"Wanita itu," gumam Clary yang baru saja keluar pintu gerbang bersama Liana sahabatnya.Dia berhenti sesaat memerhatikan wanita paruh baya yang terlihat berdiri menatap ke arah kampus dengan wajah sendu menyiratkan duka yang dalam.
Clary sedikit membungkuk, tersenyum memberi salam ke arah wanita itu tatkala netranya tanpa sengaja beradu pandang dengannya. Wanita paruh baya itu pun tersenyum memberi salam dari tempatnya.
"Kau mengenalnya?" tanya Liana ketika melihat interaksi keduanya yang tampak canggung.
"Tidak ...." jawab Clary, "hanya pernah tak sengaja bertemu di depan rumah Zaky."
"Jadi dia mengenal Zaky?" Sesekali Liana melirik sekilas pada wanita paruh baya yang sedikit misterius itu. Ia jadi sedikit penasaran setelah mendengar perkataan Clary barusan.
"Entahlah, Zaky sangat marah ketika aku mempertanyakan tentang wanita itu, jadi aku tak berani mengungkitnya lagi." Clary pun melangkah menjauh sambil menggandeng tangan Liana. "Ayo, kita pergi saja," ajaknya yang dijawab anggukan kepala oleh Liana.
"Kau tak ingin menyapanya?" Liana menatap Clary heran, sebab tak biasanya gadis yang bersamanya bersikap seperti itu. Clary yang dia kenal adalah gadis yang sangat ramah dan suka menolong. Lalu bagaimana dia bisa mengabaikan wajah memelas wanita paruh baya itu. Apakah ia yang harus menyapa dan membantunya?
"Tak usah, lagi pula aku tak mengenalnya. Benar kata Zaky, aku tak seharusnya ikut campur urusan orang." Clary pun meninggalkan Liana yang masih mematung di tempatnya.
Sesaat kemudian terdengar langkah kaki Liana menyusulnya, mendekati dan masuk ke dalam taksi yang ia sewa.
Mereka memang selalu pulang bersama karena arah tempat tinggal yang searah. Namun, akhir-akhir ini mereka jadi jarang pulang bersama sebab kesibukan latihan persiapan pementasan drama teater di kampus itu. Setelah hampir satu pekan mereka tak bersama, sekarang mereka bisa hang out lagi seperti sebelumnya.
Belakangan Pak Andreas memperbanyak latihan mereka, terutama untuk Clary dan Zaky sebagai pemeran utama. Juga untuk para pemeran penting lainnya. Itu juga menjadi titik kedekatan Clary dan Zaky yang semakin hari semakin dekat. Latihan itu memberi celah pada Zaky untuk mengantarkan Clary pulang ke rumahnya.
Untunglah mereka termasuk mahasiswa yang cerdas dengan talent yg bisa dibilang jarang dimiliki semua orang. Didukung wajah yang cantik dan tampan mereka seperti sepasang Romeo dan Juliet dalam kisah drama romantis yang melegenda sepanjang masa.
Chemistry cinta di antara keduanya bahkan banyak menuai kecemburuan dari fangirls Zaky dan fanboys Calry. Mereka kerap kali bertengkar sama-sama melindungi aktor dan aktris idola masing-masing yang bahkan sama sekali belum berada di bawah naungan agensi manapun, karena mereka lebih memilih untuk menolak dengan alasan ingin fokus kuliah untuk memperdalam dan mengasah kemampuan seni mereka terlebih dahulu.
"Akhir-akhir ini kau dan Soobin terlihat semakin akrab, sudah tak khawatir padanya?" Liana membuka suara terlebih dahulu setelah cukup lama keduanya sama-sama terdiam. Sebenarnya ada sedikit rasa kesal di hati Liana saat mendengar kedekatan Clary dan Zaky.
Seperti ada rasa cemburu yang membakar hatinya, tapi ia berusaha menahannya dan tetap menjaga pikiran baik untuk menjaga persahabatan mereka. Lagipula Liana sadar kalau ia dan Zaky tak memiliki hubungan apa pun. Zaky mungkin memang memberi perhatian padanya, tapi itu bukan berarti Zaky menyukainya. Bukankah Zaky memang seperti itu dari dulu.
"Entahlah dia terlihat tak seburuk yang kupikirkan selama ini. Juga tak mencoba merayuku, jadi aku sedikit ragu kalau dia mempunyai rencana yang buruk padaku," jawab Clary sambil memasangkan headset ke telinga sebelah kirinya.
"Kau sendiri bagaimana? Kalian juga tampak sering bersama, dia tak merayumu ‘kan, aku malah lebih menghawatirkanmu,” tutur Clary sungguh-sungguh.
"Tidak usah khawatir aku baik baik saja, lagi pula kami hanya berteman biasa." Liana berhenti menatap jalan dan berbalik menghadap Clary yang duduk bersebelahan dengannya. "Kau tak ingin mencari tahu kenapa Zaky bisa seperti itu, karena dari yang kudengar, dulu Zaky sangat pemalu jika bertemu dengan perempuan apalagi sampai bisa akrab rasanya mustahil.”
Clary melepas headset dan memerhatikan sahabatnya. "Jadi kau menyelidikinya? Sebaiknya jangan lakukan itu, aku takut kau jatuh cinta padanya. Aku tak ingin itu terjadi, kita masih belum tahu bagaimana Zaky sebenarnya." Salahkah Clary berbicara seperti itu? Kenapa ia seolah merasa ragu, mengingat bagaimana bibir mereka pernah bersentuhan secara tak sengaja, jujur saja membuat Clary sedikit berdebar.
Mendengar perkataan Clary, Liana pun terdiam, tapi dalam hatinya ia mencibir kesal. "Lalu bagaimana jika kau yang diam-diam mencintainya." batinnya.
“Iya kau tenang saja, aku tak mungkin jatuh cinta padanya,” sahut Liana pada akhirnya. Meski kesal ia tetap harus merespons ucapan sahabatnya agar tak terjadi kesalahpahaman di antara mereka.
"Sepertinya sudah sampai, ayo turun." Clary menepuk pundak Liana. Gadis itu sedikit tersentak, sebab barusan ia sempat melamunkan sesuatu yang berkaitan dengan Zaky. Sesuatu yang tak akan pernah diceritakannya pada Clary.
Sore ini mereka datang ke butik langganan Clary. Clary ingin memilih gaun yang special untuk temannya, karena tiga hari lagi Liana akan mengikuti audisi lanjutan di Justin Entertainment, setelah Liana berhasil lolos pada babak audisi pertama.
Clary sangat berbakat dalam soal fashion, selain karena ia memang terlahir di keluarga berada yang menyukain fashion, menjadi seorang mahasiswa dari universitas seni terbaik juga menuntutnya untuk selalu perduli dengan fashion.
Begitupun dengan Liana, gadis itu juga sejatinya tak kalah pandai dengan Clary dalam berpenampilan, tapi untuk urusan audisi kali ini dia serahkan segalanya pada sang sahabat.
Liana terkadang heran dengan Clary yang masih terkesan misterius. Meski bersahabat cukup lama tapi Clary tak pernah meneceritakan kehidupann keluarga dan kehidupan pribadinya. Yang Liana tahu hanyalah bahwa seluruh keluarga Clary tinggal di Amsterdam.
Clary sudah lama tinggal bersama kakek dan neneknya, tapi sekarang Clary tinggal sendiri sebab kedua orang tua itu sudah meninggal dunia beberapa tahun silam. Liana tahu Clary memiliki sebuah mobil mewah di garase rumahnya.
Namun, gadis itu tetap lebih suka naik taksi atau berdesak-desakan di bus kota. Alasannya hanya tak ingin terjebak macet dan berbauh di tempat umum seringkali memberinya inspirasi dan menghargai hidupnya yang lebih berkecukupan disbanding yang lain.
Itu juga hal yang disukai Liana dari Clary. Ia gadis yang sederhana meski lebih dari mampu baginya untuk tampil glamor seperti kebanyakan mahasiswi yang Liana temui. Kesederhanaan Clary terkadang membuatnya terabaikan dan dikucilkan di kalangan gadis-gadis kaya yang sok hidup mewah dan glamor. Tetapi, Clary tak peduli, ia tetap tampil seperti apa adanya.
Meski kerap tampil sederhana, tapi sekali waktu Clary juga akan tampil elegant dan mempesona, membuat banyak kaum hawa yang bersedia mengantre menunggu balasan cinta darinya.
Tak seperti Liana, Adrian tahu hampir semua tentang Clary dan keluarganya, karena meraka itu saudara angkat. Tetapi, Adrian juga tak pernah membongkar ataupun bercerita tentang hidup keluarga Clary. Hingga saking penasarannya, Liana bahkan pernah berpikir kalau Clary itu putri seorang mafia. Namun, tentu saja Liana tak akan berani mengungkapkan prasangkanya itu. Ia tetap ingin menjaga persahabatan mereka yang sudah terjalin dengan sangat baik.
"Sudah kau pakai saja yang itu, kau terlihat sangat cantik." Clary menjatuhkan pilihannya pada setelan hitam dengan sepatu senada terlihat sangat cantik. Liana benar-benar terlihat berbeda dari biasanya.
“You’re so beautiful,” puji Clary pada sahabatnya yang membuat Liana tersipu malu.
"Thanks a lot my best friend." Liana sangat suka dengan pilihan sahabatnya ia pun memeluk Clary hangat sebagai ungkapan terima kasihnya.
"Sekarang ayo kita pulang, aku benar benar lelah." Clary segera melangkah meninggalkan butik itu setelah membayar semua tagihannya.
Liana sempat melirik anggka yang diperlihatkan kasir tadi, sungguh harga yang fantastis. Meskipun ia juga dari golongan orang berada, tapi harga untuk satu stel pakaiannya kali ini juga sedikit membuat alisnya berkedut. Liana jadi merasa tak enak hati.
"Clary uangmu ...." Clary menoleh dan segera memotong ucapan Liana.
"Jangan dipikirkan, aku ingin kau tampil sempurna pada hari itu."
“Terima kasih, Clary. Kau memang sahabat yang terbaik.”
"Sama-sama," jawab Clary sambil tersenyum pada sahabatnya. "Eh, kita makan dulu sebentar, ya," pintanya pada Liana sambil memanggil taksi. "Aku lapar."
"Baiklah, kali ini aku yang traktir," ucap Liana.
"Siip," jawab Clary sambil masuk ke dalam taksi yang akan membawa mereka ke tempat tujuan.
..............
"Clary ...." Gadis cantik itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke belakang ke arah pemilik suara.
"Pulang bersamaku, ya," pinta pemuda itu sebelum Clary sempat mengucapkan kalimatnya. "Ayolah jangan menolak, sudah lama kita tak pulang bersama," lanjutnya lagi.
"Baiklah Zaky, kau tak perlu merajuk hanya untuk bisa mengajakku pulang."
Zaky memperlihatkan senyum manisnya, ia menggandeng tangan Clary menuju motor sport yang akhir akhir ini selalu dipakainya, Clary merasa tak keberatan dengan perlakuan Zaky padanya. Clary membiarkan tatapan sisnis para Zakyer—nama fans mereka—yang entah dibentuk oleh siapa.
Baru saja motor sport itu melaju keluar gerbang, Zaky menghentikan motornya, mata pemuda itu menatap lurus ke arah seorang wanita paruh baya dengan pakaiannya yang sederhana tapi tak mengurangi kharismanya.
Zaky menatap lekat wanita itu, tapi sesaat kemudian ia kembali terlihat tak peduli. Zaky melajukan motor sportnya dengan kecepatan seperti biasa.
Clary yang sempat memperhatikan kejadian itu, mulai bertanya-tanya dalam pikirannya. Rasa penasaran pada wanita paruh bay aitu mengganggungnya. Clary sangat ingin bertanya pada Zaky tentang siapa sejatinya wanita itu, tapi Clary masih memperkirakan waktu yang tepat untuk itu. Bia bagaimanapun ia tak ingin Zaky kembali marah seperti waktu itu.
Clary bahkan dapat merasakan detak jantung Zaky yang sedikit berubah tatkala menatap wanita paruh baya tadi, karena posisinya yang memeluk erat tubuh pemuda itu membuatnya dapat merasakan perubahan emosi laki-laki itu, meski Zak mencoba menyembunyikannya serapat mungkin.
"Temani aku minum sebentar, Clary,” ucap Zaky, sambil tetap melajukan motornya. Suara Zaky hampir tak terdengar jelas karena teredam deru kendaraan lainnya. Clary pun memutuskan untuk tak membantah. Ia tahu ada sesuatu yang berbeda dengan Zaky saat ini, ada yang membuat emosi pemuda itu berubah.
Clary pun hanya mengangguk di balik punggung Zaky. Zaky yang bisa merasakan gerakan persetujuan gadis itu di punggungnya pun berterima kasih sambil mengukir senyum di bibir. Kali ini ia benar-benar berterima kasih, sebab ketika Zaky tengah membutuhkan seseorang untuk mengontrol emosinya, Clary mau menemaninya tanpa banyak bertanya.
TBC