di sebelah kamar Refi.
"Heh... Gue bosan." Ulfa membaringkan tubuhnya ke atas kasur berlapis seprai berwarna pink.
Drt... Drt... Drt...
Ulfa menolehkan wajahnya ketika mendengar ponselnya berbunyi. Dengan segera Ulfa langsung mengambil ponselnya.
"Devi?" tanya Ulfa pada dirinya sendiri.
Jantungnya berdetak kencang mengingat bahwa dirinya sudah tidak memberi kabar kepada ketiga sahabatnya itu semenjak kepulangannya dari rumah sakit ketika Yudha dioperasi. Dengan tangan gemetar, Ulfa menggeser gambar gagang telpon berwarna hijau.
"Hallo Ul, kenapa? Kangen lo sama gue?" tanya Ulfa berusaha biasa saja.
"Lo ke mana saja sih, Ul? Tidak ada kabar, tidak ada ke kampus. Lo hilang begitu saja kayak ditelan bumi tahu tidak." Devi menghujani Ulfa dengan pertanyaan-pertanyaan yang mampu membuat jantung Ulfa semakin berdetak kencang.
"Gue ada kok, gue lagi ke rumah Tante yang ada di Malang sama keluarga. Sorry, di sini susah signal, Dev. Jadi susah mau kasih kabar. Ini juga pas kebetulan lagi di luar rumah." jawab Ulfa sebiasa mungkin supaya Devi tidak curiga.
"Owh... Lo lagi di Malang? Gue kira lo sakit. Tadinya gue sama Sinah mau ke rumah lo, tapi ya sudah deh, lo-nya juga tidak ada di rumah." Ulfa dapat mendengar suara desahan lega dari Devi.
"Tenang, Dev. Sore ini juga gue balik kok ke Bandung. Besok gue sudah mulai ngampus lagi."
"Oleh-olehnya ya."
"Kalau sempat ya. Eh sudah dulu ya Dev, ini lagi jalan-jalan sama keluarga. Tidak enak kalau gue keasikan ngobrol di telefon." pamit Ulfa.
"Iya, hati-hati lo. Bye."
"Bye Dev, gue titip salam buat yang lain ya."
"Sip, gue salamkan nanti."
Sambungan telefon pun akhirnya terputus. Ulfa akhirnya bisa bernafas lega meski harus membohongi ketiga sahabatnya.
"Maafkan gue ya semuanya. Ini sudah perjanjian gue sama Kak Refi. Gue juga belum siap sama respons kalian kalau kalian tahu gue nikah sama orang yang tidak kalian suka." Ulfa memandang foto mereka berempat pada ponselnya.
"Cewek manja...!"
Ulfa terkesiap atas panggilan Refi dari luar.
Ulfa bangkit dari tidurnya dan menuju sumber suara dari Refi. Baru juga Ulfa membuka pintu kamarnya. Ulfa sudah dikagetkan oleh keberadaan Refi.
"Heh cewek manja. Gue lapar, mau makan." ucap Refi acuh tak acuh.
Ulfa masih diam menunggu apa yang akan diucapkan oleh Refi selanjutnya.
"Malah diam saja, masakkan gue makanan." ucap Refi lagi karena kesal melihat Ulfa hanya diam tak berkutik.
"Masakin?" tanya Ulfa heran.
"Iyalah, kenapa? Tidak bisa masak lo?" tanya Refi meremehkan.
"Bisa kok." jawab Ulfa kesal.
"Ya sudah kalau bisa sekarang masakin gue makanan. Gue sudah lapar banget nih." suruh Refi tanpa perasaan lalu meninggalkan Ulfa dengan segudang kekesalan dalam benaknya.
"Kalau tidak ingat gue tidur di rumah siapa. Sudah gue tendang itu orang." omel Ulfa.
"Cewek manja...! Cepetan!" teriak Refi dari lantai bawah.
"Iya bentar...!" sahut Ulfa mengambil ikat rambutnya terlebih dahulu dan menutup pintu kamarnya.
Ulfa berlari menuruni tangga menuju dapur untuk membuatkan makanan untuk Refi.
"Mau makan apa, Kak?" tanya Ulfa berusaha masih baik pada Refi.
"Terserah, yang penting gue kenyang. Yang pasti harus enak." jawab Refi tanpa menoleh ke Ulfa.
Ulfa langsung membuat makanan untuk Refi. Kali ini Ulfa membuat sup daging ayam, perkedel tahu, tempe kecap dan sambal tomat.
"Heh... Sampai kapan gue hidup kayak begini terus?" tanya Ulfa pada dirinya sendiri.
Ulfa cepat-cepat menyelesaikan masaknya. Refi terus saja mengomel ketika Ulfa belum juga selesai memasak.
"Heh! Cewek manja, lama banget sih lo masak. Masak batu lo?" Refi mendekat ke arah dapur melihat Ulfa yang sedang berkutik dengan sayur supnya.
"Iya-iya bentar, tinggal matengin ayamnya doang ini." jawab Ulfa jutek.
"Apaan nih?" Refi mencomot perkedel tahu buatan Ulfa.
"Kak Refi, itu buat makan nasi bukan camilan." gerutu Ulfa ketika Refi terus-terusan memakan perkedel dalam piring yang masih hangat.
"Gue cuma makan tiga kali, Ul. Masih banyak tuh." Refi meninggalkan Ulfa sendiri yang masih sibuk dengan sup ayamnya.
"Hah... Akhirnya, matang juga." desah Ulfa lega.
Ulfa langsung mengambil mangkuk untuk sup ayamnya. Ulfa bolak-balik ke dapur ke meja makan ke dapur lagi untuk membawa makanan yang sudah dia masak beserta piring dan minumnya.
"Nih, sudah matang." ucap Ulfa pada Refi lalu duduk di salah satu kursi.
Refi mendekat ke meja makan lalu mengambil nasi dan teman-temannya lalu mulai makan.
"Ha..."
"Ah... Panas gila." desah Refi ketika sendok berisi nasi sampai pada ujung lidahnya.
"Minum, Kak." Ulfa menyodorkan gelas berisi air putih pada Refi.
"Ah... Kok lo tidak bilang sih kalau masih panas." marah Refi melirik Ulfa.
"Kan tadi gue mau bilang hati-hati, Kak. Kak Refi-nya saja yang langsung nyamber." jawab Ulfa membela diri.
"Kipasin nasi gue." Refi menyodorkan piringnya ke Ulfa.
Dengan kekesalan di atas rata-rata, Ulfa tetap melakukan apa yang diperintahkan oleh Refi. Ulfa mengambil tutup tempat nasi untuk mengipasi nasi Refi sembari mengaduk-aduk nasi itu supaya cepat dingin.
"Lidah gue melepuh gila." Refi merasakan sakit pada ujung lidahnya.
"Nih sudah." Ulfa memberikan piring milik Refi.
"Dari tadi kek dikipasin. Tidak peka banget jadi cewek." Refi mulai memakan makanannya.
Ulfa sendiri makan dengan kekesalan tinggi karena dibilang cewek tidak peka. Memang Refi memintanya? Tidak kan?
Tring... Tring...
"Lo kalau mau niat pecahin itu piring ya pecahin saja. Tidak usah setengah-setengah pakai sendok segala."
Ulfa memicingkan matanya melirik Refi usai mendapat teguran.
"Apa lo? Kesel sama gue?" Refi menatap Ulfa garang.
"Enggak." jawab Ulfa jutek lalu memakan makanannya secara sembarang tanpa henti.
"Jadi cewek yang manis coba. Tidak ada anggun-anggunnya sama sekali." ujar Refi melanjutkan makannya.
"Terserah gue dong, memang lo siapa?" balas Ulfa semakin kesal.
"Siapa? Jadi lo tidak anggap gue siapa?" tanya Refi mendekatkan wajahnya pada wajah Ulfa.
"Memangnya siapa?" Ulfa sedikit memundurkan tubuhnya.
"Gue suami lo." ucap Refi tajam.
Degh!
Hati Ulfa tertohok atas jawaban Refi barusan. Apa Ulfa salah dengar? Ulfa bingung, kenapa ada perasaan bahagia ketika Refi mengucapkan bahwa dirinya adalah suaminya. Ulfa terdiam untuk sejenak.
"Ya enggaklah, gue saja tidak mau mengakui lo sebagai istri gue. Jangankan mengakui, membayangkannya saja jijik gue." Refi menjauhkan wajahnya dari wajah Ulfa.
Ulfa mengepalkan tangannya kuat-kuat atas ucapan Refi barusan. Ulfa berpikir jika Refi benar-benar mengakuinya. Tapi bodoh! Mana mungkin Refi mengakuinya? Ingat perjanjian Ulfa.
"Kenapa? Lo berharap gue mengakui lo sebagai istri gue ya di depan semua orang? Itu mimpi cewek manja. Itu semua tidak akan terjadi." Refi mengelap bibirnya menggunakan tisue lalu menenggak minumnya sampai habis.
"Thank makan siangnya. Jadi cewek baik ya selama lo hidup di rumah gue." Refi meninggalkan Ulfa dengan amarah penuh di meja makan.
"s**t! Sialan itu cowok." Ulfa membanting sendok dan garpunya ke atas piring. Ulfa merasa terhina akan ucapan Refi.
"Sudah, Ul. Biasa saja dong. Ok Ulfa, biasa saja. Dia bukan siapa-siapa buat lo." Ulfa mengusap dadanya sendiri berusaha menenangkan dirinya sendiri.
***
Setelah jam kuliah selesai, Sinah langsung menarik Devi dan Zita menuju kantin sesudah menelefon Ulfa terlebih dahulu.
"Tidak jadi nih ke rumah Ulfa-nya?" tanya Sinah pada Devi.
"Iya tidak jadi, Ulfa lagi di Malang katanya." jawab Devi menjelaskan.
"Oh, tapi dia baik-baik saja kan?" tanya Zita memastikan.
"Baik kok, dia tidak kasih kabar karena di sana jarang ada signal." jawab Devi lagi.
"Eh Ta, ada Kak Rio itu." Sinah mengedikkan dagunya ke arah Rio.
"Biarkan saja." jawab Zita tanpa minat.
"Lo kenapa sih, Ta? Kalian kan sudah nikah." tanya Devi penasaran.
"Tidak kenapa-napa kok. Ya sudah yuk duduk." ajak Zita duduk di bangku dekat mereka berdiri.
"Kalian mau pesan apa?" tanya Sinah menawari.
"Biar gue pesan sendiri saja deh." Zita berdiri untuk memesan makanannya.
Bruk!
Zita kaget ketika dirinya keluar dari bangku kantin dan membalikkan badannya, Zita menabrak seseorang.
"Heh kalau jalan pakai mata, ayam!" semprot orang itu.
"Maaf, Kak." ucap Zita takut. Zita sangat hafal itu suara siapa.
"Sudah Yo, dia juga tidak sengaja kan. Lagi pula dia istri lo." Ikbal yang berdiri tepat di belakang Rio berusaha menenangkan Rio.
"Jaga mulut lo, Bal!" bentak Rio kesal kepada Ikbal.
"Sorry, gue cuma mengingatkan." balas Ikbal acuh.
"Awas lo, gue mau lewat!" bentak Rio kasar pada Zita.
"Kak, yang halus dong." ucap Sinah membela Zita.
"Lo diam!" bentak Rio pada Sinah sambil menunjuk wajah Sinah.
Zita langsung masuk di antara meja dan kursi lagi, memberi jalan untuk Rio berjalan.
"Hai cantik." Nofal mencolek dagu Devi sebelum benar-benar meninggalkan ketiga gadis ini.
Devi hanya diam saja ketika Nofal mencolek dagunya. Sinah dan Zita heran kenapa Devi hanya diam. Biasanya juga Devi langsung marah atau berontak.
Mereka bertiga sudah benar-benar meninggalkan kantin. Ketiga gadis itu masih stay pada posisi semula.
"Dia kasar banget sih sama lo, Ta?" tanya Devi mencoba mengalihkan pembicaraan supaya mereka tidak bertanya yang aneh-aneh padanya.
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Gue saja biasa saja, tidak gue pikirkan." Zita mengedikkan bahunya acuh lalu melanjutkan acara pesan memesan makanan yang ingin dia makan siang ini.
"Gue bukan biasa saja, tapi gue berusaha untuk biasa saja." ucap Zita dalam hati.
***
Next...