Brum!
Brum!
Brum!
Sangat terdengar jelas suara motor yang menggerung-gerung di sirkuit pribadi milik Rio. Ya siapa lagi kalau bukan Rio, Refi, Nofal dan Ikbal. Refi langsung datang ke sirkuit ketika tadi Rio meneleponnya dan mengajaknya untuk balapan bersama Ikbal dan Nofal.
Keempat lelaki ini sama-sama membuka helm full face-nya masing-masing. Mereka habis melakukan balapan seperti yang mereka lakukan setiap pulang dari kampus. Ikbal dan Nofal lebih dulu turun dari motor. Mereka berdua menuju tempat di mana mereka biasa nongkrong.
"Bagaimana perkembangannya?" tanya Refi ambigu. Namun Rio mengerti bahkan sangat mengerti akan maksud pertanyaan Refi.
"Kemarin sempat hilang jejak." jawab Rio sedikit lesu.
Refi sempat kaget mendengar jawaban Rio barusan. Namun dengan segera, Refi bisa mengontrol kekagetannya.
"Sekarang?" tanya Refi memastikan. Alisnya sudah terangkat ke atas untuk lebih memperjelas rasa kekepoannya pada Rio.
"Sudah terlacak lagi." Rio tersenyum miring atas usahanya sendiri.
"Gue takut, Ref." ucap Rio mendongak ke arah Refi.
"Lo harus yakin." Refi menepuk bahu Rio pelan.
"Thank." Rio balas menepuk bahu Refi.
"It's ok."
"Sudah lo nikahnya?" tanya Rio menatap Refi remeh.
"Sudah, cuma lo yang tahu kalau gue sudah nikah. Gue minta lo jangan bocor, Yo. Soalnya gue bikin surat perjanjian sama itu cewek manja kalau pernikahan ini tidak boleh ada yang tahu. Termasuk kalian bertiga dan ketiga sahabat itu cewek. Tapi karena lo sudah terlanjur gue kasih tahu, jadi gue mohon jangan bocorkan rahasia gue." jelas Refi panjang lebar.
Rio menepuk bahu Refi mencoba membuatnya tenang dan percaya.
"Lo kenal gue tidak setahun dua tahun, Ref." Rio turun dari motornya lebih mendekat ke Refi.
"Gue percaya sama lo." Refi tersenyum pada Rio.
"Woy...! Pacaran saja lo berdua. Maho lo?" teriak Ikbal dari kejauhan.
Rio dan Refi menengok ke arah Ikbal dan Nofal. Kedua lelaki ini mendesis mendengar Ikbal mengucapkan kata maho.
"Yo, sudah gue pesankan." teriak Nofal kali ini.
"Sudah dipesankan noh." ucap Refi menunjuk dua perempuan yang duduk di dekat Nofal.
"Ngomong-ngomong bagaimana first night lo?" tanya Rio menggoda.
"First night? Sama cewek manja itu? Enggak deh, makasih." jawab Refi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melangkah menuju Ikbal dan Nofal, meninggalkan Rio.
Rio berlari mengejar Refi yang sudah lumayan jauh darinya.
"Ngomong saja lo ketagihan." ucap Rio berbisik ke telinga Refi.
"Hahaha... Tidak akan." Refi tertawa begitu kencangnya.
"Heh, sudah gue pesankan nih." Nofal menarik perempuan berpakaian rapi, tidak seperti perempuan yang satunya lagi.
Refi dan Rio langsung duduk bergabung bersama Ikbal dan Nofal.
"Virgin." bisik Nofal tepat di telinga Rio.
Rio menoleh sekilas ke wanita itu. Hanya menggunakan jeans pencil panjang dan kaos biasa.
"Kok tidak kayak lo, Mel?" tanya Rio ganti menoleh ke Amel.
"Biasa, masih awal. Entar lama kelamaan ya kayak gue." jawab Amel santai.
"Boleh deh, gue cabut dulu ya." Rio berdiri dan menyambar kunci motornya.
"Bayarannya tinggi loh, Yo." ucap Amel membuat Rio menoleh pada Amel.
"Gue bukan orang miskin." Rio menatap remeh ke arah Amel.
"Ok, gue percaya sama lo."
"Aman kan?" tanya Rio balik ke Amel.
"Aman, sudah gue kasih bimbingan."
Rio hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Amel.
"Ke mana lo?" tanya Ikbal.
"Rumah gue." jawab Rio santai.
"Wah, parah lo." sambung Nofal menunjuk Rio heran.
"Lo tidak takut Kakek tahu?" giliran Refi yang bertanya.
"Kakek tadi siang bilang katanya ke Eropa karena ada rapat dadakan. Sudah ah, tidak usah banyak tanya kalian deh. Gue cabut." pamit Rio sambil menarik pergelangan tangan perempuan itu.
"Eh, gue cabut dulu ya. Oma minta gue ke rumah." pamit Refi kepada Ikbal, Nofal dan Amel.
"Baru juga kumpul, pit. Sudah pergi lagi." sahut Nofal.
"Kalau kangen VC-an saja, Fal. Entar gue kasih lihat kembaran lo." Refi sudah berdiri merapikan jaketnya dan menggamit helmnya.
"Siapa?" tanya Nofal penasaran.
"Monyet." setelah mengucapkan hal tersebut. Refi berlari dengan tidak berdosanya menjauh dari jangkauan Nofal.
"Ogeb lo, kampret..." umpat Nofal menahan kekesalan.
"Hidup memang perih, Fal. Sabar bro." Ikbal menepuk-nepuk bahu Nofal sambil tertawa terbahak-bahak bersama Amel.
"Tahu ah, cabut gue." Nofal meninggalkan Ikbal dan Amel hanya berdua.
"Lah gue bagaimana, Fal?" tanya Amel ketika Nofal sudah mendekat ke motornya.
"Sama Ikbal saja!" balas Nofal berteriak.
"Sudah, sama gue saja." Ikbal menarik Amel untuk lebih mendekat.
***
Zita masih sibuk mengupaskan jeruk untuk Yudha. Sedari Zita datang, Yudha terus saja memandangi wajahnya dan tidak mau jauh dari Zita. Yudha sangat terpukul karena kabar yang dibawakan oleh Nafita tadi. Yudha memaksa Nafita untuk menceritakan semuanya.
"Maafkan Ayah ya, Ta." entah sudah ke berapa kalinya Yudha mengucapkan maaf pada Zita.
"Ayah, aku tidak kenapa-napa kok. Lagi pula suamiku itu baik, baik banget malah. Ayah jangan khawatir ya." Zita mengusap punggung tangan Yudha secara sayang.
"Benar suami kamu baik sama kamu?" tanya Yudha memastikan.
"Benar, Ayah." Zita tersenyum sangat manis pada Yudha.
"Kamu baik-baik ya. Jangan pernah bantah sama suami, harus nurut." Yudha mengusap puncak kepala Zita secara lembut.
"Iya, Ayah." Zita menggenggam tangan Yudha.
Hatinya sangat lega, karena pengorbanannya tidak sia-sia. Yudha selamat dari masa kritisnya. Zita sangat bahagia bisa melihat Yudha kembali sadar dan berbicara dengannya.
"Ta, sudah hampir isya'. Kamu tidak pulang?" tanya Nafita mengingatkan.
Zita melirik arloji di tangan kirinya lalu menatap Yudha seolah-olah berharap bahwa Yudha akan mengerti.
"Pulanglah, jangan sampai suamimu mencari dan menunggumu." ucap Yudha mengerti akan tatapan Zita.
"Aku pulang ya, besok aku ke sini lagi. Ayah cepat sembuh." Zita mencium pipi Yudha sekilas.
"Aku pulang ya, Bun. Salam buat Kak Reno dan Faisal." pamit Zita menyalami Nafita.
"Iya, hati-hati di jalannya ya." Nafita mencium kedua pipi Zita.
"Iya, Bun." Zita langsung keluar dari ruangan Yudha menuju halte bus terdekat.
Zita terus saja menundukkan kepalanya sepanjang perjalanan. Zita merasa sakit ketika harus membohongi kedua orang tuanya. Tapi itu lebih baik dari pada memberi tahu yang sebenarnya dan membuat kedua orang tuanya kepikiran, terutama Yudha. Zita tidak mau membuat kondisi Yudha semakin drop. Zita tak mau menghancurkan pengorbanannya sendiri.
"Kapan Kak Rio akan sadar kalau aku sayang sama dia?" tanya Zita pada dirinya sendiri.
"Heh... Mungkin itu tidak akan pernah." Zita mengembuskan nafasnya pasrah.
Zita duduk di salah satu halte bus yang sepi. Rintik hujan sudah mulai turun akan membasahi bumi. Zita mendongakkan kepalanya ke atas mencoba melihat langit yang semakin menggelap.
"Hujan." ucap Zita lirih sembari menengadahkan tangan kanannya ke rintikan hujan yang berjatuhan.
"Hujan saja tahu, kalau hati gue lagi menangis. Mungkin hujan mau menemani gue bersedih." tutur Zita pilu diiringi seulas senyuman dikedua sudut bibirnya.
Zita menengokkan kepalanya ke arah kanan tatkala mendengar suara bus yang menggerung. Zita tersenyum senang, setidaknya dirinya tidak perlu lagi berlama-lama untuk menunggu bus untuk sampai ke rumah. Meski pun Zita sadar, kalau Rio tidak mungkin ada di rumah. Lagi-lagi Zita tersenyum miris mengingat kelakuan Rio yang acuh padanya.
***
"Nih bayaran lo." Rio mengeluarkan selembar cek pada wanita itu.
"Terima kasih." ucap wanita itu menunduk.
"Gue sudah pesankan taksi. Lo bisa turun sekarang juga." usir Rio secara halus.
"Iya." wanita tadi langsung keluar dari kamar Rio, berarti kamar Zita juga.
Rio bangkit dari kasurnya ingin membasuh badannya menggunakan air dingin. Rencananya Rio ingin keluar untuk membeli makanan setelah mandi. Perutnya sudah sangat perih saat ini. Meminta ingin segera diisi. Rio menyelesaikan mandinya secara cepat dan bergegas turun ke lantai bawah. Baru juga sampai pertengahan tangga, Rio berpapasan dengan Zita.
"Kak Rio sudah di rumah?" tanya Zita sambil tersenyum manis.
Rio melirik sinis pada Zita yang tersenyum manis kepadanya.
"Memang kenapa? Rumah-rumah gue."
"Hehe... Iya, Kak. Kak Rio sudah makan?" tanya Zita lembut. Senyumnya terus terukir di bibir tipisnya.
"Tidak usah sok peduli. Gue tidak butuh lo pedulikan. Bersihkan kamar sana." titah Rio dan langsung pergi meninggalkan Zita dengan rasa sakit hatinnya.
"Iya, Kak." jawab Zita lirih. Tangisnya sudah ingin keluar dari kedua pelupuk matanya.
Zita langsung masuk ke kamar. Keningnya mengernyit ketika melihat kamar mereka seperti kapal pecah, terutama pada bagian ranjang. Selimutnya sudah tidak karuan di mana letaknya.
"Berantakan banget sih. Kak Rio bagaimana tidurnya coba? Berubah jadi ultraman dulu kali ya." Zita menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memunguti bantal dan guling yang bercecer.
Zita merapikan sarung bantal dan guling itu terlebih dahulu. Selesai dengan urusan bantal guling. Zita beralih menyibak selimut yang berantakan.
"Darah." ucap Zita heran.
Kenapa di atas seprai yang hanya ditiduri oleh Rio ada bercak darah di atasnya. Apa tadi Rio terluka? Zita menimang-nimang apakah Rio terluka. Zita khawatir dengan keadaan Rio saat ini.
"Sudah ah, entar tanyakan saja ke Kak Rio-nya langsung." Zita menarik seprai itu dan langsung menggantinya dengan yang baru.
***
Next...