21. Fiery Hands

1136 Kata
Malam sudah semakin larut, Landra memutuskan untuk pulang bersama Alun. Kekasihnya sudah ia titipkan kepada Riel yang kebetulan rumahnya searah, jadi Landra tidak terlalu kepikiran. Selama di perjalanan tak ada percakapan berarti antara Kakak beradik tersebut karena Alun yang kondisi matanya mulai sayup-sayup. Landra yang berada di posisi kemudi tentu saja menyadari hingga terkekeh dibuatnya. “Kamu kalau ngantuk tidur aja, nanti sampai rumah Kakak bangunin,” tutur Landra namun matanya fokus pada jalanan yang sudah sepi. Alun yang mendengar ucapan Kakaknya terkesiap, “enggak kok, Alun gak ngantuk.” Mulut boleh berbohong, namun tidak untuk mata yang kini seolah dipaksa untuk terbuka. “Tidur dulu, Alunara.” Bariton tegas yang dilontarkan Landra tentu saja membuat Alun menciut. Sifat boleh bad, namun untuk menuruti perintah keluarga ... Alun adalah jagonya. “Kakak gak masalah nyetir sendiri?” tanya Alun, sungkan sebenarnya. “Kamu bangun pun gak ada gunanya,” sindir Landra. Apa yang dia ucapkan adalah benar karena Alun hanya bersikap sebagai penumpang. Mau tidur ataupun bangun, keduanya sama-sama tidak memiliki fungsi. Karena mata yang semakin memberat dan perjalanannya masih lumayan lama, akhirnya Alun kalah. Lama-kelamaan matanya semakin memberat hingga tak lama terdengar dengkuran halus yang membuat Landra menghembuskan nafasnya lega. Jika Alun tertidur, Landra tak akan terkena omel Mama dan Papanya karena membuat sang Adik kekurangan jam tidur. Sekitar 25 menit kemudian mobil yang dikendarai Landra mulai memasuki kediaman Demon. Pemuda itu membunyikan klakson sehingga satpam yang berjaga di baliknya dengan sigap membukakan pintu. “Malam, Den,” sapa Pak Wiryo yang dibalas dengan bunyi klakson oleh Landra. Setelah mesin mobilnya mati, Landra menepuk pundak Alun yang melipir ke arah kaca mobil. Pemuda itu akhirnya menoleh saat tak mendapati respon dari kembarannya tersebut. Tok! Tok! Ketukan dari luar mobil baru bisa membangunkan Alun yang tertidur. Kedua mata gadis itu mengerjap karena kaget. “Landra ... Alun ... sudah jam berapa sekarang?” Tamatlah riwayat kalian! Suara itu bagaikan terompet kematian yang mengajak keduanya untuk pulang. Itu adalah suara Abang pertamanya yang sepertinya baru pulang dari kantor, terlihat dari jas kerja yang masih menempel pada tubuh atletisnya. “A—bang?” Suara Landra mencicit karena takut melihat wajah Rich yang menyeramkan. “Masuk, bersih-bersih terus tidur,” titah Rich yang sepertinya tidak terlalu mood marah-marah. Setelah Rich berlalu dari sana barulah Landra bisa bernafas lega, termasuk Alun yang sudah mengusap dadanya karena terlalu takut berhadapan dengan Rich mode lelah. “Untung kita masih bernyawa sampai saat ini,” celetuk Alun sedikit lebay. Landra terkekeh kecil. “Ya udah, istirahat langsung.” Kakinya melangkah melewati Alun yang masih terdiam di samping mobil. Ketika melintasi ruang utama, Landra bisa melihat beberapa maid masih sibuk membereskan sampah-sampah dari kaleng minuman. Sepertinya sempat ada party karena aroma makanan masih begitu terasa disana. Tit! Setelah menempelkan jari telunjuknya di tempat yang disediakan, pintu kamar Landra langsung terbuka lebar. Kamar di rumah ini memang diatur seperti itu apabila tidak ada seseorang di dalamnya. Bruk! Landra membanting tubuhnya saat melihat kingsize kesayangannya dalam keadaan rapi. Hawa dingin dari sprei langsung menusuk kulit lantaran tidak ada yang menghuni selama beberapa jam. “Nikmat Tuhan yang gak akan pernah aku dustakan ...” gumam Landra dengan mata yang semakin memberat. Salah satu kebiasaan buruk yang mendiami tubuh Alandra adalah tidak bersih-bersih dahulu setelah keluar rumah. Andai kata Zeline masih dalam keadaan bangun, pasti Landra sudah terkena omelan. *** Kring ... Kring Suara alarm yang lumayan keras dari sebuah kamar bernuansa pink mengganggu seorang gadis yang masih bergelung di balik selimutnya. Mata bulat itu mengerjap perlahan karena sinar matahari yang memaksa masuk melalui jendela kamar. Tok! Tok! “Jesslyn? Bangun sayang!” Gadis itu dengan berat hati akhirnya bangkit dan bersandar di kepala ranjang. Suara teriakkan Maminya tak mungkin diabaikan begitu saja. “Iya Mami ...” sahut Jesslyn masih berusaha mengumpulkan nyawa. Sekitar lima menit, nyawa Jesslyn akhirnya terkumpul sempurna dan akhirnya gadis itu melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai Jesslyn keluar dari sana dengan seragam lengkapnya. Rambutnya dikuncir kuda menambah kesan manis pada gadis yang jago berantem tersebut. “Pagi Mami,” sapa Jesslyn ketika melihat Shane tengah menata sarapan untuk mereka berdua. Shane menoleh sekilas dan tersenyum. “Pagi anak Mami ...” Senyum Jesslyn mengembang kemudian mengambil segelas s**u coklat dari atas meja dan menenggaknya. Apa yang dilakukan oleh Jesslyn tak luput dari pandangan mata Shane yang memindahkan makanan. “Jess ... mau bawa bekal gak?” tawar Shane. Jesslyn mengangkat sebelah tangannya supaya sang Mami menunggu sesaat karena dalam posisi keenakan minum. Shane sendiri hanya geleng-geleng menunggu anaknya. “Gak ngerepotin Mami?” jawab Jesslyn. Shane tersenyum gemas dengan tingkah anaknya. Tidak ada orang tua yang merasa direpotkan jika itu untuk anaknya. “Tentu enggak ... kan kalau anak Mami kenyang, Mami juga bahagia ...” jelas Shane. Jesslyn menatap Maminya haru kemudian mengangguk. “Boleh Mi, agak lebih ya ... buat sahabatnya Jesslyn ... hehehe ...” Shane tersenyum dan menganggukkan kepalanya. *** Landra keluar dari kamar dengan celingukan. Kali ini dia merasa sedikit linglung pada tubuhnya, entah apa penyebabnya. Tangannya diangkat bersiap untuk meregangkan otot namun sesuatu yang aneh terjadi. Prak! Kedua mata Landra membola saat tangannya yang tadi dia ayunkan, mengeluarkan rentetan api dalam jumlah kecil namun tetap bisa menyambar apa saja yang berada di dekatnya. Setelah tersadar dari apa yang baru saja dilihatnya, Landra berganti mengerjapkan kedua matanya. “Ta—tadi apa?” gumam pemuda itu. Matanya melirik kedua telapak tangannya yang menyala-nyala dengan pandangan rumit. “Landra?” Suara lembut Kakak perempuannya, menyadarkan Landra yang tadi sempat melamun. “Kak Zet ...” Pemuda itu melangkah mendekati Zetta yang kini menatapnya. “Kakak gak ke kampus?” Zetta menggeleng pelan. “Kamu ngapain ngelamun tadi?” “Ini ... tangan Landra ngeluarin api. Tuh coba lihat, api tadi menyambar vas sampai pecah kayak gitu,” jelas Landra tanpa ada yang ditutupi. Baik Alvaro ataupun Zeline, keduanya memang selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk berbicara secara terbuka dan jujur. Maka dari itu, Landra mengakui kepada Zeline jika dia melamar Jesslyn sekalipun Mamanya itu tidak menyetujui. “Hah?” Zetta membeo untuk sesaat sebelum akhirnya meledakkan tawanya. “Jangan bercanda deh, Lan, mending kamu sarapan deh.” Sesekali matanya melirik vas yang dimaksud oleh Adiknya tadi. Badannya mendadak merinding karena beranggapan jika Landra sedang halusinasi. Landra cemberut karena tidak dipercaya oleh Kakak perempuannya. Dia menggoyangkan bahu Zetta supaya Kakaknya itu berhenti tertawa. “Landra bakal buktiin ke Kakak, kalau memang tangan Landra bisa munculkan api,” tegas Landra. Zetta mempersilahkan Landra menunjukkan apa yang sempat diucapkannya tadi. Dia tidak seburuk itu harus menertawakan Adiknya. “Oke, kamu kasih lihat sekarang!” Dengan penuh percaya diri Landra kembali mengangkat kedua telapak tangannya seperti tadi. Matanya menatap lurus ke depan dengan pandangan yang fokus. Sementara Zetta, dia juga mengamati pergerakan Adiknya dengan penasaran. Bruk! Meow! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN