゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 H A P P Y R E A D I N G
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
"Perhatian untuk seluruh peserta olimpiade harap segera mempersiapkan diri karena pengumuman pemenang sebentar lagi akan di umumkan."
Aku, Raksa, dan Argentum langsung diam, menyiapkan telinga kami lebar-lebar untuk mendengarkan pengumuman pemenang olimpiade.
Jantungku berdebar ketika peringkat 5 sudah mulai dibacakan. Aku pasrah kepada Tuhan, semoga saja aku termasuk ke dalam peringkat yang dibacakan itu.
"Dan peringkat pertama jtuh kepada ... Aurum Sastrawiguna!"
Bukan hanya aku, tetapi Raksa dan Argentum juga ikut beranjak dari tempat duduk mereka. Kami bertiga meloncat-loncat karena terlalu bahagia.
Tuhan, terima kasih sudah mengabulkan doaku.
***
Aku menggenggam erat piala hasil olimpiade tadi. Aku tak sabar melihat reaksi ibu seperti apa. Ah, minimal aku bisa membuatnya tersenyum.
Oh itu ibu. Dia sedang berdiri di ambang puntu rumah. Aku mengembangkan senyumanku saat hendak menghampiri ibu.
"Assalamu'alaikun, Bu."
"Wa'alaikumsalam."
"Bu Aurum tadi abis lomba olimpiade matematika. Terus Aurum jadi juara satu!" seruku dengan histeris. Aku menyodorkan piala milikku kepada ibu. "Ini untuk ibu. Semoga ibu suka."
Aku tak bisa melunturkan senyum di bibirku. Tuhan ... aku mohon semoga ibu membalas senyumku.
"Buat apa kamu bawain barang nggak berguna kayak gini?!"
Aku terkejut hebat saat piala yang tadi di tangaku ditampis ibu begitu kuat sampai terjatuh ke atas lantai. Dan yang lebih mengenaskan, piala itu patah.
Perasaanku mendadak berkecamuk. Piala yang aku dapatkan dengan berjuang keras dan kupersembahkan untuk ibu, justru dirusak oleh ibuku sendiri.
"Kamu bisa nggak, sih, pulang rumah tepat waktu?! Kerjaan di rumah itu banyak, Aurum, banyak! Di kedai juga nggak ada yang bantuin, 'kan?! Terus kamu justru baru pulang sambil senyam-senyum kayak tadi! Dasar anak nggak berguna!"
Selalu saja seperti ini. Untuk kesekian kalinya, dadaku terasa begitu sesak, mataku sudah berkaca-kaca seteleh mendengar perkataan ibu tadi. Hatiku? Jelas sudah hancur berkeping-keping.
"Bu ... Aurum minta maaf, tadi Aurum ikut lomba dan nunggu pengumumannya lama banget. Maagfin Aurum yang pulang telat, Bu," pintaku dengan sendu. Semoga saja ibu bisa mengerti.
"Kamu itu nggak usah macem-macem ikut lomba segala! Itu tuh nggak berguna, Aurum! Cuma buang-buang waktu kamu aja! Waktu yang harusnya kamu urusin kerjaan rumah dan bantu di kedai!"
"Aurum berusaha buat jadi juara biar bisa bikin Ibu senyum. Aurum pengin berikan piala itu buat Ibu. Aurum cuma pengin bikin Ibu bangga."
"Berapa kali Ibu udah bilang kalo kamu itu nggak akan pernah bisa bikin Ibu bangga! Meski kamu menangin ratusan lomba sekalipun, Ibu nggak akan bangga sama kamu, Aurum!"
Aku menunduk, memahan air mataku agar tak menetes di hadapan ibu. Nyatanya, sekeras apapun aku berusaha, tidak menjamin aku akan mendapatkan apa yang ku harapkan.
Hal yang sudah kuperjuangkan, demi orang yang aku sayangi, sudah dirusak oleh orang itu sendiri.
Aku cuma sekadar menangis tangisku. Aku tak bisa membenci ibu, aku tak bisa melawan ibu karena aku tak mau menjadi anak yang durhaka.
"Cepat sama ganti baju, cuci piring, terus pergi ke kedai!"
"Baik, Bu."
Aku memasuki rumah, berusaha menuju kamarku dengan cepat. Begitu masuk kamar, aku menyadarkan punggungku pada pintu kamar.
Tubuhku merosot karena lututku terasa lemas. Aku duduk dengan menekuk lututku, memeluknya dengan erat. Air mata yang sebisa mungkin aku bendung tadi, sudah mulai tumpah ruah.
Perasanku benar-benar terkoyak hebat. Aku menggenggam piala yang tadi aku sempat ambil. Saat melihat piala itu, aku terus menerus teringat dengan betapa mudahnya ibu menghancurkan piala ini. Piala spesial yang ku berikan padanya.
Tuhan ... sampai kapan aku harus merasakan sesak seperti ini? Kapan ibu akan menerimaku? Kapan ibu akan memberikanku senyuman dan pelukan hangat kepadaku seperti dia memberkan itu kepada Kak Risa?
Tuhan ... maafkan aku yang selalu mengeluh akan hal ini. Tapi sungguh, perasaanku begitu hancur malam ini.
。・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 S E E Y O U I N T H E N E X T C H A P T E R ! ! ! !
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚..