゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 H A P P Y R E A D I N G
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
"Lukanya lebar banget. Ini harus dikasih obat merah, Rum."
Aku terus memperhatikan Argentum yang sedang mengecek luka pada lututku. Salah diriku sendii juga hanya mengenakan celana jeans setulut tadi.
Hujan masih berlangsung deras, aku dapat melihat jam pada arlogi digital Argentum yang menunjukkan pukul 10 lewat 20. Gila, ini benar-benar gila. Sudah sangat larut.
"Gue ke apotik dulu deh. Lo berani nunggu di sini? Apotiknya cuma deket kok tuh." Argentum menunjuk sebuah apotik yang memang tak jauh dari tempat kami meneduh. Sekitar 100 meter.
"Biarin aja. Toh ntar bisa sembuh sendiri lukanya," tolak aku mentah-mentah. Yang aku inginkan hanya satu. Ya, tentu saja pulang.
Argentum justru menoyor dahiku. Loh, memangnya aku salah?
"Lo gimana sih, luka segitu lebarnya kok dibiarin aja?! Ntar infeksi gimana?!"
Aku memanyunkan bibirku. Kenapa Argentum justru memarahiku? "Dari dulu gue kalo dapet luka ya dibiarin aja!"
"Nggak. Gue mana tega liat lo terluka gini. Lo tunggu sebentar, gue bakal ke apotik. Banyak hal yang masih pengin gue tahu tentang lo, Rum."
"Dih emangnya gue siapa? Temen lo aja bukan ngapain lo kepo hidup gue? Hidup gue nggak ada yang menarik!"
Aku melihat, Argentum sudah mulai berjalan untuk pergi ke apotik. Tetapi, dia tiba-tiba memutar badannya.
"Lo adalah calon cewek gue, Aurum!" teriaknya di bawah hujan deras lalu kembali ke tujuan awal untuk pergi ke apotik.
Pikiranku melayang ke mana-mana. Argentum sangat halu jika aku akan jadi pacarnya. Aku saja sudah tidak ingin mengurusi akan hal yang berbau dengan cinta. Ah, tidak terlalu penting pada hidupku.
Aku mengeratkan jaket Argentum yang melekat pada tubuhku. Sesekali aku dapat menghirup aroma cokelat di jaket itu. Jadi, parfum Argentum varian cokelat? Unik sekali cowok itu.
Aku menggelengkan kepalaku. Astaga, apa aku baru memuji Argentum? Ish, ada apa dengan diriku sendiri?
"Pertama, kita bersihin dulu lukanya."
Argentum datang dengan membawa satu bungkus plastik dari apotik. Dia meletakan payungnya dan dengan cepat berdiri di hadapanku. Dia berlutut, mulai membersihkan lukaku dengan kapas.
Sesekali aku berdesis karena merasakan perih yang luar biasa, meski aku yakin bahwa Argentum sudah sangat hati-hati membersihkan lukaku.
"Perih, ya? Maaf."
"Udah tahu nanya," jawabku dengan ketus.
"Lo belum pernah dideketin cowok? Seumur-umur, baru lo doang yang cuek banget sama Putra Mahkota kayak gue." Argentum mulai memberikan lukaku obat merah. Sungguh, bertambah perih.
Aku melihat ke arah jalanan. Hujannya mulai mengecil. Kemudian aku kembali melihat Argentum yang masih berkutik mengobati lututku.
"Gue pernah deket banget sama seseorang, sampe gue sadar bahwa dekat bukan artinya kita saling terpikat. Mendapat perhatian bukan berarti menunjukkan seseorang itu sayang sama kita. Gue pernah terlalu percaya sama seseorang sampai akhirnya diri gue sendiri yang terpedaya. Nyatanya, mencintai tanpa dicintai adalah luka yang membuat hati tak bisa mudah terbuka lagi."
Aku tak merasa, jika ternyata Argentum berhenti mengobati lukaku dan sekarang dia sedang menatapku.
"Kalo gue, gue nggak bakal biarin lo merasakan hal itu lagi, Rum."
"Lo baru ketemu gue hari ini. Dan gue udah susah buat percaya dengan kata-kata cowok. Perasaan gue udah mati. Hati gue udah terkubur sampai ke inti."
Argentum menyelesaikan pengobatan lukaku dengan menempelkan kasa juga plester. "Hujan udah reda. Gue anter lo pulang, ya?" cowok itu mendadak memegang pergelangan tanganku.
Aku menggeleng tanda tak setuju. "Gue nggak bisa pulang. Gue belum dapet duit sama sekali. Nyokap gue ntar kecewa.
Argentum berdecak pinggang. Dia menyipitkan matanya padaku. "Lo lupa, ya, siapa di hadapan lo saat ini? Gue kan sultan. Putra mahkota Khatulistiwa. Gampang, tinggal pake duit gue aja dulu."
Aku terus konsisten untuk memasang muka tembok. Jelas, aku tak setuju dengan usulan Argentum. "Nggak. Gue nggak mau ngutang."
"Ya udah gue kasih cuma-cuma deh."
"Nggak. Lo pikir gue pengemis?"
"Astagfirullah, cowok cakep salah mulu pantesan. Ya udah, intinya lo pake duit gue. Cuma besok, lo harus jadi asisten gue. Sehari doang."
"Jadi babu lo? Ogah! Ntar gue diperbudak lagi sama lo."
"Ya udah lo jadi pacar gue."
"Dih baru sehari kenal mau langsung jadi pacar aja. Lo kira gue apa, bambang."
"Lo susah banget sih, Rum? Mau lo apa?"
Aku yakin, Argentum sudah sangat kesal denganku.
"Nggak tahu."
"Nih, pegang lo dulu." Argentum menaruh beberapa lembar uang seratus ribuan kepada tangan kananku.
"Gue bakal mikirin cara buat lo bayar utang utang. Sekarang anggap aja gue borong bakso bakar lo, daripada nanti lo kena omel. Mau lo?"
Aku menunduk. Jelas aku tidak mau mendapatkan omelan dari ibu. Terlebih, bisa-bisa aku disuruh tidur di luar. Sepertinya, Argentum juga ikhlas menolongku.
"Iya okay, makasih."
Uang yang tadi digenggaman, aku masukan dalam saku. Hujannya memang sudah reda, membuat aku ingin pulang secepatnya. Aku memperhatikan luka pada lututku. Apa aku mampu berjalan?
Sungguh, ini terlalu pegal walau hanya digerakan sedikit.
"Gue nggak yakin lo bakal mampu jalan buat pulang." Argentum rupanya dapat mengerti gerak-gerik aku yang ingin segera pulang.
Aku pasrah, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Terlebih, bagaimana caraku untuk membawa gerobak pikul? Aaa, aku sangat bingung.
"Pak! Pak!"
Aku menoleh ke arah jalan, aku pikir siapa yang dipanggil Argentum. Rupanya, adalah bapak-bapak ronda. Aku lihat, Argentum langsung berlari ke arah 4 tukang ronda itu. Dan aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.
"Neng Aurum, biar Mamang yang bawa gerobaknya, ya?" Aku melihat Mang Koji hendak memikul gerobak dagangku. Ah, dia itu itu langganan bakso ayahku.
"Mang, tapi Mang Koji kan lagi ronda. Nanti ngerepotin," tolak aku merasa tidak enak hati.
"Kan masih ada 3 orang lagi, Neng. Tenang aja, Mang Koji jadi sekalian ronda ke sekitar rumahmu."
Aku hendak berucap lagi, tapi Mang Koji sudah melesat membawa gerobak pikulku. Syukurlah, ada yang membantu aku untuk urusan gerobak. Namun sekarang, tinggal diriku yang bingung. Tidak. Tidak. Aku akan memilih berjalan kaki. Aku harus kuat.
Aku mulai mencoba berdiri, tapi seketika aku mengaduh karena merasa pegal dan terduduk kembali. Lagi pula, lukanya ada di kedua lututku. Ah, bagaimana ini?
"Naik, Aurum."
Aku otomatis membeku di tempat. Melihat punggung Argentum yang orangnya sedang berjongkok sembari menepuk-nepuk punggungnya sebagai kode menawarkan kepada aku untuk naik punggung cowok itu.
"Nggak mau."
"Cepet naik, ntar makin larut. Nggak baik cewek cantik malah keluyuran di luar."
Aku menggeleng. Aku enggan sekali untuk naik ke punggung Argentum. "Gue nggak ma--"
"Cepet, kalo lo di sini terus, ntar ada yang nyulik lo gimana? Gimana hayo?"
Aku mengacak rambutku frustasi. Aku juga takut tentang hal yang barusan Argentum ucapkan. Dengan terpaksa, aku memilih untuk digendong Argentum.
***
。・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚ ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
☆ 。 ・ : * : ・ ゚ ★ ,。 ・ : * : ・ ゚ ☆ ・ ゚ ★ , 。 ・ : * : ・ ゚
゚☆ 。 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ׂׂૢ་༘࿐
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊ ┊ ⋆
゚☆ 。 ┊ ┊⋆ ┊ . ┊ ⋆ ┊ . ┊ ┊
゚☆ 。 ┊ ┊ ⋆˚ ┊ ⋆ ┊ . ┊
゚☆ 。 ✧. ┊┊ ⋆ ┊ .┊ ⋆
゚☆ 。 ⋆ ★ ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。 ┊ ⋆ ┊ .
゚☆ 。
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚.
゚☆ 。 S E E Y O U I N T H E N E X T C H A P T E R ! ! ! !
゚☆ 。 ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ︶ ༉‧₊˚..