゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 H A P P Y R E A D I N G
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
Aku membaca soal-soal olimpiade matematika dengan fokus. Setelah itu, aku menarik sudut bibirku membentuk sebuah senyuman.
Soal-soal yang tertera ternyata tak jauh berbeda dengan soal yang Bu Ifah berikan padaku. Juga tak jauh berbeda dari buku-buku matematika yang Argentum berikan untukku.
Aku mulai mengerjakan soal dengan hati-hati. Aku sangat yakin dengan diriku kali ini.
***
"Raksa, Argentum, kalian harusnya jangan ke sini. Kalian masih ada pelajaran, 'kan?"
Aku mendengar suara Bu Ifah yang menyebut nama Raksa dan Argentum begitu aku keluar dari ruangan lomba.
Mataku membelalak tak percaya karena ada dua cowok yang Bu Ifah tadi sebutkan sedang bersama guru matematika itu.
"Bu, saya kan datang buat mendukung sahabat saya. Mana satu kelas lagi. Harusnya emang sekelas datang ke sini buat dukung Aurum."
Aku mengangkat sebelah alisku saat mendengar kata-kata Raksa barusan. Satu kelas dibawa ke sini hanya untuk mendukung aku? Yang benar saja. Apa dia pikir ini lomba atletik yang butuh sorakan penyemangat?
"Iya Bu, saya juga ke sini buat dukung Aurum. Saya temennya Aurum-- Eh calon pacarnya maksudnya," ujar Argentum seenaknya.
"Lo anak beda jurusan nggak ada urusannya di sini. Ngaku ngaku calon pacar lagi Aurum lagi!"
"Kalian berdua sebetulnya mau ngapain ke sini? Mau nyemangatin siswa yang lomba atau mau rebutan Aurum?"
"Rebutan Aurum!"
Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengarkan jawaban Raksa dan Argentum yang bersamaan. Lantas, aku mulai berjalan mendekati mereka setelah mendengar perdebatan yang aku tahu itu tidak akan ada ujungnya.
"Lo berdua kabur dari sekolah? Balik sana!" usirku begitu bergabung dengan mereka.
"My Princes!"
"Bocil gue!"
"Sudah selesai, Rum? Gimana? Lancar, 'kan, ngerjainnya?"
Aku menghiraukan dua cowok yang meyapaku. Raksa memanggilku Princess, sementara Argentum memanggilku bocil aliah bocah cilik. Mentang-mentang tubuhku mungil, seenak jidat saja Argentum memanggilku seperti itu.
Aku memilih hanya menghadap Bu Ifah saja daripada menghadap Raksa dan Argentum. "Sudah, Bu. Lancar, Bu. Soalnya sesuai sama prediksi Bu Ifah," jawab aku lalu melontarkan senyum kepada Bu Ifah.
"Syukurlah. Berhubung ini ada teman kamu, Ibu mau gabung dulu sama guru dari sekolah lain, ya. Kamu istirahat dulu sambil nunggu pengumuman." Bu Ifah menepuk pundakku pelan. Aku mengangguk mengiyakan perkataan Bu Ifah.
"Kalian jaga Aurum. Tapi Ibu akan tetap laporkan kalian ke guru bimbingan konseling," imbuh Bu Ifah kepada Raksa dan Argentum. Beliau pun bergegas pergi meninggalkan kami bertiga.
Pandanganku menjelajah ke sekitar, ada taman yang dekat dengan kantin rupanya. Sudah bisa dipastikan bahwa perutku sedang meronta-ronta ingin makan saat ini. Aku langsung saja berjalan ke arah kantin itu tanpa mengajak Raksa dan Argentum.
"Rum, lo mah main pergi aja!" protes Argentum yang ternyata sudah di sebelah kananku.
"Iya, udah ditungguin juga dari tadi. Nggak kasian apa lo sama gue yang udah skip kelas?" Aku menoleh ke kiri, Raksa juga sudah mensejajarkan langkahnya denganku.
Jika dilihat, pasti kami bertiga begitu aneh?
Dua orang cowok bertubuh tinggi yang berada di samping seorang gadis mungil. Rasanya, yang ada aku terlihat seperti adik mereka.
"Lo langsung duduk aja, gue yang pesenin makan." Argentum lalu pergi ke kantin itu untuk membeli makanan. Sementara aku dan Raksa hanya duduk di kursi taman.
"Rum, kalo lo disuruh milih, lo mending milih sama gue atau sama Ar?"
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali setelah mendengar pertanyaan dari Raksa. Ish, cowok ini mengapa mendadak menanyakan hal seperti itu?! Aku saja masih bingung terhadap perasaanku. Dan yang aku pikirkan akhir-akhir ini ya tentu saja ibuku.
"Nggak tau."
"Kok nggak tau? Kita udah nyoba deketin lo, Rum. Kalo gue sih, gue bakal nerima apapun keputusan lo nanti asal lo bahagia. Karena bagi gue, kebahagiaan diri lo adalah sumber kebahagiaan gue," ungkap Raksa terdengar serius. “Tapi kalo bisa, sih, sama gue aja, ya?” lanjutnya diakhiri dengan sedikit kekehan.
“Lama - lama ngelunjak, ya, Pak, “ sindirku pada Raksa. Padahal awalnya aku sedang serius mendengarkan, namun kalimat terakhir Raksa tadi membuatku menyesal karena telah mendengarkan omongan cowok yang satu ini.
“Ya gimana dong, Rum. Orang gue nggak rela kalo si Ar yang menang. Dia itu kan tengil, lebay, alay, freak. Yang ada dia nggak bisa jagain lo. Gue nggak bisa lepasin lo kalo lo sama dia. Gue takut malam lo terluka.”
Aku terdiam setalah mendengarkan Raksa. Sungguh, aku tak tahu perasaanku untuk siapa. Raksa sudah menjadi sahabatku dan menemaniku sudah bertahun-tahun. Sedangkan Argentum, dia sudah membantuku banyak hal akhir-akhir ini.
Aku menghela nafas ku pasrah. Inilah alasan aku tak mau jatuh cinta. Karena cinta itu membuat hidupku lebih rumit. Aku benci karena aku mulai memiliki perasaan kepada seseorang. Aku benci harus galau dan memikirkan apa yang harusnya bukan menjadi prioritasku. Aku juga benci karena aku tidak bisa mengelak jika sedang dalam posisi seperti ini.
Aku menengok ke arah kiri, Argentum sudah mulai membawa makanan menuju aku dan Raksa rupanya. Dia menenteng satu plastik putih dengan berjalan santai yang sudah menjadi ciri khas cowok itu.
“Buat princess dulu.”
"Lo berdua dateng bareng ke sini?" tanyaku sembari mengambil burger yang Argentum sodorkan kepadaku barusan.
"Enggak. Ketemu di parkiran sini," balas Argentum yang duduk di sebelah kanan. Dia juga menyodorkan burger kepada Raksa. Syukurlah jika dia masih punya hati nurani seperti itu. “Gue duluan yang sampe, kayaknya si Cacing Raksasa ini ngikutin gue, deh.”
“Heh?! Gue? Ngikutin lo? Buat apa gue ngikutin orang yang mirip monyet kayak lo!” sanggah Raksa yang mengurungkan niatnya untuk menggigit burger.
Argentum menyilangkan kedua tangannya ke depan d**a. Bisa aku jamin, pendapat orang yang melihatnya bertingkah sepeerti itu akan mengatakan jika Argentum adalah orang yang begitu congkak. “Mana ada monyet seganteng gue, sih?! Lo kali yang mirip monyet!” bantahnya. “Eh, tapi lo lebih mirip sama babi hutan si. Ngik ngik ngik. “ lanjut Argentum.
“Mau gue mirip monyet, mirip babi hutan, gue gak masalah. Yang penting Aurum milihnya gue, bukan lo!” tandas Raksa sengaja ingin membuat Argentum, ketar - ketir.
“Dih, halu, lo! Aurum gak bakal milih lo ya, Cacing Raksaksa!”
"Buktinya gue tadi tanya ke Aurum milih gue apa lo, eh dia jawabnya milih gue. Hem gimana yah, sebenernya gue nggak mau pamer cuma buat for your information aja," celetuk Raksa sepertunya sengaja untuk memancing emosi Argentum.
Argentum seketika menoleh ke arahku seakan-akan dia bertanya apakah omongan Raksa itu benar atau tidak. Aku menggeleng kuat, karena apa yang dikatakan Raksa adalah kebohongan belaka. "Gue nggak bilang gitu."
。・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 S E E Y O U I N T H E N E X T C H A P T E R ! ! ! !
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚..