Satu pesan yang membuat lutut ini semakin gemetaran adalah pesan terbaru dari ibu yang masuk.
[Jangan pulang dulu, Virto ada di Kontrakan mu mulai dari tadi malam] isi pesan ibu.
[Mau ngapain Bu?]
[Ririn ...! Kamu tanya mau apa lagi? mau pakai tubuhmu lah, emang mau apa lagi?] balas ibu lagi.
'Oh, benar lelaki ku akan datang jika ia menginginkannya kehangatan, memang apa lagi' aku membatin.
Aku berpikir semua lelaki sama saja, tidak bersyukur dengan apa yang sudah miliki, sama seperti Mantan suamiku, alasan ia berselingkuh karena aku selalu sibuk bekerja, bukannya bersyukur aku membantu mencari nafkah, ia malah selingkuh....
Virto juga pernah bilang, kalau istrinya tidak bisa memuaskan di ranjang, ia juga bilang kalau ia tidak suka lagi pada istri karena tidak bisa merawat diri.
Setelah aku berahir di kamar pria asing, aku keluar dengan pakaian berantakan dan membasuh wajahku di kamar mandi.
Hal yang aku khawatirkan akhirnya terjadi juga, saat aku bersama pria asing ternyata Virto datang ke kontrakan, aku tidak lupa kalau ia pulng hari itu dai Bali, saat aku melihat ponselku, aku semakin panik ternyata.
Ada banyak pesan masuk dan puluhan panggilan yang tidak terjawab yang panggilnya tidak usah di tanya sudah pasti Virto.
"Aduh Mati aku, mati aku," ucapku berulang- ulang karena panik.
Pesan yang membuat lutut ini semakin gemetar adalah pesan dari ibu yang terus-menerus mengirimkan pesan peringatan
[Jangan pulang dulu, Virto masih mengamuk di rumahmu membuang pakaian keluar]
'Astaga aku akan mati’
Setelah membersihkan diri, di apartemen lelaki asing itu, barulah aku keluar dari sana, untung dalam tas tangan yang aku bawa selendang kecil yang bisa aku gunakan menutup wajah ini.
Aku tidak tahu siapa lelaki yang berbagi kehangatan denganku malam itu, saat ini aku hanya ingin menjernihkan pikiran untuk mencari alasan yang aku gunakan untuk mengahadapi Virto.
Berjalan ke depan apartemen, menghentikan taxi aku masuk dengan sikap buru-buru dan perlahan roda empat berwarna biru itu meninggalkan area apartemen.
Saat dalam mobil aku sandarkan kepala dan memijit kening untuk memulihkan pikiran yang mulai berantakan, semakin mobil itu melaju semakin jantung ku berdetak tak karuan.
"Kemana Neng?" tanya bapak supir, membuatku terbangun dari lamunan yang berujung itu.
"Oh, iya pak kita ke apartemen Menteng," ujar ku menhela napas panjang.
Aku berpikir sebelum pulang ke kontrakan lebih baik mampir ke apartemen teman, untuk meminjam pakaian untuk aku gunakan pulang, dress mini yang aku pakai saat ini sudah berbau pria parfum lelaki lain.
Bau lelaki yang tidur bersama dan mau minuman dan bau rokok. jika aku pulang dengan wujud seperti ini. Aku pastikan, lelaki yang bernama Virto itu akan mengamuk , daripada hal itu terjadi lebih baik aku ambil jalan yang sedikit aman walau tidak sesungguhnya aman aku apartemen Irene aku mengabarinya terlebih dahulu.
"Ok, lu datang aja, kebetulan gue kuliah, sore" ujar Irene di ujung telepon membuatku sedikit bernapas legah.
"Iya, gue datang iya pinjam pakaian Lu, ya."
"Ok."
Setelah berkendara sekitar lima belas menit, aku tiba di apartemen wanita cantik yang berstatus sebagai mahasiswa sekaligus pemandu lagu di kafe itu.
Saat tiba Irene sudah menyiapkan serapan pagi, yang saat aku menelepon dia lagi membeli ketoprak untuk serapannya jadilah dia membeli dua.
" Lu ketakutan bangat sih Rin, santai saja,” ucap Irena menatapku dengan tatapan iba.
"Lu tau kan, bagaimana sikap Virto selama ini ama gue Iren? gue pinjam baju lu."
"Iya,cserapan dulu, lu tenangin pikiran bentar, biar lu bisa tenang nanti kasih jawaban untuk dia."
"Iya Lu benar.”
Aku setuju dengan pemikiran Iren, karena ada ungkapan yang mengatakan perut yang kenyang membuahkan pikiran yang jernih, tetapi perut yang lapar sering sekali salah.
"Makan yang hati-hati Rin, nanti keselek, ni minumnya."
"Iya, tapi apa kamu tahu apa yang terjadi sama gue tadi malam?"
"Gak."
"Gue mabuk dan berkahir di kamar pria asing lagi, sial bangat kan hidup gue? kalau mas Virto sampai tau habislah aku, nanti kalau dia telepon, kamu bilang kalau kita bersama"
"Ok, baiklah."
"Makasih Iren, kamu temanku yang baik."
"Lu harus lepas darinya Rin, kamu harus bebas dari lelaki seperti dia"
"Gue tau Iren, tapi dia yang tidak mau melepaskanku."
Kriiing ... Kriiing …
Baru juga diomongin lelaki itu sudah menelepon. membuat jantung ini berdetak semakin cepat, padahal ketoprak yang di berikan Iren, baru habis setengah.
"Sini, aku angkat, kamu makan saja," ujar Iren. aku sangat berterimakasih untuk itu, dalam hal ini aku menganggap kalau dewa penyelamat hidupku saat ini,
Aku memberikan ponselku padanya.
"Halo, Mas Virto,” suara Irene lembut selembut sutra, orang yang tadinya ingin marah, mendadak tidak marah.
“Ririn di mana ?”
"Oh ada, dia lagi mandi Mas."
"Oh baiklah, tolong suruh dia pulang segera."
“Baik Mas,” jawab Iren Lalu ia menutup telepon.
"Apa katanya?" tanyaku penasaran, bahkan ketoprak itu tidak aku sentuh lagi.
"Kamu di suruh pulang cepat ke rumah."
"Baik, aku pergi dulu,” ucapku bergegas dan menyambar tas kecil yang aku letakkan di atas meja makan.
"Rin hati-hati, kalau ada apa-apa, bilang samaku biar aku jemput,” ucap Irene perhatian.
"Baik Iren makasih, kamu teman terbaikku ," ujar ku sambil bergegas dengan buru.
Dari apartemen Iren aku memilih naik ojek biar tiba dengan cepat. sekitar dua puluh menit akhirnya tida di sebuah kontrakan.
Jantung ini mulai berdendang ria, saat aku menoleh kontrakan petakan ibu tutup , jantung ini semakin berdendang bagai gendang bertalu-talu, saat aku melihat kanan kiri semuanya sepi karena
biasanya ibu-ibu menjemput anak-anak mereka sekolah pada jam segitu.
Dreeek ...!
Suara handel pintu kontrakan saat aku dorong, mataku membelalak kaget karena ruangan satu petak itu bagai kapal pecah, Televisi terlempar di dekat pintu, semua barang-barang dari lemari keluarkan.
'Iya Tuhan petaka apa ini' ucapku dalam hati saat melihat rumah berantakan.
"Dari mana kamu!?" suara itu mengagetkanku sampai-sampai pundak ku mengkedik karena terkejut.
"Aku dari rumah Iren."
"w************n sialan!!" teriaknya dengan marah.
Paaak ... Paaak ..!
Tamparan keras mendarat di pipiku, bukan hanya itu ia juga menarik rambut dan menyeretku dan melemparkan tubuh ini ke sofa, ujung meja mengenai pelipis ku.
Anehnya, aku tidak mau bersuara ataupun berteriak.
Aku membiarkan ia melakukan pemukulan sampai ia puas.
Aku mengalami kekerasan dari pria selingkuhanku, ia memperlakukanku dengan buruk tanpa memberiku kesempatan menjelaskan.
Bersambung ...