(Mengandung mature content, be smart reader)
Alena mematut diri depan cermin di walking closet hotel, mengenakan Lingerie putih transparan yang menampilkan lekuk indah tubuhnya.
Lingerie yang didapat dari parsel hantaran nikahan malam tadi, dia memang membawanya serta menginap ke hotel beberapa barang itu.
Meskipun hanya menggantikan posisi mendiang Dinda, namun dia juga kan telah resmi menjadi istri Rafa baik secara agama maupun hukum. Karena itulah, meskipun dia belum mencintai Rafa, sebagai istrinya dia merasa wajib memberi kan kebutuhan lahir batin yang mungkin Rafa inginkan malam ini.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, terpaksa Alena menaikan suhu AC di kamar karena Rafa yang belum juga datang sementara dia didera kedinginan.
Selimut seolah tak mampu menghalau rasa dinginnya. Sesekali bertanya sudah benarkah yang dia lakukan saat ini?
Apa tak terlalu murahan?
Ah tak ada kata murahan saat sudah resmi menjadi suami istri kan?
Alena terkesiap ketika pintu kamar itu terbuka, memunculkan sosok Rafa yang mengenakan setelan berwarna hitam. Tanpa bertanya pun wanita itu sudah tahu tempat yang tadi Rafa kunjungi.
Rafa melirik Alena yang berbaring di ranjang, bertutup selimut tebal. Dia hanya tersenyum samar, senyum yang tampak dipaksakan dan berlalu menuju closet.
Tak berapa lama dia keluar kembali dengan berpakaian lengkap, kaos tipis berwarna putih juga celana boxer. Rambut basahnya di keringkan dengan handuk dan dia duduk di ranjang samping Alena. Alena yang membelakanginya langsung membalikkan tubuh menghadapnya.
“Kalau kamu nggak nyaman, saya bisa tidur di sofa?” tunjuk Rafa pada sofa panjang di dekat kasur mereka. Alena menggeleng.
“Enggak apa-apa, disini aja bareng. Biar bagaimanapun saya istri kamu dan wajib melayani kamu.” Alena berusaha tersenyum meskipun rasa aneh merayapi dirinya. Ah mereka belum terlalu saling mengenal. Tapi bukankah banyak orang yang suka berhubungan ONS atau one night stand? Baru mengenal lalu sudah memutuskan tidur bersama dan melupakannya setelah itu.
Murah? Atau bahkan gratis? Entah apa yang dituju dengan lumuran dosa seperti itu?
Rafa mengangguk, dan membuka selimut untuk masuk ke dalamnya, matanya terpaku pada tubuh Alena yang tampak tercetak jelas dengan lingerie itu.
“Kamu kenapa pakai baju itu?” Sebagai pria normal tentu dia tak mengelak kalau tubuh wanita beranak dua itu masih sangat terlihat indah dan hmmmm menggaiirahkan.
“Nggak ada yang salah kan?” Alena mencoba menetralkan detak jantungnya. Dia pernah melakukan hal itu dan setahun lebih tak berhubungan suami istri tentu membuat tubuhnya mendambakan sentuhan, dan kali ini, di hadapannya telah berada suami sahnya. Maka tak heran jika tubuhnya mencoba berkhianat mengirimkan sinyal dahaga.
“Hmm, gak salah sih. Tapi saya belum siap. Maaf.” Rafa menunduk, Alena jadi merasa bersalah. Suasana mendadak canggung. Dan merasa dunia menjadi terbalik seperti ini. Akhirnya Alena terkekeh menertawakan diri sendiri. Rafa menoleh dan menautkan alisnya penasaran.
“Kenapa?” tanyanya.
“Nggak, udah tidur aja.. lagian kita udah sama-sama dewasa enggak perlu canggung lagi. Sini.” Alena menepuk kasur disampingnya. Rafa yang semula ragu pun segera masuk ke dalam selimut. Sama-sama menatap langit kamar dengan pikiran mengawang.
“Saya matiin lampunya ya?” Suara berat Rafa menginterupsi lamunan mereka berdua.
“Iya,” cicit Alena pelan dia membalik tubuhnya membelakangi Rafa. Tak ada gerakan lagi di kasur itu hingga Alena merasa mungkin Rafa sudah langsung tidur setelah mematikan lampu. Hanya sinar rembulan yang masuk melalui celah gorden yang berwarna putih transparan sama seperti lingerie yang dipakai.
Alena mendengar Rafa seperti menekan tombol AC, mungkin dia kepanasan dan menurunkan suhunya. Rasa dingin kembali menyergap Alena. Ditarik selimut sampai leher dan dia membalik tubuh menghadap Rafa.
Rafa tampak menoleh dan menatap Alena. Alena cukup mengagumi ketampanan Rafa yang tergambar jelas meski hanya diterangi sinar rembulan.
“Saya tahu berat bagi kamu, tapi kita menikah beneran kan?” Interupsi Alena. Rafa mengangguk, “saya mendambakan pernikahan yang utuh untuk terakhir kali karena pernah gagal menikah. Karena itu saya ingin lebih dekat dengan kamu. Bolehkan?” Tutur Alena. Lagi-lagi Rafa mengangguk. Alena merasa dirinya terlalu agresif tapi dia tak ingin menahan lebih lama lagi apa yang ada di benaknya. Sebagai wanita yang perlu mengucapkan ribuan kata perhari, tentu menahan ucapan yang sudah ada di pangkal tenggorokan rasanya tak nyaman.
“Lalu?” Rafa tampak penasaran karena Alena terus terdiam.
“Boleh saya menggganti kata Saya menjadi Aku?” Alena menaikkan sebelah Alis dan menggigit bibirnya takut salah bicara. Tampak Rafa tersenyum, senyum pertamanya malam ini untuk Alena. Senyum yang berbeda dengan senyum terpaksa yang ditampilkan sepanjang acara pernikahan siang tadi.
“Boleh lah.”
“Kamu juga ya?” usul Alena
“Iya, boleh.”
“Boleh minta peluk?” Kekeh Alena membercandai Rafa.
“Boleh,” jawab Rafa di luar ekpektasi Alena, pria yang kadar ketampanannya bertambah beberapa kali lipat saat tersenyum itu merentangkan tangannya. Dan Alena membalik tubuh membelakanginya lagi. Rafa kembali menautkan alisnya, tadi minta peluk? Tapi sekarang malah membelakangi?
“Peluk dari belakang aja,” ucap Alena malu-malu. Rafa terkekeh dan meringsek maju, melingkarkan tangannya di perut Alena sementara tangan satunya dilesakkan melewati leher Alena agar dijadikan bantal oleh wanita itu.
Alena merasa tubuh mereka yang sudah menempel tanpa celah sedikitpun. Bahkan dia dapat merasakan desahan napas Rafa di kepalanya.
“Udah tidur! Udah malam. Besok kan kita bakalan capek urus pindahan.” Suara berat Rafa terdengar dekat sekali. Pelan dan entah kenapa terasa menenangkan.
“Pindahan kemana?”
“Rumah kita. Aku udah siapin rumah untuk kita. Nanti kamu yang atur barang-barangnya ya.”
“Jauh Nggak?”
“Nggak, malah lebih dekat dari kantor.” Rafa memejamkan mata menarik tubuh Alena agar semakin menempel padanya. Bahkan dia menghirup aroma rambut Alena yang wangi shampo. Hatinya mencoba membohongi kalau yang dipeluk saat ini adalah Dinda. Cintanya. Dan Alena tampak tak perduli dengan apa yang di pikirkan Rafa.
Karena apa yang dia lakukan saat ini mengingatkannya akan Tommy yang selalu memeluknya saat mereka tidur bersama. Alena mengusap lengan Rafa yang melingkar di perutnya, mendekapnya semakin erat. Membayangkan kalau yang memeluknya saat ini adalah Tommy lelaki yang menghianati cintanya namun tetap tak bisa dibenci olehnya. Entah sampai kapan? Ketololan cinta itu bersemayam dalam d**a. Dia pun terpejam menyambut mimpi.
***
(Mature Content, mengandung adegan 21+ skip yang masih dibawah umur yaa)
Bangun tidur Alena merasa sesuatu yang berat menindih perutnya, ya ada tangan seorang pria yang masih melingkari bagian tubuh itu, bahkan tangannya agak turun hampir menyentuh bagian kewanitaan Alena yang hanya tertutup selembar baju tipis lingerie. Alena merasa udara semakin panas, pikirannya menjadi melanglang buana entah kemana? Dipegang tangan Rafa dan dia merasa bahwa Rafa masih terlelap dan diturunkan tangan itu menyentuh pusat gaairahnya.
Alena menekannya agak kuat namun lembut, membuka sedikit kakinya. Merasa Rafa masih terlelap karena napasnya yang terdengar beraturan, membuat Alena semakin berani, hasratnya harus segera disalurkan dan dia membutuhkan Rafa. Tapi lelaki itu masih belum siap? Karena itu dia memanfaatkan Rafa yang masih pulas itu.
Alena menarik keatas gaun nya dan menyelipkan tangan Rafa di antara pahanya, mengambil telunjuk Rafa untuk menekan daging yang menyembul di rongga itu.
“Ahh,” Desah Alena pelan sembari memutar jemari asing itu di atas nya, menahan desahan itu agar tak terdengar. Mata Alena terpejam menikmati sentuhan jemari Rafa yang digerakkan oleh tangannya sendiri. Rasanya sangat hangat dan menyenangkan. Hingga Alena terkesiap ketika merasa bahwa jemari yang dipegangnya itu menegang. Dia melepas pegangan tangannya dengan pelan dan menarik tangan Rafa menjauhi miliknya karena sadar mungkin Rafa akan segera bangun.
Hatinya berdetak tak karuan. Hingga suara Rafa membuatnya menegang.
“Sini aku bantuin,” ucap Rafa dengan suara serak karena baru bangun tidur. Sepertinya Rafa sudah agak lama terbangun.
“N-nggak usah.” Alena terbata, malu karena ketahuan memanfaatkan tubuh suaminya itu.
“Nggak apa-apa.” Rafa mengecup pucuk kepala Alena tangan yang tadi masih ada di paha Alena itu melesak maju, mengusap lembut liang senggama wanita itu. Ibu jarinya memutar puncak kewanitaan Alena sementara jari telunjuknya menjelajah masuk ke dalam lubang yang terasa sempit dan basah itu. bermain di titik sensitif tubuh sang istri.
Dibuang rasa malunya pada suaminya, dia benar-benar harus menuntaskan hasratnya atau kepalanya akan pusing seharian.
Rafa terus memainkan jemarinya di pusat gaairah sang istri, menggoda dengan terus memasukkan jemarinya.
“Ahhh,, iyaa begitu.” ucap Alena sambil menggigit bibir bawahnya, kakinya menggelinjang sementara tangan sebelah Rafa mulai meraba benda kenyal di d**a Alena. Mengusap dan memutar puncaknya berbarengan dengan jarinya yang terus bergerak di liang senggama Alena menimbulkan sensasi luar biasa.
Alena tak kuat lagi, dikecup lengan Rafa yang melingkari tubuhnya . Kecupannya menjadi lumatan ah dia ingin sekali mencium bibir Rafa. Tapi tak mungkin karena posisi nya yang membelakangi lelaki itu.
“Faster please,” mohon Alena agar Rafa mempercepat gerakan jemarinya. Rafa menuruti Alena, semakin cepat dan cepat. Telunjuk Alena tak tinggal diam, diputar benda kecil yang mencuat di miliknya, hingga menambah rangsangan, sesuatu seolah melesak keluar dan lepaslah pertahanannya. Alena terengah. Jemari Rafa masih berada di posisi sebelumnya karena paha Alena yang masih menegang dan seolah tak membiarkan tangan itu pergi dari sana.
Lama Alena menetralkan perasaannya. Hasratnya telah tercapai. Hatinya terasa lega meskipun rasa malu kini melingkupinya.
“Kamu mau gantian?” tanya Alena pelan hampir berbisik. Mengangkat pahanya agar tangan Rafa bisa bebas. Rafa menarik jarinya yang sedikit basah oleh cairan milik Alena.
“Nggak,” jawabnya pelan, Rafa terlentang, sementara tangan sebelahnya masih tertindih kepala Alena. Alena beringsut menjauhi Rafa. Tangan Rafa yang tadi ditindih Alena tampak kebas, ditarik tangan itu dan menjadikannya bantal untuk dirinya sendiri.
Alena tertelungkup malu. Membuat Rafa berjengit heran.
“Kenapa?” tanya Rafa yang didera penasaran.
“Aku malu, astaga ... .” Alena menutup wajah dengan kedua tangan. Hingga Rafa tertawa keras membuat Alena semakin malu, wajahnya pasti seperti kepiting rebus sekarang.
“Hahha santai aja lagi. Nanti kalau mau lagi bilang aja, kalau aku bisa bantu ya aku bantu.” Rafa mengusap kepala Alena dan berbaring menghadapnya. Alena menoleh mendapati Rafa yang menatapnya lekat dengan bibirnya yang menyunggingkan senyum.
“memangnya kamu enggak keberatan?” tanya Alena, Rafa menggeleng.
“Nggak, tapi jangan salahin aku kalau suatu saat nanti aku tergoda dan ingin melakukan yang lebih.” Rafa mengusap kepala Alena lagi. Tersenyum namun dalam beberapa detik senyumnya hilang, berganti wajah dinginnya. Sekilas dia teringat Dinda yang kini terbaring di pemakaman.
“Kenapa?” Alis Alena bertaut. Rafa menarik tangannya dari kepala Alena dan bangkit dari pembaringannya.
“Nggak apa-apa, aku mandi duluan ya. Sudah siang nanti kita langsung check out banyak hal yang perlu kita lakukan hari ini,” ucap Rafa sambil lalu. Alena hanya mengiyakan dan membalik tubuhnya, matanya memandang langit kamarnya. Rafa pasti masih sangat mencintai Dinda. Bisik Alena pelan. Terdengar suara shower dari kamar mandi dan Alena pun bangkit, merapikan lingerie di tubuh, lalu mengambil kimono handuk dan memakainya untuk melapisi gaun tipis itu.
***