Seperti biasa, suasan kota Jakarta selalu saja bising oleh hiruk-pikuk suara kendaraan bermotor yang berpacu mengejar waktu di jalanan beraspal. Para pejalan kaki pun bergerak tak kalah cepat seolah berkejaran dengan waktu, memacu diri semaksimal mungkin untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Meski ekspektasi mereka lebih sering tak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi, yang berujung pada kekecewaan dan rasa frustasi. Namun, mereka tetap tak mau menyerah pada keadaan.
Zaky mematung sesaat, memandang seorang gadis manis dengan kulit sawo matangnya, khas kulit tropis. Gadis itu tengah mematung dengan sangat serius menelisik rak pajangan aneka makanan ringan di depannya. Senyum manis pun mengembang di wajah Zaky. Perlahan, dengan maksud mengejutkan ia pun bergerak tanpa suara mendekati gadis itu.
"Dor!"
Sang gadis menoleh terkejut, tanpa sadar menjatuhkan kripik bergambar singkong goreng dari tangannya, refleks tangan kirinya memukul lengan Zaky sebelum ia menunduk mengambil camilan terbungkus plastik warna-warni itu. "Zaky!" kesalnya.
"Maaf, hanya bercanda ...." Zaky terkekeh, kemudian membantu gadis itu mengambil makanan yang dijatuhkannya. Tangan mereka tanpa sengaja saling bersentuhan membuat sang gadis mendongak. Netra keduanya saling bertemu dalam jarak yang cukup dekat. Ada debaran aneh kembali menyusup di relung hati gadis itu. Tak kuasa menahan gugup, ia pun menarik diri, tanpa tahu Zaky tersenyum simpul dalam hatinya.
"Ini." Zaky menyerahkan camilan yang berhasil diambilnya.
"Makasi," ucap gadis itu sembari melempar senyum dengan wajah merona. "Apa yang kau lakukan di sini?" lanjutnya bertanya.
"Nonton," sahut Zaky berpura-pura acuh, pria itu pun terdiam memperhatikan berbagai macam snack di dalam keranjang belanjaan si gadis. Sesaat kemudian ia melirik gadis di sebelahnya yang mematung tanpa reaksi mendengar ucapannya barusan. Zaky terkekeh kecil, menarik gemas hidung wanita itu tanpa permisi. "Kau percaya aku ke sini mau nonton? Tentu saja aku ke sini mau belanja sepertimu, Liana. Dasar gadis lugu."
Perlakuan manis Zaky spontan membuat Liana makin mebantu, jantungnya berdebar makin kencang, ia pun menunduk gugup berpura-pura menyibukkan diri dengan camilan coklat di depannya. Tanpa sadar ia bahkan mengambil terlalu banyak. Zaky memperhatikannya dengan kerutan di dahi.
"Liana, yakin kau memilih semua camilan itu? Kau akan memakannya sendiri?"
Liana menoleh keranjang belanjanya yang hampir penuh berisi camilan dalam jumlah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Gadis itu tersenyum canggung. "Sepertinya, aku mengambil terlalu banyak," ucapnya malu-malu.
Tangan Liana pun bergerak ingin mengembalikan sebagian ke rak etalase ketika Zaky menahan gerakanya. "Biarkan saja, kita bisa memakannya bersama-sama. Biar aku yang bayar."
"Eh?!"
"Apa kau sibuk hari ini? Keberatan jika jalan-jalan denganku?" tanya Zaky, mengabaikan ekspresi terkejut Liana.
"Ah,, i--iya," jawab Liana gugup.
"Yakin? Sampai malam?"
"Ma--malam?"
Zaky mengangguk mengiyakan. Liana pun terdiam sesaat sebelum kemudian turut mengangguk setuju.
"Yes!" seru Zaky membuat Liana tersenyum manis sambil menunduk menyembunyikan wajahnya yang semakin merona, ini seolah ajakan kencan menurutnya. Zaky entah kenapa membuatnya begitu salah tingkah dan gugup dengan jantung yang terus bermaraton. Sekilas ia melirik pemuda di sebelahnya, curi-ciri pandang dengan tanya dalam hati, mungkinkah aku jatuh cinta?
Liana pun mengekori langkah kaki Zaky menuju meja kasir. Benar seperti ucapannya, kini Zaky berdiri berhadapan dengan kasir supermarket itu sambil mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan, rupanya Liana memang telah memilih terlalu banyak hingga Zaky harus membayar sebanyak itu.
"Zaky, itu ... makanannya biar aku yang bayar, atau kalau keberatan kita bagi dua saja," Liana berbicara sedikit ragu pada Zaky yang baru saja naik ke atas motor sport biru metalik miliknya. Pria itu menyerahkan helm pada Liana sambil tersenyum.
"Apa aku terlihat keberatan?" tanyanya, lalu mengaitkan tali pengaman helm yang dipakai Liana sambil berbisik rendah, "Cukup kau peluk aku sebagai bayaran, agar kau tak jatuh."
"Aa--um ... ba--baiklah," sahut Liana tergugup. Perlahan gadis itu pun naik ke atas motor dan memeluk Zaky seperti permintaannya.
Motor sport itu pun melaju meninggalkan supermarket, menerobos jalanan yang selalu saja ramai. Rasa panas menyengat kulit Zaky, tapi ia tak begitu terpengaruh. Jaket yang sesaat lalu dipakainya kini membalut tubuh Liana, maklum ketika keluar kostnya tadi, Liana tidak memakai pakaian pelindung apa pun selain baju kaos motif bunga sakura di bagian depan dan celana jeans ketat warna navy. Mengingat sejak awal Liana memang tak ada rencana untuk pergi kemanapun di hari liburnya jadi ia sedikit mengabaikan penampilannya.
Namun, siapa sangka justru Zaky membawanya jalan-jalan ketempat yang cukup jauh yang tak pernah dibayangkan gadis itu sebelumnya. Zaky memarkirkan motor di area rumah pohon dan jembatan gantung Curug Ciherang Jonggol di Bogor, setelah menempuh perjalanan lebih dari satu jam lamanya. Berdua kini mereka naik ke salah satu rumah pohon setelah melewati jembatan gantung yang menghubungkan tempat itu dari pohon yang satu ke pohon yang lain.
Di bawah sana, air terjun Curug terlihat masih alami dengan aliran sungainya yang begitu jernih, sungguh menyejukkan dan menenangkan. Tak bisa dipungkiri bahwa siapa pun mereka yang singgah ke tempat wisata itu, pasti akan merasa terkesima dan betah berada di sana dalam waktu yang lama. Hal itu juga berlaku bagi Zaky dan Liana.
Berdua mereka berbincang sembari menghabiskan bekal camilan yang mereka bawa. Liana tengah asyik memandang anak-anak kecil yang sedang memancing di kali yang mengalir di bawah sana ketika Zaky merebahkan dirinya di atas lantai kayu sambil memandangi punggungnya.
"Liana, apa kau sudah punya pacar?"
***
Sesuai janjinya dua hari lalu pada Clary untuk membantu gadis itu menyelesaikan hukumannya, kini Zaky pun tengah berkutat di dapurnya. Ia ingin memasak sesuatu untuk gadis cantik berlesung pipi itu. Meski ada satu rencana besar yang tengah ia rancang untuk menjebak gadis itu, tapi ada sesuatu yang tak Zaky mengerti tentang tindakannya saat ini. Merasa Clary akan mendatangi rumahnya, entah kenapa pria itu ingin menyambut Clary dan memberinya kesan baik yang tak bisa dilupakan. Sungguh bertolak belakang dengan kebiasaannya selama ini.
Zaky yang sudah terbiasa hidup sendiri menyelesaikan acara memasaknya dengan cepat dan sangat terampil, ia menata aneka hidangan di atas meja makan, meski tak yakin Clary akan bersedia memakannya. Tepat setelah ia meletakkan epronnya, bunyi bel pintu pun menyapa inderanya. Zaky bergegas membuka pintu, agar tamu yang dinanti tak menunggu lama di depan pintu.
"Hai, selamat datang di rumah kecilku. Tak tersesat, 'kan? Ah harusnya aku menjemputmu tadi," sambutnya ramah.
"Santai saja, alamat rumahmu gampang dicari, lagi pula ada GPS aku tinggal tanya Mbah GP jika merasa bingung," sahut Clary sambil tersenyum menampilkan lesung pipinya. Sesaat Zaky terpaku, gadis itu sungguh manis. Namun, segera Zaky menepis rasa kagumnya, ia pun mempersilahkan Calry masuk ke dalam rumahnya. Clary mengikuti langkah Zaky, tak lupa ia menyerahkan buah tangan yang dibawanya.
"Aku tak tahu apa makanan kesukaanmu, jadi saat lihat dagang buah di pinggir jalan aku membelinya sedikit. Tak keberatan, 'kan, karena aku kasi barang yang kurang berkelas."
"Apaan, sih, Clary, kau seakan menyindirku." Clary terkekeh sembari meminta maaf, sementara Zaky mempersilahkan gadis itu duduk di ruang tamu, pria itu pun bergegas ke kamarnya untuk mengambil laptop. Barulah kemudian membuat minuman jus jeruk di dapurnya.
"Mau mengerjakan tugas di sini atau di halaman belakang?" tawarnya sebelum Clary terlanjur membuka tas yang dibawanya.
"Menurutmu?" tanya Clary kembali. Akhirnya setelah dicapai kesepakatan mereka pun melangkah ke halaman belakang dan membawa semua peralatannya serta jus jeruk dan sedikit camilan yang disiapkan Zaky. Kini mereka berdua duduk di gazebo dekat kolam renang. Dalam waktu singkat mereka berdua pun terlibat percakapan mengenai tugas Clary yang secara keseluruhan didominasi oleh Zaky sebagai orang yang lebih berpengalaman.
Sesekali Zaky melempar candaan ringan yang membuat Clary terkekeh dan tertawa. Gadis itu ternyata cukup ramah ketika seseorang mulai akrab dengannya. Hingga sudah beberapa jam berlalu mereka masih saja terlihat asyik, bahkan tanpa perlu diminta berulang kali, Clary pun menerima tawaran Zaky untuk makan malam di sana.
"Hebat juga kau, ya, bisa masak senikmat ini." Clary menyuapkan makanan terakhirnya sambil memuji, sebelum berdiri merapikan semua peralatan kotor yang masih berantakan di atas meja makan.
"Sudah biasa, aku sudah hidup sendiri sejak lama, jadi hal seperti ini cukup mudah bagiku." Zaky pun turut berdiri membantu Clary yang tak bisa dicegah melakukan kegiatannya. Gadis itu bersikeras akan bertanggung jawab membersihkan meja makan dan beberapa peralatan yang telah kotor.
Zaky menyusul langkah Clary ketempat cucian piring. "Clary, aku jadi tak enak kalau kau melakukan ini, ayolah biar aku saja," pinta Zaky sambil mencoba mengambil alih pekerjaan gadis itu. Bukannya memberikan pekerjaan itu pada Zaky, Clary malah mencipratkan air sabun pada pria di sebelahnya.
"Sudah minggir sana, hus, hus!" ucap gadis itu. Tak mau kalah Zaky pun membalas apa yang dilakukan Clary, hingga mereka berdua kini terlibat adu cipratan air sabun sambil tertawa. Tanpa mereka sadari karena ulahnya itu lantai dapur tempat mereka berdiri pun jadi sedikit licin. Akibatnya ketika Clary melangkah hendak meninggalkan tempat itu setelah menyelesaikan pekerjaannya, kaki Clary tergelincir.
Zaky dengan sigap menangkap tubuh Clary yang terhempas jatuh hampir membentur lantai. Namun, naas ia juga tergelincir. Tubuh keduanya pun terjerembab dalam posisi saling menindih. Jantung keduanya seketika bermaraton ketika tanpa sengaja bibir mereka saling menyapa. Baik Clary maupun Zaky sama-sama membeliak dengan netra membola, sejenak tergugu sebelum akhirnya Clary cepat-cepat menjauhkan dirinya dari atas tubuh Zaky..
Gadis itu masih terduduk di atas lantai dengan posisi sedikit menjauhi Zaky, wajahnya merah padam. Hal serupa juga terjadi pada Zaky, sialnya Zaky seolah kehilangan control akan dirinya sendiri. Ia membiarkan hatinya bergemuruh, bahkan telinganya juga memerah menahan debaran di dadanya.
Sejenak mereka saling melempar pandangan sama-sama malu, Zaky pun memutuskan meminta maaf lebih dulu. Pria itu mengulurkan tangan guna membantu Clary bangkit dari duduknya.
"Maaf, ya, aku nggak ada niat untuk melakukan hal yang tadi itu," ucap Zaky.
"Ah, ini bukan salahmu, tapi salahku yang ceroboh," sahut Clary dengan wajah masih bersemu merah.
"Bukan begitu, Clary. Aku hanya nggak mau kau salah paham, karena kau tahu sendiri aku seperti apa ...," lirih Zaky dengan ekspresi bersalah dan penuh penyesalan. Clary pun tersenyum, menepuk bahu Zaky pelan.
"Tak apa, semua orang pernah berbuat salah, tak hanya kau, bahkan aku juga. Tapi, semua orang berhak mendapat kesempatan untuk berubah. Jika kau sungguh-sungguh mau berubah, maka aku pun akan belajar mempercayaimu."
TBC
Menurut kalian gimana ceritanya? Kira-kira Zaky maunya apa ya mendekati dua gadis itu? Mengadu domba 'kah? Atau ada hal jahat lain yang ia rencanakan?
Ikuti terus ceritanya, ya. Makasi sudah mampir.