15. Eta Terangkanlah

1565 Kata
Zita berusaha biasa saja setelah kejadian di mana Rio membawa wanita ke rumah mereka tiga hari lalu. Zita tak ingin memikirkan hal yang membuat hatinya lebih sakit. Seperti pagi ini, Zita sudah menyiapkan sarapan untuk Rio. Zita tersenyum ketika merasakan masakannya enak. Zita membawa sup jagung dan beberapa makanan lainnya ke meja makan. Pandangannya kini teralih pada sosok lelaki yang sedang menuruni tangga. "Kak Rio, sarapan dulu ya. Sudah aku siapkan sup jagung dan ayam rica-rica kesukaan Kakak." ucap Zita mendekati Rio di dasar tangga. Rio menatap Zita garang. Memang belum ada perubahan juga di hati Rio. Masih saja menganggap Zita menjual dirinya untuk uang. Rio menatap sekilas ke arah Zita lalu kembali fokus ke arah pintu utama. Zita menatap sendu ke arah punggung Rio. Lagi-lagi Zita harus menelan kepahitan. Mungkin hati Zita sudah sangat kebal dengan sikap Rio yang tak pernah menganggapnya ada. "Lo kuat, Zita! Lo strong!" Zita meyakinkan dirinya sendiri agar tidak menangis. Zita kembali ke meja makan lalu memakan sarapannya sendiri dengan hati hampa. Makanan yang tadinya terasa lezat berubah menjadi hambar. Sehambar hatinya karena sikap Rio yang tak kunjung berubah. "Kayaknya menu makan siang gue nanti harus pakai hati ayam atau hati sapi deh. Biar hati gue punya cadangan kalau terus-terusan retak kayak begini." gumam Zita sambil mengaduk-aduk nasi dalam piringnya. *** "Mau turun di tempat biasa?" tanya Nofal pada Devi yang duduk di sebelahnya. "Iya, maaf ya belum bisa bareng sampai kampus." ucap Devi tersenyum pada Nofal. "Tidak apa-apa kok." Nofal mengacak-acak puncak kepala Devi seperti biasa. "Gue turun duluan ya, terima kasih." ucap Devi manis pada Nofal. "Semangat ya kuliahnya cantik, jangan mikirin gue terus." goda Nofal yang selalu berhasil membuat Devi tersipu malu. "Hehe... Enggak akan." balas Devi lalu keluar dari mobil Nofal. Nofal menatap Devi yang mulai berjalan menuju kampus tempat mereka belajar. “Gue pastikan, lo bakalan hancur di tangan gue, Devi.” ucap Nofal tersenyum miring. *** "Lo budek atau memang tidak punya telinga sih, hah?" Ulfa kaget karena Refi tiba-tiba membuka pintu kamarnya sambil marah-marah. "Gue dengar kok, Kak. Tapi kan tadi sudah gue jawab bentar." jawab Ulfa berusaha sabar. "Gue tidak punya banyak waktu lagi." Brak! Ulfa kembali berjingkat kaget ketika Refi menutup pintu kamarnya secara brutal. Ulfa mengelus-elus dadanya sendiri mencoba terus bersabar akan sikap Refi yang memang selalu kasar padanya. "Punya suami satu saja ribetnya tidak ketulungan, bagaimana kalau dua." Ulfa menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. "Cewek manja...!" Ulfa kembali mendengar suara Refi yang menyerukan namanya dari lantai bawah. "Ish... Tidak sabaran banget sih itu laki gue." Ulfa langsung meraih tasnya dan berlari ke bawah menuju dapur di mana Refi sudah menunggunya di meja makan. "Buatkan gue s**u putih." pinta Refi ketika melihat Ulfa sudah sampai dapur. "Iya bentar." Ulfa meletakkan tasnya ke salah satu kursi yang ada di meja makan lalu menuju dapur untuk membuatkan pesanan Refi. "Lo kenapa tidak sarapan di luar saja sih, Kak?" tanya Ulfa sedikit kesal juga. "Gue punya lo di rumah, kenapa mesti beli di luar. Lagi pula, gue sudah mengeluarkan uang buat beli bahan-bahan makanan di rumah ini. Tidak mungkinlah gue keluar uang kedua kali buat makan di luar." jawab Refi membuat Ulfa menggeram kesal. "Nih susunya, sarapannya roti tawar saja." Ulfa meletakkan segelas s**u putih ke hadapan Refi lalu beralih mengoleskan selai coklat ke dua roti tawar untuk Refi. "Cepat." titah Refi membuat Ulfa menekan-nekan pisau berlumur selai coklat ke roti tawar itu semakin kencang. "Nih." Ulfa memberikan roti tawar itu pada piring Refi. "Lagian lo kenapa sih bangun siang?" tanya Refi melihat Ulfa yang duduk di sebelahnya. "Ya gara-gara lo-lah. Semalam kalau lo tidak membangunkan gue buat minta dibikinin makanan, gue tidak bakal telat bangun." jawab Ulfa sambil memakan roti tawarnya. "Salah lo sendiri, tidur kok ngebo." balas Refi membuat Ulfa semakin emosi. "Sudah ah, gue mau berangkat dulu. Bye..." Ulfa meraih tasnya dan roti tawarnya meninggalkan Refi sendirian di ruang makan yang masih menikmati s**u putih dan roti tawar selai coklat buatan Ulfa. "Hitung-hitung punya pembantu gratisan." ucap Refi setelah Ulfa benar-benar pergi dari rumah. *** Sinah terus menggerutu karena Ikbal memaksanya untuk berangkat bersamanya. Kemarin-kemarin Sinah bisa mencari alasan dan menghindar dari Ikbal dengan cara berangkat duluan dari rumah pagi-pagi sekali. Tapi tidak untuk hari ini. Ikbal datang ke rumahnya dari jam lima subuh. Bayangkan saja, jam lima subuh Ikbal mendatangi rumah Sinah hanya untuk berangkat bareng ke kampus. "Ini cowok otaknya tidak komplit, separo, tidak waras, kurang obat, kebanyakan merica." dumel Sinah di dalam mobil Ikbal. "Terima kasih pujiannya sayang." sahut Ikbal membuat Sinah membulatkan matanya. "Sayang-sayang. Sayang pala lo peyang. Kebanyakan nonton wayang lo." gerutu Sinah lagi tanpa menoleh ke Ikbal. "Harusnya lo itu senang bisa berangkat bareng sama cowok ganteng kayak gue begini." Ikbal mengusap rambut Sinah. Namun baru juga menyentuh sedikit rambutnya, Sinah sudah menepis kasar tangan Ikbal. "Jangan berani-beraninya lo sentuh gue!" bentak Sinah garang menatap Ikbal sambil memelototkan matanya. Hal itu sama sekali tidak ditakuti oleh Ikbal. Malah membuat Ikbal semakin terkekeh. "Pacar gue lucu banget sih." Ikbal mencubit pipi Sinah sampai sang empunya meringis kesakitan. "Jauhkan tangan kotor lo itu dari pipi gue." lagi-lagi Sinah menepis kasar tangan Ikbal. "Jangan galak-galak dong sama pacar sendiri." Ikbal menjauhkan tangannya dari Sinah. "Mending lo fokus nyetir deh, gue tidak mau mati konyol sama cowok kayak lo." Sinah menyilangkan tangannya ke depan d**a dan menolehkan wajahnya ke arah jendela. *** Devi sudah sampai duluan di area kampusnya. Devi menunggu Ulfa di bangku taman depan kampusnya. Mereka sudah janjian akan masuk kelas bareng. Devi melihat mobil Nofal masuk dan parkir di tempat biasa. Devi beralih memfokuskan pandangannya ke ponsel di tangannya. Devi sadar jika Nofal menatapnya dari arah parkiran. Namun Devi tak ingin membalasnya. Devi takut ada yang lihat dan akan jadi gosip baru di kampus ini. Devi kembali mendongakkan kepalanya saat Nofal sudah benar-benar memasuki area kampus dalam. Pandangan Devi kali ini jatuh pada mobil Ikbal yang parkir di dekat mobil Nofal. Devi terperangah ketika melihat Ikbal membukakan pintu kemudi dan yang keluar itu adalah Sinah "Ngapain Sinah berangkat bareng sama Kak Ikbal?" tanya Devi pada dirinya sendiri. "Apa iya mereka pacaran juga kayak gue sama Kak Nofal?" tanya Devi lagi entah pada siapa. "Nantilah gue minta penjelasan dari Sinah." Devi menganggukkan kepalanya mantap. "Devi...!" teriak Ulfa mengagetkan Devi yang sedang memperhatikan Sinah masuk kampus duluan bersama Ikbal. "Lo mengagetkan gue tahu tidak." Devi memukul lengan Ulfa pelan. "Sakit kali, Dev." gerutu Ulfa mengelus-elus lengannya. "Ya lo mengagetkan gue." balas Devi. "Lo lagi lihatin apa sih tadi? Serius amat, amat saja tidak pernah serius." Pletak! Ulfa kembali meringis ketika Devi menjitak kepalanya. Devi merasa otak sahabatnya itu sudah geser. "Lo senang banget sih Dev, menganiaya gue." Ulfa ganti mengusap-usap kepalanya yang panas karena dijitak oleh Devi. "Apa salah dan dosaku Devi? Sehingga kau jitak ini kepala?" nyanyi Ulfa ala-ala lagu dangdut yang sudah lama tren. "Ich... Gila gue dengarnya." Devi bergidik ngeri. "Morning...!" teriak suara cempreng dari belakang Devi dan Ulfa. Devi dan Ulfa sama-sama mengelus d**a mereka karena kaget oleh teriakan gadis yang sekarang sudah berdiri di depan mereka. "Kenapa tidak sekalian pakai toa, Ta? Biar gue jantungan sekalian." gerutu Ulfa kesal menatap Zita. Zita hanya nyengir kuda mendapat tatapan menyeramkan dari kedua sahabatnya. "Siang ini kayaknya gue harus ke dokter THT deh." desah Devi membuat Ulfa dan Zita menatap serius ke arahnya. "Gendang telinga lo tidak pecah kan, Dev?" tanya Ulfa memastikan. "Tidak kok, cuma otak gue saja yang agak geser dengar teriakan Zita." jawab Devi membuat Zita semakin nyengir tidak jelas. "Kalian lagi pada ngapain sih di sini?" tanya Zita mengalihkan pembicaraan. "Tidak tahu nih si Devi." jawab Ulfa menyenggol lengan Devi. "Eh iya, kita ke kelas yuk. Gue butuh penjelasan nih dari Sinah." ajak Devi bangkit dari duduknya. "Penjelasan apa?" tanya Ulfa dan Zita bareng. "Tadi gue lihat Sinah berangkat bareng Kak Ikbal. Terus Kak Ikbal merangkul Sinah begitu." jawab Devi membuat Ulfa dan Zita kaget. "Yang benar?" tanya Zita memastikan. "Benar Zitong. Sudah ah, ke kelas yuk." ajak Devi menarik tangan Ulfa dan Zita. Mereka bertiga terus berjalan menuju ruang kelas mereka. Mereka sungguh penasaran akan kedekatan Sinah dan Ikbal. "Lah? Kok kosong sih?" tanya Ulfa heran ketika sudah sampai kelas ternyata kosong. "Kita tunggu dulu saja Sinah-nya." Zita duduk di tempat duduknya diikuti oleh Devi dan Ulfa. "Kira-kira kenapa Sinah bisa berangkat bareng Kak Ikbal ya?" tanya Ulfa penasaran. "Tidak usah menduga-duga, mending tungguin Sinah-nya." "Tuh Sinah." Zita menunjuk Sinah yang berjalan gontai memasuki ruang kelasnya. "Eta terangkanlah... Eta terangkanlah... Eta terangkanlah..." nyanyi ketiga gadis ini sambil joget-joget ketika Sinah baru masuk kira-kira satu langkah. Sinah menengokkan kepalanya ke arah tiga sahabatnya yang asik berjoget ala bebek kebakaran. Sinah mengerutkan keningnya tak mengerti apa maksud dari ketiga sahabatnya. "Kalian ngapain?" tanya Sinah mengerutkan keningnya tak paham. "Jelaskan semuanya! Sedetail-detailnya." todong Zita sambil menengadahkan tangannya ke arah Sinah. "Tidak boleh ada yang kelewat." sambung Devi mendekat ke arah Zita dan Ulfa yang sudah berada di depan Sinah. "Apaan sih?" tanya Sinah bingung. "Kenapa lo bisa berangkat bareng sama Kak Ikbal?" tanya Ulfa mewakili Zita dan Devi. "Terus kenapa tadi Kak Ikbal merangkul lo pas baru keluar dari mobil?" sambung Devi. "Jadi kalian sudah tahu?" tanya Sinah balik membuat ketiga gadis di depannya ini mendesah. "Kita bertiga itu minta penjelasan, Nah. Bukan minta pertanyaan." desah Zita kesal juga menghadapi Sinah. "Kita ke kantin yuk, gue jelaskan di sana." ajak Sinah kepada ketiga sahabatnya. "Ayo." jawab Devi, Ulfa dan Zita kompak dengan semangat 45. *** Next...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN