"Motif lo pacari Sinah apaan sih, Bal?" tanya Refi penasaran.
"Rahasia terbesar dia ada di gue. Pokoknya gue dendam banget sama dia." jawab Ikbal menggebu-gebu.
Bruk!
Ketiga lelaki ini langsung menolehkan wajahnya ke arah sumber suara. Ketiganya mendesah ketika melihat Rio yang melempar tas gendongnya ke meja sebelah Refi.
"Memang rahasia apa?" tanya Nofal ikut nimbrung ke Ikbal dan Refi.
Rio mendesah ketika ketiga sahabatnya itu tak meresponnya malah mengalihkan pandangan ke Ikbal.
"Ya pokoknya rahasia besar." jawab Ikbal membuat Refi dan Nofal mendesah kecewa.
"Kantin yuk." ajak Rio.
"Nah, mending ke kantin yuk. Kayaknya bos kita yang satu ini lapar." Ikbal berdiri menghampiri Rio.
"Tidak asik lo, Bal main rahasia-rahasiaan." Nofal ikut bangkit berjalan menyusul Rio dan Ikbal yang sudah lebih dulu keluar kelas.
Refi juga ikut berjalan menyusul ketiga sahabatnya yang berjalan menuju kantin.
"Lapar lo?" tanya Nofal menggoda.
"Iyalah, gue juga manusia kali. Memang situ doang yang orang." jawab Rio sengit.
"Memang tidak dimasakkan sama istri tercinta?" goda Ikbal sambil menaik turunkan alisnya.
"Tutup mulut kalian atau gue tonjok satu persatu." gertak Rio membuat kedua sahabatnya ini kicep tak lagi berani mengeluarkan suara.
Refi hanya tersenyum sinis menatap Ikbal dan Nofal tak berani melawan Rio.
"Lo sendiri ada kemajuan sama itu cewek?" tanya Rio menatap Nofal.
"Ada dong." jawab Nofal bangga.
"Jadi apa rencana lo?" tanya Rio lagi.
"Lihat saja nanti apa rencana gue." jawab Nofal disertai smirk evil-nya.
"Eh Yo, siapa tuh?" tanya Ikbal sambil menunjuk seorang lelaki yang duduk di tempat biasa anak RRIN duduk.
Rio hanya mengedikkan bahunya tak tahu sambil terus berjalan menuju tempat yang tadi ditunjuk Ikbal.
"Pergi lo!" usir Rio kepada lelaki yang sedang menikmati nasi gorengnya.
Lelaki itu mendongak menatap keempat lelaki yang berdiri dengan selengehan.
"Tempat lain masih kosong." jawab lelaki itu acuh lalu melanjutkan makannya lagi.
"Lo pergi atau gue paksa pergi?" Rio mencengkeram kerah baju lelaki tadi sampai lelaki tadi berdiri dari duduknya.
Lelaki yang dicengkeram kerahnya oleh Rio pun mengangkat tangannya seolah-olah minta damai.
"Weis... Sabar bro, lo kok main emosi saja sih. Lagi pula kan masih banyak kursi-kursi lainnya." ucap lelaki tadi.
"Ini tempat gue sama teman-teman gue nongkrong bego!" sentak Rio semakin menguatkan cengkeramannya pada kerah lelaki itu.
"Memang lo siapa?" tanya lelaki ini nyolot.
Semua orang yang berada di kantin sudah bepergian satu persatu. Mereka tak ingin jadi bahan pelampiasan Rio di saat Rio marah seperti ini.
Refi, Nofal dan Ikbal masih setia berdiri di sisi kanan dan sisi kiri Rio. Mereka masih diam melihat apa yang sedang dilakukan Rio saat ini.
"Gue cucu pemilik kampus ini! Harusnya gue yang tanya. Memang lo siapa?!" jawab plus tanya Rio dengan suara lantang tepat di depan wajah lelaki itu.
"Lo cuma cucunya, bukan pemiliknya!" sahut lelaki itu tak kalah kerasnya membentak Rio balik.
"Berengsek lo!"
Bugh!
Brak!
Lelaki tadi tersungkur mengenai meja karena pukulan dari Rio di wajahnya. Lelaki tadi terlihat sedang mengusap sudut bibirnya yang berdarah karena pukulan Rio yang sangat keras.
"Yo, tahan." Refi menarik Rio supaya tidak menghajar lelaki tadi.
Emosi Rio tersulut mendengar ucapan lelaki yang baru dia lihat di area kampusnya ini. Nafasnya memburu naik turun karena menahan amarah yang sudah naik ke ubun-ubunnya.
Bugh!
Semua orang melihat Rio yang tersungkur karena pukulan balasan dari lelaki itu secara tiba-tiba. Rio meringis menahan nyeri di pipinya yang terasa berdenyut. Rio kembali bangkit lalu menghajar lelaki itu tanpa henti. Begitu juga lelaki tadi ikut membalas setiap pukulan dan pukulan dari Rio.
Akhirnya terjadi baku hantam antara Rio dan lelaki berambut gondrong itu. Refi, Nofal dan Ikbal sudah berusaha melerai keduanya. Namun pukulan demi pukulan terus saja melayang dari satu sama lain.
"Rio stop!" teriak Refi berusaha melerai. Namun tidak ada yang mendengar. Pukulan demi pukulan terus saja melayang di antara mereka.
***
Keempat gadis ini sedang menikmati jus alpukat mereka di kantin kampus seperti biasa.
"Owh... Terus lo terima begitu saja?" tanya Zita.
"Ya gue terpaksa." jawab Sinah mengedikkan bahunya.
"Ish... Kan lo bisa nego sama Kak Ikbal, Nah." sahut Ulfa sedikit kecewa.
"Sorry, tidak ada pilihan lain lagi." ucap Sinah meminta maaf dengan wajah memelas.
"Pokoknya lo harus hati-hati sama Kak Ikbal ya, Nah. Gue tidak mau terjadi apa-apa sama lo." Devi menepuk bahu Sinah.
"Pasti, gue akan jaga diri baik-baik." Sinah tersenyum berusaha meyakinkan ketiga sahabatnya.
"Oh ya, Ta. Bagaimana hubungan lo sama Kak Rio?" tanya Ulfa beralih ke Zita.
"Ya begitu, biasa saja." jawab Zita tak acuh.
"Rio stop!" keempat gadis ini menolehkan wajahnya ke arah sumber suara. Mereka melotot melihat Ikbal, Nofal dan Refi sedang melerai Rio dan satu lelaki lagi.
Sepertinya keempat gadis ini terlalu asyik mengobrol sehingga tidak mendengar suara ribut-ribut dari tadi.
"Gue harus ke sana." Zita berdiri lalu berlari menghampiri Rio yang sedang baku hantam dengan lelaki lain.
"Kita susul." Devi berlari mengejar Zita. Kemudian disusul oleh Ulfa dan terakhir Sinah.
***
"Kak Rio stop!" teriak Zita kencang sehingga mampu membuat kedua lelaki itu berhenti.
Refi dan Ikbal yang memegangi Rio dari tadi berusaha melerai dan sekarang ikut melepaskan tangan mereka dari lengan dan bahu Rio. Nofal yang memegangi lelaki satunya lagi juga ikut bangkit dan langsung menatap Zita.
Ketiga gadis yang tadi berlari menyusul Zita pun sudah berhenti dengan nafas terengah-engah. Semua mata tertuju pada empat gadis ini. Tak terkecuali lelaki yang tadi berantem dengan Rio.
"Kalian." ucap lelaki itu.
"Kak Irfan." sahut keempat gadis ini menatap ke arah lelaki yang dipanggil Irfan.
"Kak Irfan pulang?" Devi maju mendekat ke arah Irfan lalu menubruk tubuh kekar Irfan yang memar-memar karena pukulan dari Rio.
"Awas!"
Devi terpental ke belakang ketika Irfan mendorong tubuhnya cukup kencang.
"Kak, lo akhirnya pulang juga." Devi menghapus air matanya lalu mendekat lagi ke arah Irfan.
"Gue kangen, Kak." Devi masih berusaha memeluk Irfan.
"Memang lo siapa bilang kangen ke gue!" bentak Irfan kencang membuat Devi memejamkan matanya karena takut.
"Kak, please maafkan gue." mohon Devi berlutut di depan kaki Irfan.
Semua orang kaget akan tindakan Devi kali ini. Nofal yang berdiri di sebelah Irfan pun ikut melihat Devi menangis sambil berlutut di depan kaki Irfan. Nofal bertanya-tanya siapa lelaki di sampingnya ini, sampai-sampai Devi mau berlutut di kakinya segala.
Irfan memutar badannya ingin meninggalkan tempat itu begitu saja. Namun langkahnya terhenti ketika ada sepasang tangan yang memegang kaki kirinya dan ada sepasang tangan yang memegang tangan kirinya.
Irfan menolehkan wajahnya ke arah tangannya. Irfan sempat kaget siapa yang memegang tangannya.
"Please maafkan Devi, Kak. Dengarkan penjelasan Devi dulu." ucap Ulfa manis kepada Irfan.
"Selama gue kenal lo dulu, lo cowok yang baik, Kak. Kasihan Devi selama ini menunggu lo kembali." sambung Zita membuat Devi makin terisak.
Rio, Refi, Ikbal dan Nofal hanya diam melihat telenovela live di depan matanya saat ini.
"Sorry, gue harus pergi." Irfan dengan halus menyingkirkan tangan Ulfa dari pergelangan tangannya.
"Apa lo tidak mau mendengarkan penjelasan Devi sebentar saja, Kak? Apa lo tega lihat orang yang lo sayang nangis sambil berlutut di depan lo dan di depan orang banyak kayak begini?" Sinah ikut bicara.
"Gue sudah tidak sayang sama dia. Bahkan gue sudah lupa kalau gue pernah sayang sama dia." ucap Irfan tanpa menoleh ke arah Devi.
Ketiga gadis ini menatap iba ke Devi yang masih memegangi kaki kiri Irfan sambil terisak.
"Lepaskan kaki gue." ucap Irfan pelan.
Devi menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali. Isak tangisnya terus terdengar tanpa henti.
"Lepaskan kaki gue!" Devi terjengkang ke belakang ketika Irfan mendorongnya kencang dengan tidak berperasaan lalu pergi meninggalkan tempat itu.
"Kak Irfan please, dengarkan penjelasan gue!" teriak Devi kencang tanpa memedulikan lengannya yang tergores kursi.
"Woy banci! Urusan lo belum selesai sama gue." teriak Rio mengarah ke Irfan.
"Devi sudah, jangan nangis lagi." Sinah memeluk tubuh Devi yang masih terduduk di atas lantai.
"Kak Rio sudah stop!" bentak Zita tanpa sadar.
"Memang lo siapa berani bentak gue hah?!" bentak Rio balik pada Zita.
"Maaf Kak, aku tidak maksud bentak Kakak." ucap Zita menyesal.
"Memang lo siapa? Lo itu cuma cewek murahan yang bisanya cuma ngemis uang dan jual diri tahu tidak!" ujar Rio lantang sampai semua yang ada di sana mendengarnya.
"Lo itu cuma cewek matre! Cewek hina! Cewek b******k! Cewek tidak tahu diri!" umpat Rio tepat di depan wajah Zita yang sudah memejamkan matanya dan menangis.
Zita menangis mendengar umpatan demi umpatan dari bibir manis Rio. Ternyata hanya bibirnya yang manis. Tapi ketika ada sebuah kata yang keluar, rasanya begitu sakit dan menyayat hati.
"Lo siapa berani caci maki sahabat gue?" Ulfa mendekat ke arah Zita dan menantang Rio.
"Gu.e. cu.cu. pe.mi.lik. kam.pus. ini." jawab Rio sembari menekan setiap katanya.
"Lo yang cowok tidak tahu diri! Lo yang b******k bego!" umpat Ulfa balik pada Rio.
Plak!
"Rio!" sentak Refi membuat semua orang kaget.
Zita pun menoleh pada Ulfa yang memegangi pipinya karena ditampar oleh Rio.
Devi dan Sinah berdiri mendekati Zita dan Ulfa. Zita memeluk Ulfa yang menangis karena perihnya tamparan Rio.
Refi menatap tajam kedua bola mata Rio. Rio balik menatap Refi dengan penuh rasa penyesalan.
"Setidaknya bukan sahabat gue yang merasakan tamparan lo yang menyakitkan." ucap Ulfa bergetar. Sudut bibirnya sampai berdarah karena kencangnya tamparan dari Rio.
"Sorry, gue lepas kendali." ucap Rio menatap Refi lalu meninggalkan kantin begitu saja.
Ikbal dan Nofal sudah berlari mengejar Rio. Mereka dapat memastikan kalau Rio pasti akan mengajaknya ke arena balap untuk sekedar menenangkan diri. Berbeda dengan Refi yang melirik Ulfa sekilas lalu berjalan menyusul ketiga sahabatnya.
"Lo tidak apa-apa, Ul?" tanya Zita pada Ulfa.
Zita merasa sangat bersalah pada Ulfa karena membelanya, Rio jadi menampar Ulfa. Zita, Devi dan Sinah melihat Ulfa yang berusaha tersenyum.
"Gue tidak apa-apa kok, Ta. Jangan khawatirkan gue." jawab Ulfa menatap Zita sambil memaksakan senyumnya.
"Kak Rio keterlaluan banget sih." ucap Devi masih sedikit terisak.
Zita sangat beruntung memiliki sahabat seperti mereka. Sangat peduli dengannya, Zita berusaha tersenyum meski hatinya sakit akan umpatan demi umpatan yang tadi Rio lontarkan.
"Sudah, tidak usah mellow-mellowan di sini. Kita ke UKS yuk, obatin luka Ulfa sama Devi." ajak Sinah membuat ketiga gadis ini mengangguk setuju.
***
"Maksud lo apa nampar Ulfa kayak tadi, Yo?" Refi berhasil menarik Rio ke gudang belakang.
"Sorry, gue kelepasan." jawab Rio menatap ke arah mata Refi.
"Kalau orang tua Ulfa tahu pipi putrinya memar, pasti mereka mengira gue yang sudah nampar dia. Lo mikir tidak sih kalau gue lagi bersandiwara di depan semua keluarga." marah Refi kesal.
"Gue kira lo marah sama gue karena gue sudah nampar istri lo. Tidak tahunya gara-gara mementingkan image lo di depan mertua." Rio terkekeh menatap Refi.
"Gue mementingkan cewek itu? Tidak mungkin." Refi menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Gue kira." Rio ikut terkekeh.
"Sorry, gue tidak sengaja nampar boneka lo." ucap Rio dengan tawa ledekkan.
"Sialan lo." Refi memukul bahu Rio pelan lalu berjalan beriringan menemui Ikbal dan Nofal.
Mereka tertawa bersama sambil berjalan menuju di mana kedua sahabat mereka sudah menunggu di parkiran.
***
Next...